Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABAR

Pisuhan Menunjukkan Bangsa (Bahasa)

Agustus 8, 2011
istimewa

istimewa

Ada peribahasa melayu terkenal yang berbunyi “bahasa menunjukkan bangsa“. Peribahasa ini merujuk pada pemahaman mengenai identitas. Usaha-usaha penilaian asal-usul ataupun latar belakang kehidupan seseorang dari bahasa yang digunakannya, yaitu pemilihan diksi serta gaya intonasi tutur kata. ‘Bangsa’ disini bukan berarti ‘bangsa’ dalam istilah populer yang biasa kita gunakan sekarang, seperti misal penyebutan ‘Bangsa Indonesia’. Kata ‘bangsa’ dalam  peribahasa ini mengarah pada pemahaman masyarakat melayu ketika itu, yang mengartikannya sebagai ‘bangsawan’, orang-orang yang dianggap berada di golongan atas. Bisa jadi raja, putra-putri kaum ningrat, maupun ulama yang stara sosialnya dianggap lebih tinggi daripada petani ataupun rakyat biasa.

Berbeda dengan zaman melayu kuno, kali ini giliran modernisasi dan demokrasi. Kasta ataupun strata sosial seperti bangsawan sudah sangat berkurang maknanya. Namun, bahasa masih berarti identitas, suatu simbol yang menunjukkan komunitas dan kapasitas seorang individu. Misal, ulama dan presiden, harus betul-betul memilah hati-hati tutur katanya agar dapat didengar baik oleh masyarakat. Bahasa tetap memiliki nilai konsekuensi dalam tiap penggunaannya.

Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Bahasa, Prof. Dr. Kaelan, M.S. menuliskan tentang pengertian bahasa yang pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol. Bahasa bukan hanya urutan bunyi-bunyi secara empiris, namun juga memiliki makna yang nonempiris. Dengan demikian, bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, juga sebagai alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia, serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mencari hakikat kebenaran hidupnya.

Menggarisbawahi penjelasan Kaelan, bahasa sungguh lekat dalam kehidupan sehari-hari seorang individu. Dengan begitu, individu tersebut juga meneguhkan eksistensi identitasnya dalam kebahasaannya. Saya misalnya,  tinggal dan bersosialisasi dalam lingkungan yang memiliki bahasa berbeda dengan bahasa yang saya mengerti sejak kecil. Saya tinggal dan berkuliah di Yogyakarta, dimana mayoritas  penduduknya menggunakan bahasa Jawa.

Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari ini bukan perkara sepele. Awalnya hanya persoalan kecil, seperti  ketidakpahaman saya waktu membeli makanan ataupun ketika berada di tempat umum lainnya, itu pun hanya berlangsung sebentar pada bulan-bulan pertama saya di kota ini. Namun semakin bertambahnya individu dan komunitas yang perlu saya hadapi, membuat saya semakin resah. Terkadang dalam suatu perbincangan dengan empat atau lima orang teman yang berbahasa Jawa, hanya saya yang tidak mengerti dan menjadi invisible girlketika mereka tertawa terbahak-bahak dengan guyonan Jawa-nya.

Saya juga terkadang ditertawakan karena tidak mengerti pisuhan berbahasa Jawa. Sepertijancuk, asu, dan lainnya. Buat saya memang tidak kasar, diucap ribuan kali pun tidak akan sampai makna ‘kasar’ dari kata-kata tersebut. Ini karena saya tidak terbiasa dan tidak terlalu peduli dengan arti kata tersebut. Meski begitu, secara tidak langsung saya pun membiasakan diri. Kerap kali saya ikut-ikutan  bercanda dengan memanggil teman dengan akhiran cukseperti yang dilakukan teman yang lainnya. Namun buat saya kata cuk itu tetap tidak punya arti khusus. Hanya berupa bunyi dengan tiga huruf, c-u-k. Selesai.

Kembali pada pemahaman bahasa menunjukkan bangsa, dimana kata-kata yang diucapkan menunjukkan suatu golongan atau komunitas yang bersangkutan. Eric Fromm (1947) mejelaskan, identitas diri dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dari identitas sosial seseorang dalam konteks komunitasnya. Identitas diri tidak dapat dilepaskan dari norma yang mengikat semua warga masyarakat tempat ia hidup dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat. Dengan begitu, ternyata cuk yang saya ucapkan bukan hanya sekedar bunyi yang keluar karena pelafalan tiga kata itu. Kata cuk yang saya ucapkan merupakan bentuk komunikasi saya yang keluar secara sadar. Yaitu suatu upaya ekspresi ketertarikan untuk dapat juga berbaur dengan komunitas.

Dengan begitu, walaupun secara maknawi saya memiliki kata cuk yang berbeda, saya tetap ingin dianggap sebagai bagian dari komunitas yang saya tinggali. Komunitas yang seringnya, berbahasa Jawa yang sebagian besar kata-katanya tidak saya pahami. Ternyata bukan hanya bahasa secara umum, tapi pisuhan juga dapat menunjukkan bangsa. [Afra]

 

Drs. Kaelan M.Sfilsafat bahasaidentitaspisuhan
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2022 Tuntut Bebaskan Perempuan...

Tuntut Audiensi dan Pencabutan IPL, Aksi untuk Wadas...

Penyintas Kekerasan Tuntut Keadilan Lewat Karya Tulis

Di Balik Kampanye Antitembakau, Industri Farmasi Monopoli Nikotin

Pelarangan Senjata Nuklir Kian Mendesak di Tengah Konflik...

Survei LSI: Masyarakat dan Partai Politik Kompak Menolak...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM