
©Syalwa/Bal
LBH Yogyakarta dengan AJI Surakarta dan MBZ Keadilan mengadakan konferensi pers atas pengaduan salah satu korban teror pasca-aksi Agustus di Surakarta pada Jumat (7-11), di kantor LBH Yogyakarta. Wandi Syahputra selaku moderator menjelaskan bahwa konferensi pers ini diselenggarakan sebagai bentuk publikasi kepada media atas kasus tindakan intimidatif yang diduga dilakukan oleh kepolisian kepada sejumlah masyarakat. Konferensi ini menghadirkan Awab sebagai korban, Ardan sebagai kakak kandung korban, Farhan sebagai rekan kerja korban, Muhammad Badrus dari Koalisi Advokat Anti Kriminalisasi Surakarta, dan Wetub Toatubun dari LBH Yogyakarta.
Peristiwa ini bermula dari pengaduan korban kepada LBH Yogyakarta atas tindakan intimidatif berupa ancaman verbal dan pemaksaan yang diduga dilakukan oleh pihak kepolisian Surakarta kepada Awab dan rekannya pada Kamis (30-10). Ardan mengatakan bahwa mulanya terjadi penjemputan yang diduga dilakukan oleh kepolisian di tempat mereka bekerja untuk mencari keberadaan korban yang diduga berkaitan dengan demo di Surakarta (29-8). “Saya sudah sempat menjawab, bahwa adik saya tidak terlibat di dalam aksi tersebut, tapi mereka tetap memaksa untuk mencari dan menanyakan informasi terhadap kami, “ ujar Ardan.
Ardan bercerita bahwa saat aparat mendatangi workshop sablon di Sukoharjo, tempat Awab bekerja, mereka memaksa untuk mencari keberadaan adiknya. Para aparat itu pun merampas ponsel dan meminta nomor telepon Ardan dengan alasan supaya bisa ditanyai terkait keberadaan adiknya. “Salah satu di antara mereka mengeluarkan kata-kata intimidatif atau ancaman berupa: semisal adik kamu tidak segera ditemukan, bisa jadi akan kami jemput paksa di rumah atau ketemu di jalan,” jelas Ardan.Â
Kesaksian lain pun datang dari Farhan, rekan korban yang mengutarakan penyitaan semua ponsel di workshop hari itu. Selain penyitaan ponsel, menurut Farhan, identitas para pekerja pun difoto tanpa alasan yang jelas oleh aparat. “Setelah mengancam tersebut, mereka memaksa untuk kita menghubungi Awab dan jangan memberitahu kalau korban sedang dicari oleh polisi,” ungkapnya.
Ardan turut menambahkan bahwa penjemputan ini terjadi tanpa surat pemanggilan ataupun penangkapan dengan administrasi yang jelas. Ardan juga membenarkan adanya pemaksaan untuk menunjukkan identitas dengan dalih sebagai barang bukti. “Mereka terus memaksa kami untuk menunjukkan identitas kami dan mereka foto dengan alasan sebagai bukti atau apa kami juga kurang tahu,” terangnya.
Wandi berpendapat bahwa dari peristiwa tersebut, aparat telah bersikap sewenang-wenang terhadap warga sipil. Ia menegaskan bahwa, “Negara ini adalah negara hukum, bukan negara yang seenaknya memperlakukan warganya.” Ia pun menambahkan bahwa ancaman yang dialami korban adalah suatu tindak intimidasi yang melanggar prinsip hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 UUD 1945.
Awab, korban yang diburu, menyatakan bahwa dirinya tidak pernah terlibat sama sekali dalam aksi 29 Agustus yang dijadikan alasan pencariannya. Alhasil, setelah penjemputan itu, ia merasa takut karena dicari dengan cara yang tidak manusiawi. Ia turut mempertanyakan dasar hukum tindakan aparat yang datang tanpa surat pemanggilan. “Jika kita mengerucut pada pembahasan yang ada di undang-undang KUHAP 227, ketika seseorang dijadikan saksi, itu maksimal tiga hari sebelumnya sudah ada surat pemanggilan dan harus diberikan kepada orang terkait atau kerabatnya,” jelas Awab.Â
Wetub juga mengatakan bahwa tindakan aparat terhadap Awab merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prosedur hukum yang berlaku. Ia menilai bahwa tindakan yang dilakukan aparat adalah bentuk kesewenang-wenangan dalam menjalankan tugasnya. “Kepolisian juga harusnya tertib dalam peraturan perundang-undangan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,” ujarnya.
Wetub menyebut bahwa penjemputan tersebut melanggar KUHAP yang mewajibkan surat penangkapan dalam setiap proses penangkapan seseorang oleh aparat. “Pasal 18 di KUHAP jelas bahwa orang ketika mau ditangkap harus ada surat tugas, surat penangkapan, dan seterusnya,” tambahnya. Menurut Wetub, hal ini juga bertentangan dengan peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya.
Penulis: Dian Meina Dwi Haryanto, Vina Arum Melati, Syalwa Salsabila (Magang)
Penyunting: Nabeel Fayyaz
Fotografer: Syalwa Salsabila (Magang)