
©Tata/BAL
Di awal Januari 2021, terjadi lonjakan kasus COVID-19 di beberapa panti sosial. Merespons situasi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Disabilitas yang terdiri dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Human Rights Watch (HRW), Human Rights Working Group (HRWG), LBH Masyarakat, sampai Indonesia Judicial Research Society mengadakan diskusi terbuka. Diskusi tersebut diselenggarakan melalui Zoom, pada Kamis (07-01). Dalam acara tersebut, hadir beberapa pembicara seperti Yeni Rosa Damayanti dari PJS; Andreas Harsono dari HRW; dan Muhammad Hafiz dari HRWG.
Padahal, Maret 2020, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Disabilitas telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat tersebut berisi rekomendasi untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus COVID-19 di panti-panti sosial disabilitas mental. Namun, lonjakan kasus di beberapa panti tersebut mengindikasikan nihilnya perhatian pemerintah pada pencegahan dan penanganan kasus COVID-19 di panti-panti sosial disabilitas mental.
Hafiz, mewakili koalisi membacakan pernyataan sikap yang memuat beberapa tuntutan terhadap pemerintah. Tuntutan tersebut di antaranya adalah memastikan semua petugas panti menjalankan protokol kesehatan; memenuhi kebutuhan nutrisi, vitamin, dan sanitasi yang layak bagi seluruh penghuni panti; dan membuat mekanisme pengawasan panti yang transparan. Latar belakang dari tuntutan-tuntutan tersebut adalah situasi panti sosial yang relatif tidak layak dalam hal kapasitas, sanitasi, dan gizi.
Andreas mengatakan bahwa penyandang disabilitas mental yang mengalami pemasungan rentan terpapar COVID-19. Sebab, mereka tidak punya akses terhadap standar protokol kesehatan di masa pandemi, seperti sabun, air, dan masker. Tidak hanya itu, tambahnya, ruang gerak mereka juga minim sebab pemasungan dan minimnya luas ruang. “Apabila berdesak-desakkan, bagaimana mereka akan menjaga jarak?” ujarnya.
Serupa dengan Andreas, Yeni menyoroti petugas panti sosial disabilitas mental yang memperlakukan penyandang dengan buruk. Misalnya, petugas menggunduli, melakukan kekerasan seksual, melakukan kekerasan fisik, dan melakukan kekerasan verbal terhadap penyandang. Tidak hanya itu, tambah Yeni, petugas panti bebas keluar masuk ruangan tanpa mematuhi protokol kesehatan. Yeni menyebut bahwa buruknya perlakuan petugas terhadap penyandang disabilitas mental turut memperparah penyebaran COVID-19.
Lebih dari itu, Yeni menjelaskan bahwa panti-panti swasta yang keadaannya buruk tidak melakukan pelaporan mengenai kasus COVID-19 kepada pihak yang berwajib. Bahkan, Dinas Sosial dan Kementerian Sosial tidak punya data mengenai kasus kematian di panti-panti swasta. Padahal, menurutnya, tingkat kematian di panti swasta berpotensi lebih tinggi ketimbang di panti milik pemerintah. “Apabila kasus COVID-19 di panti milik pemerintah saja banyak, panti-panti swasta pasti lebih banyak,” ujarnya.
Yeni kemudian memaparkan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Disabilitas telah berkali-kali melaporkan buruknya kondisi panti-panti serta kerentanan penyandang kepada Kementerian Sosial. Salah satunya, surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, yang juga diberikan kepada Menteri Sosial. Selain itu, ada juga diskusi daring dengan Direktorat Jenderal Kementerian Sosial, Hari Ahmad, yang khusus membicarakan keadaan panti-panti di masa pandemi. Bahkan, koalisi juga melapor kepada Kantor Staf Presiden (KSP), dan ditanggapi dengan penyelenggaraan diskusi lintas menteri. “Hasilnya, tidak ada satu pun rekomendasi yang dilakukan,” tegasnya.
Kementerian Sosial sempat membuat surat edaran bagi panti-panti sosial mengenai protokol kesehatan di masa pandemi. Namun, Yeni menilai tidak ada upaya untuk menegakkan protokol tersebut. Maksudnya, Kementerian Sosial tidak mengawasi pelaksanaan protokol, tidak mengecek perkembangan kasus COVID-19, tidak melakukan tes secara berkala, dan tidak melatih petugas agar konsisten memperhatikan protokol. “Sama sekali tidak dilakukan,” katanya.
Lebih lanjut, Hafiz mengatakan bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial dapat menjadi langkah awal reformasi dan perbaikan sistem pengawasan dan pengelolaan panti. Menurutnya, terdapat beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam RPP Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial. Pertama, RPP harus mengandung akuntabilitas dan mekanisme sistem pengawasan dan pengelolaan panti yang sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Kedua, RPP harus mengandung mekanisme agar Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Sosial dapat berjalan dengan sinergis. “Jika RPP disahkan namun tidak mengatur akuntabilitas dan mekanisme, maka kita bisa meyakini bahwa pemerintah tidak serius memperbaiki situasi yang memprihatinkan,” jelasnya.
Ketiga pembicara kemudian sepakat mengenai harapan terhadap Menteri Sosial anyar, Tri Rismaharini. Andreas mengatakan bahwa Tri Rismaharini harus jadi menteri yang berbeda dari Menteri Sosial sebelumnya. Khususnya, dalam hal ketegasan mengenai hukuman melakukan pemasungan. Sebab, masih ada banyak pemasungan meskipun pemerintah telah melarangnya sejak 1977. “Hentikan pasung dan berikan sanksi pada panti-panti yang bikin pasung,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Fadhilah Pradana
Penyunting: M. Rizqi Akbar