
©Winda/Bal
Memperingati seratus tahun Sartono Kartodirdjo, Sejarawan Indonesia, Komunitas Bambu dan Social Movement Institute mengadakan diskusi daring bertajuk “Petani, Agama, Pemberontakan, dan Imperialisme Kapital” pada Senin (15-02). Berangkat dari buku Sartono Kartodirdjo berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888, diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Hilma Safitri, Peneliti Agrarian Resource Center; Roy Murtadho, Pengasuh Pesantren Misykat Al-Anwar; dan Dandhy Laksono, Pendiri Watchdoc. Diskusi ini disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Komunitas Bambu dan dimoderatori oleh JJ Rizal, Pendiri Komunitas Bambu.
Menurut Rizal, buku Sartono mencoba berkata bahwa sejarah itu seperti album keluarga sehingga, petani harus ada dalam album tersebut. Ia menambahkan bahwa sejarah bukan hanya kisah orang besar, melainkan ada petani yang merupakan kekuatan laten dalam melawan kekuasaan. Maka dari itu, tambah Rizal, petani pantas disebut sebagai kelompok pertama pelaku gerakan proto-nasionalisme. “Bagi Sartono, ilmu itu tentang bagaimana mendapat kearifan dan kepekaan akademis dari kesadaran kemanusiaan,” ujarnya.
Dalam gerakan petani, Hilma menuturkan terdapat pemimpin karismatik yang sangat berpengaruh, yaitu ulama. Sebab, ada kerja-kerja panjang dan sangat efektif dari jaringan ulama, tetapi juga mudah dipadamkan. Hilma melanjutkan, apabila ingin memadamkan sebuah gerakan, langsung saja tangkap pemimpin-pemimpinnya. Ia merasa hal tersebut masih relevan sampai sekarang karena gerakan petani atau gerakan masyarakat pedesaan masih bergantung pada pemimpin karismatik. Menurutnya, gerakan dan perlawanan dapat segera lumpuh apabila tidak ada kaderisasi yang baik. “Hal ini masih relevan sampai sekarang, hanya menjelma dengan cara yang berbeda. Pada masa itu, pemimpin kharismatik dikooptasi dengan hukum gantung,” tandasnya.
Senada dengan Hilma, Roy melihat posisi ulama cukup menarik dalam gerakan petani Banten. Ia memaparkan bahwa terdapat ulama resmi dan ulama rakyat. Berbeda dengan ulama resmi yang cenderung akomodatif dan didukung pemerintah kolonial, ulama rakyat adalah kaum revivalis yang berkeliling menyebarkan tarekat dan aliran keagamaannya. Roy pun mengungkapkan bahwa gerakan pada saat itu tidak memiliki kelembagaan modern dan tidak terorganisasi dengan rapi. Dalam gerakan petani, hal yang penting adalah patuh kepada junjungan sehingga peran ulama rakyat sangat berpengaruh.
Dalam pemaparannya, Roy juga menjelaskan ada revivalisme islam pada masa itu yang menyebabkan orang-orang memiliki kesadaran politik lebih tinggi setelah pergi haji. Roy menuturkan banyak yang sepulang haji menjadi alim ulama dan mendirikan pesantren, serta memiliki semangat menyatukan islam untuk melawan penjajahan. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi saat ini di mana haji dan umrah menjadi gengsi sosial, “Bayangkan, sudah umrah ingin umrah lagi. Tidak ada yang memikirkan apakah tetangganya bisa makan atau tidak. Tidak ada kesadaran sama sekali,” ungkapnya
Roy turut mempertegas bahwa revivalisme islam cukup problematis dan mudah diperdebatkan jika dilihat pada konteks hari ini, tetapi di zaman itu merupakan kesadaran historis. Sebagai penutup, ia menambahkan bahwa semestinya ulama sekarang perlu berdakwah ke daerah-daerah konflik. “Ulama itu bagian dari rakyat dan seharusnya menjadi juru bicara rakyat, tetapi mohon maaf, sekarang hal itu tidak terlihat,” tegasnya.
Sisi lain, Dandhy menguraikan kekagumannya terhadap buku ini karena terbit pertama kali pada tahun 1966, yang merupakan titik didih pergolakan sosial, ekonomi, dan politik. Ia merasa buku ini mestinya menjadi sebuah diskusi yang luar biasa di kalangan intelektual pada saat itu. “Saya tidak membayangkan bagaimana kiai-kiai seperti Gus Roy sudah hidup saat itu, lalu membaca sejarah pemberontakan petani yang berkolaborasi dengan ulama melawan kolonialisme, padahal tahun 1966 yang terjadi sebaliknya, petani melawan ulama,” terangnya.
Penulis: Viola Nada Hafilda
Penyunting: Naufal Ridhwan Aly
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati