
©Sutanto/BAL
Pembangunan menjelma menjadi alat perusakan lingkungan yang dilegalkan. Hukum sengaja dibuat tak berdaya melawannya. Jika hukum tidak boleh menghalangi pembangunan, biarlah perlawanan yang membendung kehancuran lingkungan.
Pekik suara setuju memenuhi Gedung Parlemen. Ketuk palu sontak memecah riuh. Hari itu, para wakil rakyat menyetujui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Bagi pemerintah, UU KSDAHE menjadi instrumen hukum nasional yang mampu menjawab berbagai perkembangan, dinamika, dan perlindungan dalam urusan sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya.Â
Pendapat berbeda diutarakan oleh para aktivis lingkungan. Kekecewaan tampak di raut wajah para aktivis lingkungan yang tergabung di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Sejak tahun 2023, WALHI rutin memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait penyusunan UU KSDAHE. Bagi mereka, UU KSDAHE yang disahkan tidak menjawab inti persoalan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena rawan memicu konflik lahan.Â
Pandangan yang hampir serupa juga diutarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Selepas diketok palu, FWI dengan tegas mengeluarkan sikap menolak. Wajar jika FWI menolak. Penolakan ini bisa disebut sebagai bentuk kekecewaan mereka yang sedari dulu aktif merekomendasikan substansi UU KSDAHE. Bagi mereka, UU KSDAHE gagal melindungi ekosistem penting dan melemahkan konservasi akibat ketiadaan prinsip kolaboratif dan tumpang tindih kewenangan. Kasus tersebut menambah catatan panjang kegagalan aktivis lingkungan dalam mengadvokasikan isu lingkungan. Jika catatannya terus bertambah, bukankah sudah saatnya aktivis lingkungan meninggalkan advokasi isu melalui jalur litigasi?
Keblinger Hukum
Aktivis lingkungan di Indonesia mulai bermunculan pada tahun 1980-an. Kehadiran aktivis lingkungan pada awalnya sulit didistingsikan dengan aktivis agraria sebab, pada mulanya, gerakan lingkungan beroperasi di ranah yang dianggap sebagai wilayah agraria (Edelman 1999; Peluso dkk. 2008). Namun, keduanya jelas berbeda. Aktivis agraria lebih berfokus pada redistribusi tanah dan pemulihan hak atas tanah bagi masyarakat kecil, bukan pada konservasi alam yang menjadi fokus aktivis lingkungan. Gerakan agraria menargetkan lembaga negara seperti Kementerian Kehutanan sebagai “tuan tanah utama” karena institusi ini menguasai jutaan hektar lahan dengan dalih konservasi atau pengelolaan lingkungan (Peluso dkk. 2008).Â
Di sisi lain, para aktivis lingkungan berhimpun dengan ide bahwa pengelolaan lingkungan harus dilakukan dengan cara mengakumulasi sumber daya kehutanan melalui negara dan perusahaan negara. Selain itu, mereka menyandarkan tanggung jawab pengelolaan lingkungan di tangan Kementerian Kehutanan (Peluso dkk. 2008). Para aktivis lingkungan melihat negara sebagai aktor penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, mereka menekankan tanggung jawab institusional negara dalam mengelola sumber daya alam. Dalam laku advokasinya, aktivis lingkungan lebih mempercayakan jalur litigasi sebagai cara jitu mencapai keadilan ekologi.
Namun, pemilihan jalur litigasi oleh aktivis lingkungan sebagai wadah memperjuangkan keadilan ekologi sering kali berujung pada kegagalan. Kegagalan mereka salah satunya terjadi pada saat pengesahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Pengesahan TAP MPR IX/2001 memicu perdebatan antara aktivis agraria dan aktivis lingkungan. Aktivis agraria konservatif melihat TAP MPR IX/2001 sebagai peluang untuk memperjuangkan reforma agraria. Sementara itu, kelompok aktivis agraria radikal, seperti Federasi Serikat Petani Indonesia, menganggapnya sebagai alat neoliberalisme yang dapat melemahkan semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Di sisi lain, kelompok konservasi lingkungan yang moderat menolak gagasan redistribusi tanah hutan kepada petani dan masyarakat adat karena dianggap mengancam wilayah konservasi yang baru saja mereka peroleh (Peluso dkk. 2008). Pada akhirnya, TAP MPR IX/2001 tetap gagal mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga konflik lahan dan lingkungan tetap terjadi.
Kegagalan dalam mengadvokasikan peraturan lingkungan sebetulnya bukan kesalahan aktivis lingkungan. Hukum dan prosedur pembuatannya dikonstruksi sedemikian rupa hanya untuk kepentingan akumulator modal (Wiratman 2022). Kondisi ini diciptakan oleh kartel politik di parlemen. Para kartel ini terbentuk sebagai akibat dari relasi partai politik dan oligarki (Wiratman 2019). Akibatnya, peraturan yang dibuat tidak berpihak kepada masyarakat. Dalam proses pembentukannya, peraturan dibuat secara terburu-buru, tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, dan terjadi melalui kooptasi parlemen (Wiratman 2022). Unsur keadilan pada akhirnya tereduksi oleh kondisi seperti ini.
Kegagalan jalur litigasi tidak hanya terjadi di meja parlemen. Di meja hijau pun, kegagalan demi kegagalan terjadi. Aktivis lingkungan dan masyarakat lokal terus berusaha menuntut agar peradilan memainkan peran penting dalam tata kelola lingkungan, terutama ketika negara tampaknya enggan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan (Wardana 2023). Walaupun demikian, laku pemangku kuasa yudikatif tetap sama dengan pemangku kuasa legislatif dan eksekutif: acuh terhadap kondisi lingkungan. Dalam studinya, Wardana (2023) menyimpulkan bahwa litigasi lingkungan melalui peradilan semakin menjauh dari tujuan utamanya dalam mencapai keadilan lingkungan.Â
Patah palu hakim dalam mengadili kasus lingkungan dilandasi oleh oleh tiga hal: kurangnya keahlian hakim;Â penyangkalan perubahan iklim; dan konstruksi hukum pro pembangunan. Dalam kasus lingkungan, hakim yang harusnya bersifat aktif dalam mencari hukum justru bersifat pasif dan hanya mengikuti gugatan/tuntutan yang diajukan oleh penggugat atau jaksa. Kurangnya keahlian ini diperparah dengan penyangkalan perubahan iklim oleh para hakim (Wardana 2023). Mengingat bahwa putusan hakim sering kali dipengaruhi oleh realitas sosial (Hanych dkk. 2023), hal ini sejalan dalam survei YouGov yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan persentase penyangkal iklim tertinggi (21%).
Faktor kelemahan terbesar penanganan kasus lingkungan di Indonesia terletak pada kebijakan ekonomi-politik yang pro terhadap pembangunan. Kondisi ini yang mengonstruksi logika hukum para hakim saat mengadili kasus lingkungan. Dalam praktiknya, kasus perusakan lingkungan disebabkan oleh pembangunan yang masif. Konsekuensinya, konstruksi hukum pro pembangunan ini mengakibatkan banyak kasus lingkungan dimentahkan (Wardana 2023). Dalam kasus Cirebon misalnya, majelis hakim bahkan beralasan bahwa “hukum tidak boleh anti pembangunan dan hukum tidak boleh menghalangi pembangunan; sebaliknya, hukum harus berdiri di depan untuk membuka jalan pembangunan dan memberikan arah pembangunan; hukum mengawal dan mengontrol pembangunan untuk mencapai tujuannya.” Keadaan inilah yang menjadi resep sempurna kehancuran lingkungan di Indonesia.
Aktivis Lingkungan Bergerak
Bukan hanya di Indonesia, kegagalan aktivis lingkungan terjadi pula dalam skala global, contohnya Amerika Serikat. Pola aktivisme lingkungan di Amerika Serikat dan Indonesia memiliki kesamaan: moderat dan legalsentris. Gerakan preservasionis dan konservasionis yang menjadi titik awal aktivisme lingkungan di Amerika Serikat cenderung pragmatis dan membuka pintu bagi industri dengan dalih menyokong pertumbuhan ekonomi (Shutkin 2021). Selain itu, aktivis lingkungan yang terhimpun pada organisasi semacam Sierra Club, Wilderness Society, dan National Audubon Society yang eksis pada tahun 70-an hanya berfokus pada jalur litigasi dan tindakan legislatif tanpa mendorong keterlibatan warga di basis akar rumput (Shutkin 2021). Kondisi ini melahirkan hasil yang sama dengan di Indonesia: kegagalan.
Namun, satu hal yang menjadi pembeda antara aktivis lingkungan di Indonesia dan Amerika Serikat terletak pada keberadaan gerakan radikalnya. Bersamaan dengan eksisnya organisasi lingkungan moderat pada tahun 70-an, bibit-bibit aktivisme lingkungan radikal muncul. Bibit ini muncul seiring dengan terjadinya berbagai sabotase lingkungan, seperti kampanye The Fox melawan perusahaan pencemar di Illinois dan penghancuran alat tambang di Black Mesa oleh Arizona Phantom (Long 2004).
Tidak hanya di darat, tindakan aktivisme lingkungan radikal pun muncul di laut dengan terbentuknya Sea Shepherd Conservation Society (SSCS) pada tahun 1978. Aktivisme lingkungan radikal ini menjadi antitesis aktivisme lingkungan moderat yang sering menggunakan jalur hukum. Mereka berdalih bahwa kerusakan bumi sudah berada di tahap kritis sehingga tidak ada waktu untuk melakukan kompromi atau bekerja sama dengan sistem hukum yang eksis (Long 2004).
Dalam usaha mengadvokasikan isu lingkungan, para aktivis lingkungan radikal ini menggunakan beberapa taktik. Meskipun istilah “radikal” sering diasosiasikan dengan sesuatu yang berbahaya, dalam praktiknya, taktik yang digunakan tidak membahayakan sama sekali. Contohnya adalah The Fox, seorang aktivis yang menentang perusahaan-perusahaan di Chicago pada awal 1970-an. Ia melawan dengan menyumbat saluran pembuangan pabrik sabun, menutup cerobong asap pabrik aluminium, dan membuang limbah yang dihasilkan U.S Steel—pabrik produsen baja—langsung ke kantor wakil presidennya (Long 2004).
Taktik yang digunakan SSCS pun jauh dari kata “berbahaya”. Dalam usaha mengurangi perusakan lingkungan di laut, SSCS memilih untuk hanya mengganggu penangkapan ikan berskala besar dengan memotong jaring tangkap mereka (Long 2004). Bahkan, SSCS memiliki lima aturan ketika melakukan taktiknya:(1) tidak menggunakan bahan peledak; (2) tidak menggunakan senjata; (3) tidak melakukan tindakan yang bahkan berkemungkinan mencederai makhluk hidup; (4) jangan menolak jika ditangkap; dan (5) bersiap untuk bertanggung jawab penuh jika dihukum (List 1993).
Kerja-kerja aktivis lingkungan radikal ini nyatanya membuahkan kesuksesan. Ambil contoh Earth Liberation Front (ELF) yang berhasil menyelamatkan habitat lynx Kanada dengan membakar empat tower ski, sebuah restoran, dan radio tower di Colorado tanpa melukai makhluk hidup sama sekali. Selain dari dalih untuk menyelamatkan habitat Lynx Kanada, peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kalahnya koalisi aktivis lingkungan dalam gugatan hukum untuk menghentikan rencana pengembangan 885 hektare hutan nasional yang bagi mereka merupakan habitat utama lynx Kanada. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian sebesar 24 juta USD (Long 2004).
Kesuksesan juga tecermin dari tindakan pembakaran laboratorium eksperimen hewan di Universitas Michigan pada tahun 1992 oleh Animal Liberation Front (ALF). Justifikasi tindakan ini adalah fakta bahwa laboratorium tersebut menyiksa cerpelai dalam eksperimen di bidang toksikologi dan nutrisi (Long 2004). Pembakaran itu menyebabkan penghentian eksperimen serupa di institusi tersebut. Masih di tempat yang sama, ELF pada tahun 1999 melakukan pembakaran terhadap fasilitas penelitian benih tumbuhan. Fasilitas tersebut mendapatkan pendanaan dari Monsanto—perusahaan pembuat bibit transgenik—untuk mengembangkan benih tanaman modifikasi untuk digunakan di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Long 2004). Benih yang dikembangkan oleh Monsanto faktanya beracun untuk lingkungan dan kesehatan manusia.Â
Pada akhirnya, tatkala para pakar hukum berdebat di ruang sidang, hutan terus kehilangan pohonnya. Setiap putusan yang gagal melindungi lingkungan hanya memperpanjang siklus perusakan. Terus berkutat menggunakan logika hukum sama dengan mendukung perusakan lingkungan. Di lain sisi, mengupayakan reformasi jalur litigasi tidak bisa dijadikan jawaban; negara selalu punya cara untuk mempertahankan status quo. Maka, radikalisasi menjadi kunci. Gerakan radikal dapat diusahakan untuk menekan status quo agar meloloskan perubahan yang dicanangkan. Jikalau aktivis lingkungan teradikalisasi, niscaya keadilan lingkungan tak lagi jadi mimpi.Â
Penulis: Aditya Nugroho
Penyunting: Enjeli Wahyul Ma’wa Septia
Ilustrator: Adhitia Sutanto
Daftar Pustaka
Akbar. 2024. “Konsep Usang UU KSDAHE Baru.” Forest Watch Indonesia. August 12. https://fwi.or.id/konsep-usang-uu-ksdahe-baru/.
