Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABAROPINI

Pengesahan RUU PT: Abainya Pemerintah pada Aspirasi Masyarakat

Juli 17, 2012
nani. bal

nani. bal

Sejak pertama kali pembahasan April 2011 lalu, Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) mengundang banyak reaksi negatif dari banyak elemen masyarakat. Mahasiswa, akademisi, LBH, dan elemen masyarakat lainnya menjadi kelompok peduli dunia pendidikan yang melakukan penolakan. Banyak cara sudah dilakukan; aksi jalanan, penulisan opini di media massa, catatan yang disebarluaskan lewat sosial media, bahkan berdiskusi langsung dengan anggota komisi yang melakukan pembahasan.

Penolakan dilakukan karena banyak pasal yang secara gamblang membuat kontroversi. Sebut saja pasal yang memberikan kewenangan pada PTN untuk memiliki badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Pasal ini dinilai akan membuka keran komersialisasi kampus secara besar-besaran. Kedua, pasal yang berisi mahasiswa tidak mampu diperbolehkan berhutang pada universitas dan membayarnya setelah lulus. Bukannya memperbesar volume beasiswa, pemerintah malah mengajari masyarakatnya untuk berhutang. Ketiga, pasal mengenai organisasi kemahasiswaan akan diatur dalam peraturan menteri. Pasal ini dinilai banyak aktivis sebagai cara baru pemerintah mengendalikan aktivitas kampus seperti NKK/BKK pada orde baru. Namun, seolah menutup mata dan telinga, Komisi X DPR mengesahkan RUU PT pada Jumat (13/7).

Selama empat kali pembahasan, memang sudah banyak pasal yang dipangkas. Sekilas seperti terjadi perubahan signifikan atas pertimbangan dari berbagai masukan dan penolakan yang dilakukan. Namun nyatanya, pasal-pasal kontroversial itu tetap ada. Pembahasan hanya menyangkut persoalan keredaksian; penggabungan pasal dan penghalusan kalimat, bukan persoalan substansial. Padahal, baik Menteri Pendidikan ataupun anggota Komisi X mengatakan bahwa pengesahan sudah mengakomodasi aspirasi masyarakat. Aspirasi mana yang mereka maksud kalau sampai pada detik pengesahan, penolakan malah semakin banyak dilakukan?

Pemerintah, dalam hal ini Komisi X DPR mempraktikkan dominasi kuasanya atas dunia pendidikan. Paulo Freire, setelah melalui proses pemahaman panjang mengenai kekuasaan mengatakan bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara, dan departemen kehakiman. Dominasi juga dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam.

Pemerintah menganggap bahwa masyarakat akan mengerjakan produk dominasi yang mereka buat dengan sikap penurut. Mereka lupa, bahwa tidak semua masyarakat negeri ini akan begitu saja pasrah dengan semua hasil keputusan. Masih ada masyarakat yang peduli dan tak mau tinggal diam dengan sikap arogan atas implementasi dominasi  yang dipraktikkan.

Bagaimanapun proses yang terjadi, pengesahan sudah dilakukan. Kini, hanya dua pilihan bagi para pelaku di dunia pendidikan. Pertama, mencoba melaksanakan UU dengan berbagai konsekuensi. Apabila pilihan ini yang diambil, upaya penolakan yang sudah dilakukan hanya tinggal bayang-bayang. Tidak juga memberi efek jera pada pemerintah untuk tidak terus mengabaikan masyarakatnya. Atau pilihan kedua, konsisten dengan prinsip awal dan bersiap menindak pengesahan dengan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sama seperti yang terjadi pada UU BHP 2010 lalu.

Fitria Nurhayati

Pemimpin Redaksi BPPM Balairung

balairungpendidikanpers mahasiswaruu pt
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

Karut-Marut Sistem KIP-Kuliah

Narasi Abal-Abal Hari Besar Nasional

Menjaga Nyala Pers Mahasiswa

Jangan Takut Referendum KM UGM

Memeriksa Dua Sisi: Perlunya Keterlibatan Konsumen dalam Penyejahteraan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM