
©Hadrian/Bal
“Buku Klaas itu menurut saya adalah horizon yang lebih luas tentang bagaimana sebetulnya pergerakan kebangsaan,’’ ungkap sejarawan Anna Mariana dalam diskusi buku Di Balik Bendera Persatuan. Sebagai rangkaian dalam tur buku Klaas Stutje yang digelar oleh Marjin Kiri, diskusi ini diselenggarakan di Bawabuku Bookshop pada Sabtu (25-10). Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu menghadirkan Klaas Stutje selaku penulis buku, Anna Mariana selaku penanggap, dan A.S Rimbawana selaku moderator.
Sesi diskusi diawali dengan cerita kilas balik Klaas Stutje pada tahun 2011, kala ia berusia sekitar 20 tahun. Klaas mengungkapkan bahwa ketertarikannya meneliti Perhimpunan Indonesia (PI) muncul saat membaca majalah Indonesia Merdeka yang ditulis anggota PI. “They were my age and it reminded me also of some of the campaigns that were going on back then. So I was triggered, I wanted to know more (Mereka seumuran dengan saya dan hal itu [PI-red] juga mengingatkan saya pada berbagai kampanye yang sedang berlangsung saat itu. Jadi saya terpancing, saya ingin tahu lebih banyak),’’ ujarnya kagum.
Klaas mengatakan bahwa PI adalah organisasi yang tergolong kecil, tetapi, mampu hadir dalam gerakan aktivisme antikolonial global melawan imperialisme sekaligus gerakan kemerdekaan Indonesia. “However, important for my book is that these students are not only interesting for their role in Indonesian politics or in Dutch politics, but also because they actively engaged internationally (Namun, yang penting bagi buku saya adalah bahwa para mahasiswa ini menarik bukan hanya karena peran mereka dalam politik Indonesia atau politik Belanda, tetapi juga karena mereka secara aktif terlibat di ranah internasional),’’ tegas Klaas.
Anna Mariana kemudian menjelaskan bahwa Klaas berhasil menyoroti keragaman kelas, ideologi, dan latar sosial yang hadir di balik gerakan aktivisme PI melalui pendekatan mikrohistoris. Menurutnya, keragaman yang terbentuk di ranah internasional dengan satu pandangan akan perlawanan terhadap imperialisme ini juga tidak lepas dengan peran solidaritas global. “Semua memang sedang melakukan nasionalismenya tetapi kemudian bagaimana mereka tetap terhubung. Hal tersebut yang mengatakan bahwa kita ini harus antiimperialisme, antikolonial, dan itu harus dibangun global—dan hari ini, itu solidaritas yang harus kita lakukan,” ujarnya.
Sementara itu, Joss Wibisono selaku penerjemah buku Di Balik Bendera Persatuan menggarisbawahi mengenai afiliasi organisasi komunis seperti Komintern dan League Against Imperialism yang tertoreh di latar belakang PI. Ia menganggap bahwa banyaknya masa lalu yang tidak dituliskan dalam teks sejarah bangsa ini sebagai suatu ironi. “Indonesia yang tidak hanya terdiri dari orang-orang yang yang kanan, seperti pada zaman jahiliyah [Orde Baru-red] itu, tetapi juga Indonesia yang terdiri dari orang-orang yang kiri dan mereka berjuang bagi kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.
Sorotan yang sama juga dilihat Halida Hatta, putri Bung Hatta yang hadir dalam diskusi. Menurutnya, konektivitas PI dengan tokoh-tokoh kiri sangat penting untuk membuka pintu masuk ke ranah global. “Justru dengan itu, Indonesia bisa masuk ke forum internasional dan berada di peta dunia, bahkan sejak tahun 1920-an,” ungkapnya.
Dalam diskusi ini, Klaas menekankan bahwa masyarakat tidak bisa hanya berhenti pada slogan-slogan persatuan yang bersifat propagandistis. Klaas lantas mengajak kita untuk berani membongkar apa yang ada di balik klaim-klaim tersebut. “We have to reach behind the banner of unity, Di Balik Bendera Persatuan, to truly understand the position of the Indonesian students in this global anti-colonial movement (Kita harus mencapai sesuatu Di Balik Bendera Persatuan, untuk benar-benar memahami posisi dari para mahasiswa Indonesia dalam gerakan antikolonial global ini),” ujar Klaas.
Penulis: Auliya Oktavia Ramadhani, Adhiyaksa Wahyu Nur Ilmawan, dan Risyah Eka Setyaningrum (Magang)
Penyunting: Sulthan Zidan Heydar Ahkam
Fotografer: Hadrian Galang