
©Bangkit/Bal
Puluhan orang dari berbagai elemen masyarakat sipil memadati Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Kamis (09-06). Pagi itu, LBH Yogyakarta menggelar konferensi pers bertajuk “Merajut Korban-Korban Kebijakan HS” guna merespons operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Haryadi Suyuti, Mantan Walikota Yogyakarta. “Selama masa jabatannya, Haryadi Suyuti banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan warga Yogyakarta,” ungkap Kharisma dari LBH Yogyakarta.
Merespons pernyataan tersebut, Haidar dari Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta menyoroti masalah korupsi di Yogyakarta. Menurutnya, IDEA pernah mencatat bahwa laporan dugaan korupsi di Yogyakarta pada 2015–2018 sangat tinggi. “Kami mencatat ada sekitar 192 laporan dugaan korupsi. Bisa jadi kasus yang menjerat Mantan Walikota tahun ini merupakan salah satu di antaranya,” jelas Haidar.
Berdasarkan data tersebut, Haidar menyatakan bahwa penindakan KPK terhadap dugaan kasus korupsi di Yogyakarta sangatlah rendah. Satu penindakan yang dilakukan terhadap Mantan Walikota tahun ini, menurutnya, bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Sebelum melakukan OTT terhadap Haryadi Suyuti, Haidar menyatakan bahwa prestasi terbesar KPK di Yogyakarta hanyalah membuat nota kesepahaman dengan Gubernur DIY tentang pencegahan korupsi. “Artinya, upaya KPK di Yogyakarta selama ini hanya sebatas pencegahan. Padahal, potensi tindak pidana korupsi di Yogyakarta sangat besar,” tegas Haidar.
Menyambung Haidar, Dodok dari Komunitas Warga Berdaya mencurigai beberapa proyek pembangunan apartemen selama Haryadi menjabat. Ia mengungkapkan terdapat sekitar 106 perizinan pembangunan apartemen selama Haryadi menjabat. “Tahun ini, Haryadi ditangkap karena suap pembangunan apartemen. Harapan kami 106 pembangunan apartemen yang izinnya dikeluarkan Haryadi ikut diperiksa juga,” ujar Dodok.
Sejalan dengan Dodok, Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM menyatakan bahwa berkas-berkas perizinan Haryadi Suyuti selama menjabat juga perlu diperiksa. Menurutnya, OTT kecil-kecilan yang dilakukan KPK terhadap pejabat selalu berujung pada kasus korupsi yang lebih besar. “KPK perlu meninjau seluruh perizinan yang dikeluarkan Haryadi Suyuti dari 2012 hingga 2022, bukan hanya dari 2017 saja,” jelas Zaenur.
Lebih lanjut, Zaenur menyatakan bahwa praktik penyidikan korupsi di Yogyakarta kerap salah arah. “Hingga saat ini, korporasi pemberi suap dalam kasus Haryadi Suyuti belum dikenakan tindakan apa pun dari KPK,” jelas Zaenur. Padahal, menurut Zaenur, korporasi perlu dijerat melalui pendekatan korupsi korporasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Korporasi, menurut Zaenur, juga perlu dijerat oleh KPK. ”Sebab, suap itu diberikan oleh pengurus perusahaan dan atas nama perusahaan,” tegas Zaenur. Suap tersebut tidak lain bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi melalui pembangunan apartemen, yang lagi-lagi mengalir ke kantong korporasi.Â
Untuk menggugat korporasi, Zaenur menekankan pentingnya pendekatan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Metode ini memungkinkan KPK untuk melacak sumber aliran dana korupsi. “Dengan pendekatan ini, KPK dapat mengetahui dari mana aliran dana itu mengalir dan ke mana tujuannya,” jelas Zaenur. Oleh karena itu, KPK pun tidak hanya dapat meringkus pemberi dana, tetapi juga pihak-pihak lain yang menerima aliran dana suap. Bahkan, sebagaimana diungkapkan oleh Zaenur, tidak menutup kemungkinan bahwa KPK mampu mengungkap jaringan korupsi yang jauh lebih besar.
Di sisi lain, warga Yogyakarta tidak diam begitu saja ketika melihat permasalahan Jogja di bawah kepemimpinan Haryadi Suyuti. Esther dari perwakilan PKL Pasar Kembang, misalnya, aktif memperjuangkan haknya atas penggusuran kios di Pasar Kembang. “Hingga kini, Haryadi Suyuti tidak memberikan ganti rugi atau relokasi sama sekali,” ucap Esther.
Penggusuran yang melibatkan Pemerintah Kota Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia tersebut membuat Esther dan pedagang lain merana. Sebab, Esther dan pedagang Pasar Kembang selama ini menggantungkan hidupnya pada kios-kios mereka. “Harapannya kios saya dapat diganti. Kalau tidak bisa, saya harap dia (Haryadi Suyuti) dimiskinkan dan dihukum mati saja,” tegas Esther.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: Han Revanda
Fotografer: Bangkit Adhi Wiguna