
© Anas
Berulang kali konsolidasi serta demonstrasi tak membuat gerakan masyarakat sipil mencapai keberhasilan tuntutan. Sementara itu, kelompok elite terus menggencarkan kepentingannya. Keresahan itulah yang mendorong Pusik Parahyangan mengadakan diskusi daring bertajuk “Refleksi Kritis Gerakan Masyarakat Sipil di Era Pasca-Reformasi”. Diskusi yang diadakan pada Minggu (27-06) ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Delpedro Marhaen, Pengurus Blok Politik Pelajar; Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; dan Abdil Mughis Mudhoffir, Akademisi UNJ.
Delpedro membuka diskusi dengan pernyataan bahwa gerakan masyarakat sipil pasca-Reformasi seperti sinetron yang mudah ditebak. Menurutnya, selalu ada tiga babak dalam gerakan. Ia menjelaskan, babak awal ditandai dengan munculnya kebijakan negara yang kontroversial dan membuat masyarakat mengutuknya. Selanjutnya, babak tengah yang dimaksud Delpedro, yaitu demonstrasi besar-besaran yang tak ubahnya seperti bubaran wisuda; ramai, banyak dagangan, dan melelahkan. Ia melanjutkan, babak kedua ini akan berakhir dengan pendataan dan pendampingan korban kekerasan aparat. Kemudian babak terakhir menurut Delpedro yaitu tindakan legal formal sebagai bentuk keputusasaan.
“Mosi Tidak Percaya lebih cocok dialamatkan untuk kelompok masyarakat sipil karena mereka hanya sibuk mengapitalisasi keresahan publik dan mendaurnya kembali menjadi paduan suara sumbang tanpa arah dan tujuan,” ujar Delpedro. Baginya, gerakan masyarakat sipil saat ini terlalu sering mendaulat beberapa orang atau tokoh gerakan untuk menjadi juru bicara. Menurutnya, hal itu membuat gerakan mudah dikooptasi. Selain itu, ia menjelaskan bahwa demonstrasi sopan sudah tidak berguna karena konsolidasi elite semakin kuat.
Delpedro menawarkan alternatif untuk menghentikan para elite yaitu dengan membuat kekacauan ekonomi secara terus menerus dan meningkatkan ketidakpercayaan publik. Tajuk perlawanan yang tepat menurutnya adalah “Anti-Rezim”. Ia menegaskan, jalan keluar lain yaitu gerakan pelajar harus menjadi gerakan politik yang bebas, baik dari pengaruh LSM maupun organisasi masyarakat sipil lainnya. “Sejauh ini kita gagal membangun tradisi yang serius tentang memenangkan kekuasaan. Para pelajar (siswa dan mahasiswa) hanya puas untuk memprotes daripada bekerja untuk membangun mayoritas politik dan memenangkan hasil yang konkret,” pungkasnya.
Di sisi lain, Asfinawati menegaskan bahwa gerakan merupakan sesuatu yang harus dilakukan karena adanya ketidakadilan sistemik. Menurutnya, tujuan gerakan adalah keberhasilan, sehingga perlu dipikirkan secara mendalam definisi dari keberhasilan gerakan. “Menilai keberhasilan gerakan itu tidak mudah karena ia ditentukan tujuan, sedangkan tujuan tiap kelompok dapat berbeda-beda,” ujarnya.
Asfinawati turut menjelaskan, baik strategi maupun taktik, keduanya sama penting dalam gerakan. Ia menuturkan, gerakan saat ini telah mencapai kesadaran dan pengetahuan, tetapi lemah dalam taktik. “Sehebat apapun orang berpikir dan sehebat apapun strateginya, semuanya sia-sia jika tidak ada taktik,” tegasnya. Langkah yang ia rasa benar yaitu melakukan gerakan sosial secara bertahap, tetapi tetap terus mengingat tujuan. Menurutnya, setiap orang perlu diberi beban tugas sesuai dengan kesadaran masing-masing. Meski begitu, ia menjelaskan bahwa kesadaran tiap orang harus terus ditingkatkan agar semuanya memiliki pemahaman yang sama.
Berbeda dari dua pembicara sebelumnya, Abdil Mughis lebih memperdebatkan konsep masyarakat sipil. Ia menjelaskan, selama ini masyarakat sipil disebut sebagai tulang punggung demokrasi. “Asumsinya, masyarakat sipil terpisah dan otonom dari negara, sehingga ia adalah elemen penting yang mengontrol dan membatasi kekuasaan negara agar tidak semena-mena terhadap warganya,” ujar Abdil.
Abdil menyebutkan bahwa konsep masyarakat sipil lahir dalam konteks Pasca-Perang Dingin untuk meruntuhkan rezim otoriter. Ia melanjutkan, konteks tersebut dibarengi dengan ekonomi global yang menghendaki adanya sirkulasi kapital. Berdasarkan penjelasan Abdil, kondisi tersebut mendorong kaum pemodal mendesak kaum aristokrat untuk membatasi kekuasaan. “Oleh karena itu, masyarakat sipil yang mendobrak rezim dan memunculkan demokratisasi saat itu ialah kelompok kapitalis atau kaum pemodal,” tegasnya.
Selain kelompok kapitalis, yang dapat menghadirkan tantangan bagi rezim ialah kaum buruh karena mereka merupakan elemen pokok dalam sirkulasi kapital. Baginya, hal yang harus dilakukan adalah menggabungkan kekuatan buruh untuk menggoyang sirkulasi kapital. Jika sirkulasi kapital terganggu, maka negosiasi akan terjadi. Menurutnya, tanpa ada kekuatan politik yang secara konsisten dilakukan, kekuatan kapital akan menguasai negara.
Penulis: Viola Nada Hafilda
Penyunting: M. Fadhilah Pradana