
©Rika/Bal
Rabu (10-02), Suluh Pergerakan dan Komunitas Bambu mengadakan diskusi daring bertajuk “Ilmuwan, Perangai Ilmiah, dan Kekuasaan”. Diskusi didasarkan dari buku Andrew Goss berjudul Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan. Diskusi tersebut dihadiri oleh empat pembicara, dua anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Sudirman Nasir dan Evi Eliyanah; Dosen Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman; dan Pendiri Lapor COVID-19, Ahmad Arif.
Sudirman Nasir menceritakan secara singkat buku Goss. Menurutnya, buku Goss berhasil menjelaskan sejarah biologi dan juga kondisi ilmuwan naturalis di Nusantara dari zaman kolonial hingga pasca-Kemerdekaan. Sudirman berpendapat karya Goss memberikan perspektif baru mengenai literatur sejarah Indonesia yang selama ini terlalu didominasi aspek militer dan politik.
Sudirman menjelaskan bahwa, dalam bukunya, Goss menceritakan adanya ketergantungan dari para ilmuwan terhadap negara pada zaman kolonial. Ketergantungan yang ada menurut Goss membuat para ilmuwan gagal untuk melebur kepada masyarakat. Di dalam konteks COVID-19, ilmuwan seringkali terabaikan oleh tokoh-tokoh lain yang tidak memiliki latar belakang ilmiah seperti selebriti. “Perangai ilmiah penting untuk dimiliki tidak hanya oleh ilmuwan, tetapi juga oleh media massa dan pemerintah yang seharusnya menjadi sekutu ilmuwan,” jelas Sudirman.
Evi Eliyanah menambahkan bahwa ilmuwan Indonesia, sepanjang sejarahnya, ditempatkan sebagai alat penyelenggara kekuasaan alih-alih menjadi agen pencerahan masyarakat. Evi menyoroti fenomena yang disebut Goss sebagai ilmuwan meja tulis. Istilah tersebut memiliki maksud bahwa budaya keilmuan di Indonesia sangat berpusat kepada budaya perkantoran yang bekerja secara administratif di bawah pemerintah.
Meskipun begitu, Evi melihat bagaimana Goss gagal mengamati kondisi ilmuwan pribumi yang terbelenggu. Evi mengungkapkan adanya dominasi ilmuwan kulit putih terhadap ilmuwan pribumi dan ilmuwan wanita. Goss juga tidak menyebutkan peristiwa ilmuwan yang hilang karena proses politik di tahun 1965. “Buku ini menyadarkan kita bahwa masih banyak hal yang harus disampaikan mengenai sejarah ilmu pengetahuan di Indonesia,” tuturnya.
Herlambang Wiratraman di dalam pemaparannya membandingkan perjuangan ilmuwan Indonesia dengan usaha perkembangan ilmu hukum pada masa kolonial. Herlambang menceritakan bagaimana resistensi dari Cornelis van Vollenhoven dari Universitas Leiden ketika ditugaskan untuk mengembangkan sistem hukum di tanah jajahan. Sebab, pemberlakuan sistem hukum negara barat di tanah jajahan akan merusak tatanan masyarakat yang ada. “Karena situasi (tanah jajahan) tidak mudah dikontrol oleh pemerintah kolonial, dana yang mengalir ke Universitas Leiden dipindah ke Universitas Utrecht,” jelasnya.
Sementara itu, Ahmad menyinggung mengenai pembelahan ilmuwan di Indonesia. Menurutnya, hal ini yang gagal untuk disampaikan Goss di dalam bukunya. Tidak semua ilmuwan di Indonesia tunduk kepada kekuasaan, melainkan ada segelintir yang mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ahmad menggunakan rencana pembangunan pabrik semen di Kendeng sebagai bukti dari pembelahan tersebut. “Ada kelompok ilmuwan yang sangat kritis dan membela masyarakat atas dasar-dasar sains,” tuturnya.
Penulis: Renova Zidane Aurelio
Editor: Tariq Fitria Aziz
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H