
©Anas/Bal
Jumat (29-01), Wadah Aspirasi Mahasiswa (WAHAM) mengadakan diskusi dan bedah buku yang berjudul “Merebut Kembali Ruang Akademik.” Diskusi ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting. Dalam diskusi tersebut, hadir penulis dari buku tersebut yaitu Ahmad Shalahuddin. Diskusi ini secara khusus membahas mengenai terbatasnya ruang akademik akibat feodalisme kampus.
Dalam buku tersebut, Ahmad berpendapat bahwa feodalisme dalam institusi kampus membuatnya sangat mudah dibajak oleh kepentingan korporasi dan penguasa. Lebih lanjut, ia menuturkan feodalisme kampus hanya akan menghasilkan kaum intelektual pengasong, yaitu kaum intelektual yang menghamba pada penguasa dan korporasi. “Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas justru dicederai oleh pihak internal kampus itu sendiri,” terangnya.
Ahmad mengatakan bahwa masih ada intelektual pengasong yang banyak berkeliaran di kampus. Ia menambahkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh mengakarnya jeratan-jeratan feodal di kampus secara struktural. Menurutnya, ada banyak sekali mentalitas yang harus diubah oleh masyarakat khususnya mahasiswa dan kampus. “Jangan sampai kampus membatasi banyak hal dan merenggut kebebasan yang ada dalam kepala,” tandasnya.
Ahmad kemudian mengkritik peranan Majelis Wali Amanat (MWA). Ia menegaskan bahwa MWA sangat rawan disusupi oleh pihak luar, karena MWA adalah forum tertinggi di perguruan tinggi yang memegang peran strategis dalam hal kebijakan kampus. Lebih lanjut, ia mengatakan bentuk campur tangan negara tampak nyata dengan adanya politik bagi-bagi gelar doktor kehormatan. “Kalau misalnya kampus sudah mulai bagi-bagi gelar doktor kehormatan, artinya mulai ada obral-obral kekuasaan,” imbuhnya.
Ahmad juga menyoroti banyaknya pembubaran diskusi yang berkaitan dengan komunisme, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), Syiah dan sebagainya. Menurutnya, sebagai lingkungan akademis, kampus tidak boleh dikooptasi oleh kepentingan apapun di luar kepentingan akademis. Ia menambahkan bahwa kampus perlu menjamin adanya kebebasan dalam ruang-ruang berpikir. “Kampus tidak boleh dikekang dengan hal-hal yang sifatnya tabu dan sakral, jadi kalau ada sesuatu yang dianggap tabu seharusnya didiskusikan bukan malah dibungkam,” cetusnya.
Salah seorang peserta diskusi, Riyan, mahasiswa Universitas Pancasila, menyebut bahwa mahasiswa harus adil dalam menentukan ukuran kebebasan akademik. Ia kemudian mempertanyakan stigma progresif bagi mahasiswa yang tidak berbicara mengenai hak sosial budaya dan kesetaraan. “Setiap mahasiswa harus meletakkan kebebasan akademik pada konteks dan bidang studi yang tepat,” tegasnya.
Penulis: Akbar Bagus Nugroho
Penyunting: Naufal Ridhwan Aly
Fotografer: Anas Fitra