Selasa (3-8), Aliansi Mahasiswa Pasca Sarjana UGM mengadakan diskusi daring yang bertajuk “Evolusi Taktik Aksi Massa Mahasiswa: Dari Tritura Hingga Mosi Tidak Percaya”. Narasumber yang hadir, antara lain Appridzani Syahfrullah, Asisten Peneliti Studi Perang Dingin National University of Singapore; Muhammad Haikal, Peneliti Public Virtue Research Institute; Josardi Azhar, Mahasiswa Filsafat UGM; dan Biko Nabih Fikri Zufar, Sosiolog. Diskusi ini membahas tentang perubahan motif dari gerakan mahasiswa dari zaman Soekarno sampai sekarang.
Appridzani mengawali diskusi dengan paparan gerakan mahasiswa yang cenderung ideologis pada era Soekarno. Dia menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa pada era tersebut banyak dimobilisasi oleh organisasi kampus yang juga merupakan sayap partai politik nasional. Partai Komunis Indonesia lewat Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, Masyumi dengan Himpunan Mahasiswa Islam, dan Nahdlatul Ulama lewat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. “Gerakan mahasiswa pada saat itu bermuara kepada kepentingan ideologis partai nasional,” jelas Appridzani.
Appridzani melanjutkan penjelasannya mengenai demonstrasi mahasiswa dalam Malapetaka 15 Januari (MALARI). Dia menerangkan bahwa motif mahasiswa menggelar aksi MALARI adalah perlawanan atas imperialisme. Kala itu, investor yang kebanyakan dari Jepang dianggap oleh mahasiswa sebagai imperialis. “Mahasiswa melawan lewat gerakan MALARI karena merasa terancam kembali dijajah imperialis,” tutur Appridzani.
Melanjutkan Appridzani, Haikal menerangkan bahwa gerakan mahasiswa sempat meredup pasca-reformasi karena rezim Soeharto sudah berakhir. Gerakan mahasiswa, lanjutnya, kembali muncul pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena lahirnya isu-isu populis. Isu-Isu populis tersebut terutama berada di sektor ekonomi masyarakat. “Gerakan mahasiswa berdasar pada isu yang berdampak secara fundamental terhadap hajat hidup rakyat,” jelas Haikal. Contoh dari isu tersebut adalah kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik pada masa kepresidenan SBY.
Memperdalam pembahasan Haikal, Josardi memberikan konteks spesifik pada gerakan mahasiswa Reformasi Dikorupsi pada tahun 2019 dan Mosi Tidak Percaya pada tahun 2020. Meskipun sama-sama terjadi pasca-Reformasi, keduanya punya motif berbeda dari gerakan-gerakan mahasiswa pada era SBY. Josardi menyatakan bahwa gerakan mahasiswa kini hadir karena partai politik dan organisasi mahasiswa tidak bisa menampung keresahan mahasiswa karena terlalu politis.
Hal tersebut membuat struktur aliansi yang lebih egaliter dijadikan pilihan dalam mengorganisasi Reformasi Dikorupsi pada 2019 dan Mosi Tidak Percaya pada 2020. Selain itu, Josardi juga menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa, seperti era SBY, masih bergantung pada isu populisme dan sosial media karena perkembangan zaman. “Kepopuleran suatu isu masih sangat penting hingga sekarang,” ujar Josardi.
Meskipun terdapat perbedaan motif gerakan mahasiswa di tiap zaman, Haikal mengungkapkan bahwa terdapat benang merah di antaranya. Menurut Haikal, kesamaan terdapat pada kecenderungan gerakan mahasiswa untuk menjadi juru selamat masyarakat di tengah kebuntuan sosial, ekonomi, dan politik. Senada dengan Haikal, Appridzani menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa akan tetap muncul meskipun coba direduksi oleh pemerintah. Dia menjelaskan bahwa semangat gerakan mahasiswa akan hadir ketika adanya krisis. “Pemerintah tidak bisa menghilangkan gerakan mahasiswa, yang bisa mereka lakukan hanyalah menidurkan sejenak,” pungkas Appridzani.
Penulis: Aldyth Nelwan Airlangga
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry