Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...
Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi
Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung
Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...
Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi
Ruang-Ruang Untuk Kami dan Puisi-Puisi Lainnya
Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah
BARA ADIL Lakukan Siaran Pers, Ungkap Catatan Penangkapan...
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILASREDAKSI

Mengenali Akar Penindasan Perempuan di West Papua

Maret 1, 2018

©Arjun/BAL

“Penindasan terhadap perempuan Papua terjadi dalam ranah ekonomi, pemerintahan, kesehatan dan kehidupan sosial,” ujar Julia. Pembicara dari Serikat Pembebasan Perempuan (SIEMPRE) ini duduk melingkar bersama lebih dari tiga puluh orang di selasar Asrama Papua Kamasan. Diskusi yang diadakan pada Senin (26-01) mengangkat tema “Penindasan Perempuan West Papua dan Solusi Self Determination bagi Bangsa West Papua”.  Diskusi ini merupakan rangkaian acara yang diadakan oleh Komisi Pembebasan Perempuan (KPP) dan SIEMPRE dalam rangka Women’s March mendatang.

Menurut Julia, penindasan perempuan tampak dari ketiadaan kesempatan untuk menempati posisi strategis dalam ranah ekonomi hingga pemerintahan. Ia menambahkan, perempuan hanya berperan sebagai pedagang kecil di pasar, atau pegawai rendahan di kantor pemerintahan. Sedangkan dalam ranah kesehatan, persebaran HIV/AIDS yang tinggi dialami ibu-ibu rumah tangga. “Suami-suami sering pakai PSK dan membawa penyakit ke rumah,” tuturnya.

Julia mengungkapkan bahwa penindasan perempuan merupakan dampak dari datangnya budaya baru dari luar Papua, termasuk patriarki. Dulunya, berbagai pekerjaan domestik dilakukan secara komunal. “Sampai akhirnya misionaris datang membawa budaya baru yang membedakan peran laki-laki dan perempuan,” lanjutnya.

Dolly, salah seorang peserta diskusi, memaparkan bahwa datangnya budaya luar menghasilkan pergeseran budaya. Sehingga menurutnya, pergeseran nilai budaya ini turut mendukung terjadinya penindasan terhadap perempuan. “Maskawin dulu dibayarkan untuk menghormati perempuan, sekarang malah dianggap untuk membeli perempuan,” paparnya.

Tidak berhenti pada kedatangan misionaris, Fullah selaku moderator dari KPP turut mengungkapkan bahwa penindasan perempuan juga disebabkan oleh kolonialisasi Indonesia terhadap Papua. Kolonialisasi di Papua yang melahirkan rangkaian kekerasan tercatat dalam buku Papua Versus Papua (2017) karangan I Ngurah Suryawan. Ia menuliskan bahwa kekerasan terjadi dalam tiga periode. Periode pertama berlangsung 1961-1969 guna menyukseskan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Periode kedua berlangsung 1970-1977 untuk mematikan perlawanan terhadap hasil Pepera. Periode ketiga berlangsung hingga 1998 semasa Daerah Otonomi Khusus berjalan.

Dalam kurun waktu tersebut, Julia mengungkapkan kekuatan militer Indonesia digunakan untuk mengintimidasi Bangsa West Papua termasuk perempuannya. “Perempuan Papua diperkosa di tengah perkampungan, dan anusnya ditusuk besi panas sampai tembus ke otak,” imbuhnya. Hal ini dianggapnya sebagai “pelecehan politik” bagi warga Papua.

Pada akhir diskusi, Fullah menyampaikan bahwa kekuatan massa dapat mengatasi kekerasan sistematis yang terjadi. Contohnya, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa penindasan pada perempuan tidak terjadi di dalam semua suku. Setiap suku memiliki aturan adat yang berbeda karena Papua dibagi menjadi tujuh wilayah adat. “Di suku saya, keluarga semakin kuat kalau anak perempuan semakin banyak,” imbuhnya. Hal ini bisa terjadi jika kontekstualisasi nilai dari budaya luar dengan adat suku terus dilakukan.

Penulis: Cintya Faliana
Editor: Bernard Evan

budaya luarmisionarispatriarkipenindasan perempuan
3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...

Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...

Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi

Diskusi Film DEMO(k)RAS(i) Ungkap Ketidakadilan Iklim oleh Pemerintah

BARA ADIL Lakukan Siaran Pers, Ungkap Catatan Penangkapan...

Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di Magelang

    Oktober 12, 2025
  • Didik Supriyanto: Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

    Oktober 12, 2025
  • Abdulhamid Dipopramono: Jejak dan Orientasi Awal BPPM Balairung

    Oktober 8, 2025
  • Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas Nusakambangan

    September 30, 2025
  • Program MBG Timbulkan Keracunan Massal, Ibu-Ibu Gelar Aksi

    September 30, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM