
Prof. Dr. Mohammad Mohtar Mas’oed (tengah) sebagai moderator dalam diskusi mengenai “Kembali ke Jati Diri Manusia Indonesia” oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (kanan) dan “Konfigurasi Hukum dalam Kehidupan Bernegara Bangsa” oleh Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto (kiri).
Sabtu (23/2), puluhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada berkumpul di Balai Senat. Mereka menghadiri sebuah diskusi bertajuk “Kembali ke Jati Diri Manusia Indonesia: Tantangan dan Peluang”. Tamu tidak hanya kalangan guru besar tetapi juga belasan mahasiswa dari perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas. Menurut Profesor Sutanto, Ketua Majelis Guru Besar UGM, adanya diskusi ini dimaksudkan untuk menghadapi situasi bangsa yang kelihatan makin menjauhi cita-cita. “Sistem yang ada saat ini menghalangi toleransi, kebersamaan, dan kesensitifan terhadap keberagaman,” tutur Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc, Rektor UGM.
Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah mengawali perbincangan mengenai sejarah perjuangan bangsa dalam dimensi spiritual. Guru besar yang akrab dipanggil dengan Buya menyatakan argumen-argumennya terhadap perpolitikan Indonesia. “Politisi yang sedang aktif di Indonesia di samping tidak memiliki moral, juga berfikir dan bersikap yang bertentangan dengan sejarah,” ungkapnya. Partai berkedok dakwah yang saat ini tersandung kasus impor daging membuktikan bahwa nasionalisme telah dijadikan kendaraan politik yang tidak bermoral dan tidak bervisi. Semestinya politik kita ditunggangi dengan moral dan visi yang sesuai dengan kepribadian bangsa, yaitu Pancasila.
Menurut Buya, salah satu cara dalam mewujudkan perpolitikan yang berdasarkan Pancasila yaitu dengan mengasah kepekaan politik. Sebaliknya, Alfin Gustav Wijaya, Staf Advokasi BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam berpendapat bahwa mengasah kepekaan yang diartikan sebagai penanaman akhlak menjadi tidak efektif dalam memecahkan masalah bangsa Indonesia. Keadaan sistem hukum yang ada di negara kita saat ini membuat kita terjebak dalam permasalahan. “Kita perlu memperbaiki sistem, jangan hanya menanamkan akhlak,” tegasnya.
Pada sesi kedua, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, tokoh Katolik dan budayawan Indonesia yang biasa disapa Romo membahas tentang jati diri manusia Indonesia yang mulai pudar. Ia menyampaikan bahwa banyak sekali kekacauan di negara kita, yang disebabkan oleh empat ancaman yang masih saja meneror kita. “Keempat ancaman tersebut adalah otonomi daerah yang gagal, keambrukan solidaritas bangsa, korupsi dan politik uang, serta kekerasan yang mengatasnamakan agama,” ujarnya. Menurutnya hal-hal tersebut makin menjauhkan Indonesia dari apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Romo menuturkan bahwa masyarakat tidak lagi memahami dan menjadikan Pancasila sebagi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Saat disinggung mengenai pribadi Indonesia yang ia impikan, Romo menuturkan, Indonesia membutuhkan pribadi yang berintegritas, berani dan memiliki visi yang baik dan bermanfaat. Hal itu dilakukan dengan mengembalikan pribadi Pancasila yang merupakan cita-cita pendiri bangsa kita. “Kalau mau kembali ke jati diri bangsa, kita harus membuat nyata cita-cita dan nilai-nilai dasar bangsa yang terumus dalam Pancasila,” tegasnya.
Berbeda dengan pendapat Romo, pembicara ketiga, Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, mengidentifikasikan jati diri bangsa Indonesia bersifat relatif. “Sebenarnya bukan mengembalikan jati diri bangsa, melainkan mencari,” ungkapnya. Meski dengan tegas jati diri bangsa kita adalah Indonesia, tetapi hanya berlaku dalam status kewarganegaraan saja. Menurutnya, identitas menjadi beragam jika dikaitkan dengan budaya. Upaya untuk membuat kita memiliki identitas adalah dengan menyelaraskan antara unsur kewarganegaraan dan budaya.

Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, SU (tengah) sebagai moderator dalam diskusi mengenai “Perkembangan Kondisi Bangsa dan Martabat Manusia Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Teknologi” oleh Prof. Dr. Rinaldy Dalimi, M.Sc. Ph.D (kiri) dan “Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” oleh Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, DSTHT (kanan).
Selain itu, menurut Prof. Ir. Rinaldy Dalimi, M.Sc., Ph.D, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, kebobrokan jati diri juga terjadi di bidang teknologi. “Masyarakat seringkali menggunakan alat-alat dengan teknologi canggih tanpa mengetahui tujuan dari penggunaan alat tersebut,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa hal ini sangat memungkinkan Indonesia menjadi tergantung dengan negara lain dalam pemanfaatan teknologi. Indonesia merupakan negara yang banyak menggunakan teknologi dari negara lain. Terlebih negara kita belum mampu memproduksi alat-alatnya sendiri.
Pada penghujung acara, moderator menyerukan ide dari para guru besar untuk membuat sebuah buku mengenai bagaimana mengembalikan jati diri bangsa. Buku ini nantinya akan digunakan sebagai pedoman bagi para peneliti asing untuk meneliti jati diri manusia Indonesia. Penyusun dari buku tesebut adalah anggota dari Majelis Guru Besar dan mahasiswa. Dengan adanya buku tersebut tentu menjadikan para guru besar tidak lagi hanya tinggal diam dan prihatin terhadap bangsa ini. “Kita sebagai Profesor seharusnya tidak hanya diam, kita harus bicara. Boleh sopan, asal tidak menggelapkan realita,” ungkap Buya. [Erni Maria Angreini, Nuresti Tristya Astarina]