Alvin. 2023. “Penyelenggaraan Konservasi: 7 Catatan RUU KSDAHE Untuk Penguatan Peran Dan Partisipasi Masyarakat.” Forest Watch Indonesia. February 14. https://fwi.or.id/konservasi-tujuh-catatan-ruu-ksdahe/.
Buchholz, Katharina. 2019. “Infographic: Where Climate Change Deniers Live.” Statista. September 24. https://www.statista.com/chart/19449/countries-with-biggest-share-of-climate-change-deniers/.
CNN Indonesia. 2024. “Paripurna DPR Resmi Sahkan RUU Sumber Daya Alam Hayati jParipurna DPR Resmi Sahkan RUU Sumber Daya Alam Hayati Jadi UU.” Cnnindonesia.Com, July 9. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240709224424-32-1119397/paripurna-dpr-resmi-sahkan-ruu-sumber-daya-alam-hayati-jadi-uu.
E Media DPR. 2024. “Komisi IV Sepakati RUU KSDAHE Dibawa Ke Paripurna – EMedia DPR RI.” EMedia DPR RI – Pusat Berita Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. June 12. https://emedia.dpr.go.id/2024/06/13/komisi-iv-sepakati-ruu-ksdahe-dibawa-ke-paripurna/.
Hanych, Monika, Hubert Smekal, and Jaroslav Benák. 2023. “The Influence of Public Opinion and Media on Judicial Decision-Making: Elite Judges’ Perceptions and Strategies.” International Journal for Court Administration 14 (3). doi:10.36745/ijca.528.
Hasyim, Irsyan, and Yohanes Paskalis. 2024. “Walhi Khawatir UU Konservasi Terbaru Memicu Konflik Lahan.” Tempo, July 10. https://www.tempo.co/lingkungan/walhi-khawatir-uu-konservasi-terbaru-memicu-konflik-lahan-41428.
HuMA. 2019. “Quo Vadis Mandat Tap MPR IX/2001 Dalam Pengelolaan SDA Dan LH.” HuMa. September 16. https://www.huma.or.id/isu-strategis/catatan-diskusi-publik-quo-vadis-mandat-tap-mpr-ix-2001-masa-depan-pembaruan-hukum.
Kepaniteraan Mahkamah Agung. 2025. “Direktori Putusan.” Putusan Mahkamah Agung.Go.Id. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/478088e88d4863f1067e2339644d6889.html.
LEE PELUSO, NANCY, SURAYA AFIFF, and NOER FAUZI RACHMAN. 2008. “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia.” Journal of Agrarian Change 8 (2–3): 377–407. doi:10.1111/j.1471-0366.2008.00174.x.
List, Peter C. 1993. Radical Environmentalism: Philosophy and Tactics. Wadsworth Publishing Company.
Long, Douglas. 2004. Ecoterrorism. Infobase Publishing.
Owens, Jasmine. 2018. “What Happened to Monsanto?” Ethical Consumer. May 25. https://www.ethicalconsumer.org/home-garden/monsanto.
Roth, Emily . 2024. “Arson at the Vail Ski Resort, 1998.” Intermountain Histories. May 29. https://www.intermountainhistories.org/items/show/838.
Savitri, Yulia, and A. Muh. Ibnu Aqil. 2020. “Government Bemoans Lack of Environmental Expertise in Justice System.” The Jakarta Post, March 18. https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/18/government-bemoans-lack-of-environmental-expertise-in-justice-system.html.
Shutkin, William. 2021. “How American Environmentalism Failed.” The MIT Press Reader. August 31. https://thereader.mitpress.mit.edu/how-american-environmentalism-failed/.
WALHI. 2023. “Tujuh Catatan Penyempurnaan RUU KSDAHE Untuk Penguatan Peran Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Konservasi.” WALHI. February 13. https://www.walhi.or.id/tujuh-catatan-penyempurnaan-ruu-ksdahe-untuk-penguatan-peran-dan-partisipasi-masyarakat-dalam-penyelenggaraan-konservasi.
Wardana, Agung. 2023. “Governing Through Courts? Law and the Political-Economy of Climate Change Litigation in Indonesia.” Verfassung in Recht Und Übersee 56 (2): 351–70. doi:10.5771/0506-7286-2023-2-351.
Wiratman, Herlambang P. 2019. “Pemilu Dan Neo-Otoritarianisme.” In Prosiding Koferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5: Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum. , 1:98–110. Padang: Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Wiratraman, Herlambang P. 2022. “Constitutional Struggles and the Court in Indonesia’s Turn to Authoritarian Politics.” Federal Law Review 50 (3): 314–30. doi:10.1177/0067205×221107404.