
©Anis/Bal
“Pegawai KPK menolak dipimpin foknum penghambat pemberantasan korupsi,” merupakan salah satu pernyataan sikap Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta yang berlangsung di Kantor Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM. Rabu (28-08), perwakilan dari beberapa tokoh, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan juga perguruan tinggi menyampaikan kekhawatiran kepada KPK. Hasrul Halili, Sekretaris PUKAT UGM menjelaskan bahwa permasalahan ada pada proses seleksi Capim KPK yaitu beberapa calon dianggap memiliki rekam jejak yang buruk. Pansel juga dianggap tidak lagi memperhatikan prinsip-prinsip integritas, profesionalitas dan juga independensi. Oleh karena itu, pernyataan sikap bertujuan untuk mendesak Presiden menganulir hasil seleksi.
Yogi Zul Fadhli, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menjelaskan mengenai tidak diakomodirnya masukan KPK berupa pencarian informasi terhadap Capim KPK. Meskipun permintaan tersebut awalnya datang dari Pansel KPK. Menanggapi hal tersebut, Pansel menyatakan bahwa prosesnya bisa dianulir kalau Capim yang bersangkutan terpilih. Padahal, tugas Pansel selesai setelah menyerahkan dua puluh nama Capim kepada presiden.
Selain itu, diungkapkan oleh Wahyu Tri dari Indonesia Court Monitoring (ICM) bahwa salah satu anggota Pansel KPK juga dianggap melanggar Keppres 54 tahun 2019 tentang Pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK 2019-2023. Yaitu salah satu anggota Pansel melakukan rilis liar dalam beberapa media. “Kami temukan setidaknya di dua media, CNN Indonesia 25 Agustus dan Kompas 30 Juli,” lanjut Wahyu. Dilansir dari CNN Indonesia, rilis liar tersebut dimuat dalam berita “Pansel Ingatkan Risiko Hukum Ungkap Rekam Jejak Capim KPK.”
Tidak hanya itu, Hasrul Halili kembali mengungkapkan, proses yang berlangsung di dalam Panitia Seleksi (Pansel) dianggap bermasalah karena tidak mempertimbangkan syarat LHKPN yang terdapat pada Pasal 29 angka 11 UU KPK. Sebab, LHKPN memiliki peran penting untuk mendorong akuntabilitas pejabat publik. Sehingga, sangat berbahaya apabila Capim tidak mempunyai komitmen pada LHKPN.
Terlebih beberapa Capim memiliki rekam jejak menghambat pelaksanaan tugas KPK. Menanggapi hal tersebut, Yogi mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki Undang-undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Peraturan tersebut memuat 3 kewajiban bagi setiap penyelenggara negara yang menurut JAK telah dilanggar. Pertama, bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Kedua, wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Ketiga, tidak melakukan perbuatan tercela, termasuk dalam hal ini adalah KKN. “Saya rasa dari format itu kita punya parameter yang cukup jelas untuk menilai apakah Capim KPK itu telah memenuhi kriteria atau belum,” lanjut Yogi.
Dalam pernyataan sikapnya, JAK sepakat untuk mendesak presiden agar melakukan intervensi terhadap pilihan Pansel. Menurut Suwarsono, mantan penasihat KPK, alasan melapor pada presiden dikarenakan kritik terhadap Pansel itu tidak dihiraukan. Dia juga berharap presiden mendengarkan kritik dari masyarakat. “Karena kita masih percaya bahwa presiden tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan rakyat,” lanjutnya.
Oleh karena itu, JAK meminta kepada Presiden Jokowi sebagai penanggung jawab maupun pemberi amanah Pansel Capim KPK agar tidak menetapkan Capim yang bermasalah. Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah pada periode kepresidenan Jokowi cenderung ke arah pembangunan fisik dan infrastruktur. Menurutnya, KPK harus lebih kuat daripada yang sebelumnya. “KPK yang kuat saja korupsi masih banyak terjadi di proyek pemerintahan, apalagi kalau KPK kemudian menjadi lemah,” jelas Eko.
Widodo D. Putro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, menyatakan ada dua kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan kasus ini, yaitu presiden kecolongan atau presiden bersekongkol. Dalam artian, presiden kecolongan karena tidak cermat memilih Pansel, atau presiden memang sudah tahu, tetapi ia menggunakan Pansel sebagai proses yang melegitimasi capim bermasalah. “Saya harap presidenlah yang dapat membuktikan pertanyaan tersebut dengan cara menganulir hasil pilihan Pansel,” tutupnya.
Penulis: Anis Nurul dan Afifah Fauziah
Penyunting: Cintya Faliana