
©Zura/Bal
Senin (01-03), Women’s March Jember mengadakan diskusi daring bertajuk “Miskonsepsi RUU PKS: Cek Faktanya!”. Diskusi tersebut diadakan untuk membongkar miskonsepsi seputar RUU PKS di kalangan masyarakat dan membahas kasus kekerasan seksual melalui perspektif hukum Indonesia. Diskusi ini dihadiri oleh Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia dan Nova Wulandari, Perwakilan Women’s March Jember.
Pada tahun 2012 silam, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Catatan tahunan yang dirilis Komnas Perempuan pada tahun 2020 menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 telah tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebanyak delapan kali lipat dalam dua belas tahun terakhir. Meskipun begitu, angka tersebut tidak berarti kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat. “Setiap tahun jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan itu selalu banyak, tetapi angka ini meningkat karena semakin banyak perempuan yang berani untuk melapor,” ujar Nova.
Melalui data tersebut, Nova menjelaskan alasan mengapa RUU PKS perlu disahkan. Masih ada kekosongan hukum Indonesia yang mengatur kekerasan seksual, sementara kasus kekerasan seksual semakin banyak. “Hukum negara kita belum mengakomodir bentuk kekerasan seksual lain,” ujar Nova.
Nova juga menambahkan bahwa hukum Indonesia masih belum mengakomodasi kebutuhan korban. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menjamin hak tersangka dan belum menjamin hak korban dalam persidangan, terutama mengenai pemulihan korban yang trauma setelah harus memberikan keterangan. Selain itu, masih banyak ditemukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang masih menyalahkan korban, sehingga Indonesia butuh APH yang berspektif gender seperti yang diatur di dalam RUU PKS. “RUU PKS mengatur tentang bagaimana seharusnya APH berspektif gender dan ada pelatihan agar APH dapat berperspektif gender,” jelas Nova.
Meskipun begitu, Nova menjelaskan bahwa miskonsepsi masih kerap ditemukan di kalangan masyarakat. Beberapa miskonsepsi yang dijelaskannya adalah anggapan bahwa RUU PKS bersifat properempuan, melegalkan zina dan seks bebas, melegalkan aborsi, pro-LGBT, serta bertentangan dengan Pancasila. Nova menyangkal semua miskonsepsi tersebut. Anggapan bahwa RUU PKS bersifat properempuan bisa jadi muncul karena sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan. Meskipun begitu, RUU PKS ditujukan kepada semua orang dan secara eksplisit menyebut setiap orang, bukan setiap perempuan.
Mengenai anggapan bahwa RUU PKS melegalkan zina dan seks bebas, Nova menjelaskan bahwa zina sudah diatur dalam KUHP, sehingga dirasa tidak perlu diatur ulang dalam RUU PKS. “Karena zina tidak diatur dalam RUU PKS bukan berarti RUU PKS melegalkan seks bebas,” jelasnya. Nova juga turut menjelaskan bahwa karena terdapat aturan mengenai pemaksaan aborsi, masyarakat menganggap RUU PKS melegalkan aborsi. Mengenai hal ini, Nova meluruskan bahwa aborsi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, tetapi belum mengatur tentang pemaksaan aborsi. Oleh sebab itu, RUU PKS mengatur hal tersebut.
Hal lainnya adalah adanya anggapan bahwa RUU PKS bersifat pro-LGBT. “Padahal, RUU ini tidak pandang bulu dan melindungi siapa pun korban kekerasan seksual, baik perempuan atau laki-laki, dan tidak memandang orientasi seksual yang mereka miliki,” jelas Nova. Miskonsepsi terakhir yang dibahas adalah anggapan bahwa RUU PKS bertentangan dengan Pancasila, anggapan yang cukup membingungkan Nova. Sebab, menurutnya, isi RUU PKS sesuai dengan Pancasila. “RUU PKS justru menjawab Pancasila sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena melindungi siapapun korban kekerasan seksual.”
Mengenai kekosongan hukum, Asfinawati menjelaskan bahwa ada banyak lapisan pada permasalahan tersebut. Permasalahan kekosongan hukum, antara lain tidak adanya hukum yang mengatur sama sekali; ada hukum yang tidak mengakomodasi pengalaman korban; hukum yang tidak adil bagi korban; atau hukum yang ada tidak komprehensif. “Kitab hukum acara kita lebih berat kepada hak-hak tersangka karena pada waktu itu hukum acaranya sangat parah, namun ada yang dilupakan yaitu hak korban,” jelas Asfinawati.
Sudah menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk membentuk langkah-langkah kebijakan dalam melawan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satunya adalah dengan menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan. Hak yang menjamin kesetaraan dengan kaum laki-laki dan perlindungan yang efektif terhadap segala tindakan diskriminasi. Namun, menurut Asfinawati, Indonesia masih mengabaikan kewajibannya tersebut. “Bagaimana mungkin ada penegakkan perlindungan hukum kalau hukumnya tidak cukup melindungi?” ujar Asfinawati.
Penulis: Salsabila Safa Hanan, Avicenna Shahnaz Nuraini, dan Najua Febrian Rachmawati
Penyunting: Han Revanda Putra
Fotografer: Fairuz Azzura Salma