Dalih ketertiban dan kedisiplinan seringkali dijadikan senjata oleh rektorat untuk membuat kebijakan. Salah satunya ialah pembatasan waktu kegiatan mahasiswa. Dalam Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 1026/P/SKKK/2001 menyebutkan, segala kegiatan di kampus dibatasi hanya sampai pukul 21.00. Di atas jam tersebut, kegiatan mahasiswa harus mengantongi izin.
Tahun 2006, lima tahun setelah SK jam malam diterbitkan, SK ditegaskan pada bulan Maret dan Juni. Waktu pembatasan yang dicantumkan pun berubah menjadi pukul 22.00. Kemudian, SK kembali ditegaskan melalui surat yang diedarkan tertanggal 15 April 2011 (Balkon, 6 Juni 2011). Penegasan kali ini dilakukan oleh Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus (SKKK) UGM dengan melampirkan surat bernomor 1026/P/SKKK/2006 tertanggal 1 Maret 2006.
Namun, seperti halnya kebijakan-kebijakan rektorat lainnya, kebijakan kali ini tentu saja belum bisa dianggap rampung begitu saja. Terutama ketika dalam proses implementasinya yang melibatkan seluruh civitas akademik. Pasalnya, kebijakan ini hingga sekarang pun masih menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra dengan kebijakan ini diantaranya adalah mereka yang menekuni bidang non-akademik, yakni para pegiat UKM. Ketidaksetujuan mereka sampaikan dengan berbagai alasan. Salah satunya karena di siang hari para anggotanya mempunyai kegiatan dan rutinitas masing-masing. (Balkon, 6 Juni 2011)
Menanggapi kontra kebijakan pembatasan waktu kegiatan mahasiswa ini, Divisi Riset BPPM Balairung mengadakan polling terhitung mulai tanggal 5 sampai dengan 26 Mei 2011. Polling ini menggunakan metode non-probability sampling, yang berarti setiap orang berhak menjadikan dirinya responden. Pertanyaan yang diajukan adalah: “ Setujukah anda dengan diberlakukannya jam malam di UGM?“. Polling ini berhasil menjaring 96 suara. Dari seluruh responden yang mengikuti polling, sebesar 63,54% menyatakan tidak setuju, 31,25% menyatakan setuju, dan 5.21% menyatakan tidak tahu.
Hasil polling diatas setidaknya tidak dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana tanggapan responden terhadap penerapan jam malam di wilayah UGM. Dengan suara mayoritas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan jam malam, . Hal tersebut dikarenakan jam malam yang diterapkan cukup menghambat keaktifan mahasiswa baik itu dalam kegiatan perkuliahan maupun non-perkuliahan.
Seringkali dijumpai mahasiswa yang memanfaatkan kampus sebagai tempat mengerjakan tugas kuliah. Tidak hanya itu, waktu yang dibutuhkan pun kerap kali sampai malam hari. Namun, pemberlakuan jam malam tersebut pada akhirnya cukup menghambat. Bagi mahasiswa yang berkegiatan malam hari di UGM, diharuskan mengantongi surat izin dari SKKK. Terlebih jika terdapat kegiatan non- akademik yang berlangsung hingga malam, seperti kegiatan UKM maupun HMJ.
Dengan demikianUGM sebaiknya melakukan pengkajian ulang mengenai pemberlakuan jam malam mengingat efek domino yang dihasilkan. Penutupan yang dilakukan oleh pihak UGM terhadap akses keluar-masuk UGM tersebut dapat menjadi penyulut berkembangnya citraeksklusif bagi UGM. Padahal, akses jalan yang ditutup oleh pihak UGM merupakan akses yang cukup ramai dilewati oleh masyarakat. UGM menjadi dianggap lebih tertutup, terlebih jika telah masuk malam hari.
Memang, tujuan yang disematkan pada kebijakan pemberlakuan jam malam tersebut merupakan hal yang positif, yaitu keamanan dan ketertiban UGM. Namun jika kebijakan tersebut pada akhirnya menimbulkan efek negatif seperti terhambatnya aktivitas mahasiswa, tentu kebijakan tersebut menjadi sebuah anomali. ujung-ujungnya, aktivitas positif mahasiswa kembali terhambat oleh pembatasan waktu dari pihak UGM. [Dhatu, Ulum]