
©Arjun/BAL
“Penindasan terhadap perempuan Papua terjadi dalam ranah ekonomi, pemerintahan, kesehatan dan kehidupan sosial,” ujar Julia. Pembicara dari Serikat Pembebasan Perempuan (SIEMPRE) ini duduk melingkar bersama lebih dari tiga puluh orang di selasar Asrama Papua Kamasan. Diskusi yang diadakan pada Senin (26-01) mengangkat tema “Penindasan Perempuan West Papua dan Solusi Self Determination bagi Bangsa West Papua”. Diskusi ini merupakan rangkaian acara yang diadakan oleh Komisi Pembebasan Perempuan (KPP) dan SIEMPRE dalam rangka Women’s March mendatang.
Menurut Julia, penindasan perempuan tampak dari ketiadaan kesempatan untuk menempati posisi strategis dalam ranah ekonomi hingga pemerintahan. Ia menambahkan, perempuan hanya berperan sebagai pedagang kecil di pasar, atau pegawai rendahan di kantor pemerintahan. Sedangkan dalam ranah kesehatan, persebaran HIV/AIDS yang tinggi dialami ibu-ibu rumah tangga. “Suami-suami sering pakai PSK dan membawa penyakit ke rumah,” tuturnya.
Julia mengungkapkan bahwa penindasan perempuan merupakan dampak dari datangnya budaya baru dari luar Papua, termasuk patriarki. Dulunya, berbagai pekerjaan domestik dilakukan secara komunal. “Sampai akhirnya misionaris datang membawa budaya baru yang membedakan peran laki-laki dan perempuan,” lanjutnya.
Dolly, salah seorang peserta diskusi, memaparkan bahwa datangnya budaya luar menghasilkan pergeseran budaya. Sehingga menurutnya, pergeseran nilai budaya ini turut mendukung terjadinya penindasan terhadap perempuan. “Maskawin dulu dibayarkan untuk menghormati perempuan, sekarang malah dianggap untuk membeli perempuan,” paparnya.
Tidak berhenti pada kedatangan misionaris, Fullah selaku moderator dari KPP turut mengungkapkan bahwa penindasan perempuan juga disebabkan oleh kolonialisasi Indonesia terhadap Papua. Kolonialisasi di Papua yang melahirkan rangkaian kekerasan tercatat dalam buku Papua Versus Papua (2017) karangan I Ngurah Suryawan. Ia menuliskan bahwa kekerasan terjadi dalam tiga periode. Periode pertama berlangsung 1961-1969 guna menyukseskan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Periode kedua berlangsung 1970-1977 untuk mematikan perlawanan terhadap hasil Pepera. Periode ketiga berlangsung hingga 1998 semasa Daerah Otonomi Khusus berjalan.
Dalam kurun waktu tersebut, Julia mengungkapkan kekuatan militer Indonesia digunakan untuk mengintimidasi Bangsa West Papua termasuk perempuannya. “Perempuan Papua diperkosa di tengah perkampungan, dan anusnya ditusuk besi panas sampai tembus ke otak,” imbuhnya. Hal ini dianggapnya sebagai “pelecehan politik” bagi warga Papua.
Pada akhir diskusi, Fullah menyampaikan bahwa kekuatan massa dapat mengatasi kekerasan sistematis yang terjadi. Contohnya, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa penindasan pada perempuan tidak terjadi di dalam semua suku. Setiap suku memiliki aturan adat yang berbeda karena Papua dibagi menjadi tujuh wilayah adat. “Di suku saya, keluarga semakin kuat kalau anak perempuan semakin banyak,” imbuhnya. Hal ini bisa terjadi jika kontekstualisasi nilai dari budaya luar dengan adat suku terus dilakukan.
Penulis: Cintya Faliana
Editor: Bernard Evan