
©Hadrian/Bal
⚠ Peringatan Pemicu ⚠
Tulisan ini mengandung unsur kekerasan yang eksplisit. Hal ini mungkin akan tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Solidaritas Perjuangan untuk Keadilan Rakyat (SANGKAR) menggelar konferensi pers pada Kamis (9-10) di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Konferensi pers ini menyampaikan hasil investigasi tentang kasus dugaan salah tangkap terhadap 14 anak di bawah umur pada saat demonstrasi pada Jumat (29-08) di depan Polresta Magelang. Konferensi pers ini menghadirkan Sum, Mala, dan Hana sebagai orang tua korban dan Royan sebagai penasihat hukum dari pihak LBH. Moderator mengungkapkan bahwa kepolisian telah melakukan serangkaian penyiksaan dan kekerasan kepada 14 anak untuk mengakui telah mengikuti demonstrasi.
Royan menjelaskan terkait kronologi peristiwa penangkapan itu yang dimulai dari pembubaran demonstran oleh polisi di alun-alun Magelang dengan menembakkan gas air mata. Setelahnya, Royan menyatakan bahwa polisi melakukan penyisiran dan pengejaran yang berakibat penangkapan orang-orang secara acak di sekitar lokasi demonstrasi. Menurutnya, hal ini menyebabkan banyaknya korban salah tangkap. “Setelah mereka ditangkap, mereka tidak diberi kesempatan untuk membela diri,” ujar Royan.
Royan kemudian menjelaskan bahwa sebanyak 53 orang ditangkap pada Jumat (29-8), 26 di antaranya adalah anak di bawah umur, dan jumlah anak yang berhasil untuk ditemui secara langsung oleh pihak LBH terdapat 14 orang. “Sisanya kami tidak bisa akses karena terkendala alamat dan juga sekolah,” tuturnya. Ia juga menerangkan bahwa rata-rata waktu korban ditangkap saat malam hari sekitar pukul 21.00 sampai pukul 24.00.
Sum memaparkan bahwa anaknya ditangkap ketika sedang bekerja di angkringan. Ia menyatakan bahwa anaknya kemudian ditendang pada bagian perut. Selaras dengan pengakuan Sum, Mala turut mengungkap beberapa bentuk kekerasan yang dialami anaknya. Mala menyatakan bahwa kepala anaknya diinjak berkali-kali menggunakan sepatu polisi. Tidak hanya itu, Ia menambahkan bahwa hidung dan mulut anaknya tak luput dari sasaran pukulan polisi. “Pelipisnya juga lebam, belakangnya disabet pakai selang, disuruh untuk push up 50 kali,” ujar Mala.
Selaras dengan Sum dan Mala, Hana mengungkap bahwa selama masa penahanan anaknya juga dipukul menggunakan helm dan sandal karet. Ia menjelaskan tindak kekerasan tersebut dilakukan untuk memaksa sang anak mengakui mengikuti demonstrasi. “Jadi anak saya mau tidak mau juga mengakui suatu yang tidak dia lakukan,” keluhnya.
Kemudian, Royan menjelaskan bahwa selain menerima kekerasan fisik, kekerasan psikis juga dialami oleh para korban. Ia memaparkan bahwasanya polisi juga menyebarkan data pribadi korban. “Di data itu ada keterangan bahwa anak ini adalah pelaku demo yang rusuh di depan polisi,” tutur Royan. Menurutnya, penyebaran data tersebut menimbulkan pandangan negatif di masyarakat bahwa anak-anak tersebut adalah pelaku kriminal.
Lebih lanjut, Royan berkata bahwa LBH bersama orang tua dari korban kekerasan kepolisian bersepakat untuk mengirimkan laporan ke Polda Jawa Tengah pada Rabu (15-10). Hana juga menuntut kepolisian untuk menyampaikan permohonan maafnya kepada publik di media massa. “Untuk selanjutnya juga menghapus data-data anak kami yang sudah dicatat di Polresta Magelang,” jelas Hana.
Penulis: Amelinda Riski dan Hadrian Galang
Penyunting: Tafrihatu Zaidan
Fotograger: Hadrian Galang