
©Christiane Berliana
Plang peringatan yang melarang pengemis dan pemulung memasuki UGM terlihat di beberapa area di UGM. Mursito selaku petugas Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK), menjelaskan bahwa larangan pengemis dan pemulung memasuki wilayah UGM adalah perintah langsung dari rektor. Di pihak lain, Wijayanti, Kepala Humas UGM, membenarkan pelarangan tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku di UGM. Sayangnya, ia tidak menjelaskan mengenai jenis peraturan tersebut. āSaya kurang tahu pasti juga bentuk peraturan ini,ā akunya ketika ditanya lebih lanjut.
Menurut Wijayanti pelarangan bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keindahan UGM. Ia menjelaskan bahwa pemulung yang hendak mengambil sampah justru mengobrak-abrik sampah yang telah tertata. Padahal, UGM telah memiliki sistem pengolahan sampah tersendiri Ā āIniĀ kanĀ tentu mengganggu sistem penataan sampah UGM,ā keluh Wijayanti.
Melengkapi keluhan Wijayanti tentang pemulung, Mursito juga memberikan komentarnya mengenai pengemis di UGM. Mursito mengatakan hanya ada beberapa tempat yang sering menjadi lokasi berkeliaran pengemis dan pemulung. Tempat tersebut diantaranya adalah Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), Grha Sabha Pramana (GSP) dan Masjid Kampus (Maskam). āMaskamĀ kanĀ ramai, tempat beribadah dan banyak yang bersedekah juga, jadi pengemis senang disana,ā ujar Mursito.
Ia juga menambahkan penertiban pengemis dan pemulung sebenarnya merupakan tugas SKKK. Namun, kewajiban tersebut bukan merupakan tugas utama SKKK. Pada pelaksanaan penertiban pengemis dan pemulung pun, SKKK menemukan berbagai hambatan. Keadaan UGM yang luas dan banyaknya jalan untuk kabur memudahkan pengemis dan pemulung untuk kabur dari kejaran petugas SKKK. Mursito mengatakan pengusiran sudah sering dilakukan tetapi tidak pernah diindahkan. Bahkan SKKK seringkali mendapat perkataan buruk. āKalau kami lagi ngusir mereka, kami seringĀ dipisuhiĀ juga,ā keluh Mursito.
Sejauh ini tindakan yang dilakukan SKKK untuk menertibkan pengemis dan pemulung baru sebatas peneguran langsung. Lebih lanjut Mursito mengungkapkan bahwa tindakan lebih dari pengusiran, seperti pembinaan, belum bisa dilakukan. Ia menambahkan Ā apabila pembinaan dilakukan maka perlu banyak persiapan dan UGM belum siap untuk itu. āKita belum bisa melakukan pembinaan karena untuk hal tersebut perlu kerja sama dengan pihak lembaga sosial,ā ujarnya.
Menurut Mursito, hambatan dalam penertiban selain berasal dari pengemis dan pemulung juga berasal dari pihak internal UGM. Pihak internal yang dinilai menghambat antara lain adalah mahasiswa. Kebiasaan mahasiswa memberikan uang kepada pengemis turut memberi andil terhadap terhambatnya penegakan aturan. āNgasihĀ uang ke pengemisĀ kanĀ sama saja dengan mengizinkan pengemis beroperasi di UGM,ā tambahnya.
Menanggapi permasalahan ini Audhie Rahman, mahasiswa Ilmu Gizi, angkat bicara. Ia berpendapat UGM tidak hanya harus menjaga lingkungannya, namun juga perlu menerapkan cara lain untuk menanggulangi keberadaan pengemis dan pemulung. Menurut Febrianto Ramadhan Gilik, mahasiswa Ilmu Hukum, cara penanggulangan tersebut adalah dengan membuat sistem pembuangan sampah di satu titik agar pemulung tidak berkeliaran.
Menanggapi pendapat Febrianto, Wijayanti menyatakan pengolahan sampah yang dikumpulkan di satu tempat agar bisa dimanfaatkan pemulung belum direncanakan oleh UGM. Sementara merespon permasalahan pengemis, ia mengingatkan larangan mengemis meupakan aturan dari pemerintah. Sejalan dengan aturan tersebut maka pengemis dan pemulung dilarang Ā memasuki lingkungan UGM. āIni salah satu cara UGM mendidik bangsa agar tidak menjadi bangsa peminta-minta,ā pungkasnya.Ā [Inda Lestari, Arifanny Faizal, Unggul Wisnu Wicaksana]