Tak banyak yang tahu, Jogja ditetapkan sebagai ibukota industri kreatif di Indonesia. Di Jogja, para seniman, akademisi, serta praktisi berkumpul. Maka tak heran, Â kolaborasi ketiganya memunculkan banyak industri kreatif.
Potensi ini kemudian dilirik oleh pemerintah pusat yang terangkum dalam Master Plan Percepatan Peningkatan Ekonomi Indonesia (MP3I). Wacana ini tertuang dalam diskusi publik bertajuk âJogja: Kota Kreatifâ pada Kamis, (30/6). Acara yang bertempat di ruang Hagios lantai 3 Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) ini terselenggara berkat kerjasama IIS UGM, UKDW, serta Kementerian Ritek dan Teknologi.
Menurut Aunur Rofiq selaku staf Wakil Presiden RI, industri kreatif adalah sebuah industri yang mampu menciptakan mekanisme untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Idealnya, industri kreatif harus terdiri dari tiga fase, yakni Think/Idea, Planning, dan Act/Production.Ketiga fase ini harus didukung dengan solidaritas sosial masyarakat, identifikasi potensi, serta gagasan-gagasan pemecahan masalah. âIndustri kreatif juga harus mampu melakukan sinergi antara tiga aktor, yaitu negara, masyarakat dan akademisi,â tambah Aunur.
Senada dengan Aunur, M. Arief Budiman dari komunitas Petak Umpet Jogja juga menyatakan dukungannya pada industri kreatif Jogja. Meskipun di awal penjelasannya Arief sedikit âmengritikâ Jogja yang penuh dengan spanduk kampanye, ia tetap optimis dengan rebrandingJogja sebagai ibukota kreativitas Indonesia.
Tak jauh berbeda dengan pembicara sebelumnya, Widyawan, Ketua Program Studi Teknologi Informasi UGM, juga menyatakan dukungannya pada industri kreatif Jogja. Ia menyebutkan industri kreatif Jogja telah menyumbang PDB setidaknya 151,6 triliun rupiah pada 2008. Angka ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya integrasi jejaring sosial pada setiap aspek kehidupan. âTeknologi-teknologi semacam ini harus kita manfaatkan untuk meningkatkan industri kreatif di Jogja,â ujar Widyawan.
Diskusi sempat berlangsung heboh saat Dini, mahasiswa Ilmu Gizi UGM mengajukan pendapat yang cukup mengejutkan. Dini menyayangkan sikap pemerintah yang cukup arogan dalam mengembangkan kreativitas mahasiswa. Menurut Dini, akademisi di Jogja sudah dididik hanya menjadi sebuah pekerja belaka. Ia mencontohkannya dengan implementasi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang seolah-olah hanya sebatas formalitas. Pendapat Dini ini ditanggapi secara dingin oleh Dendi Pratama, anggota komunitas Capung Yogyakarta. âDaripada ikut PKM, lebih baik bikin penyuluhan saja untuk pengusaha kecil saat isu boraks menyebar,â tegas Dendi. âMahasiswa jangan hanya bisa mengutuk, tetapi juga berkontribusi lebih untuk Jogjaâ sambungnya sembari menutup pembicaraan. [Ferdi Febianno Anggriawan]