Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Diskusi Perempuan Adat Kritik Jerat Paksaan Industri Ekstraktif
Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya...
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
ANALEKTABINGKAI

Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

April 30, 2025

Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa di Kabupaten Tuban. ©Ester/Bal

Memasuki awal tahun, angin Pantai Utara Pulau Jawa menguasai kehidupan para nelayan. Semua kapal terparkir di bibir-bibir pantai. Deru bising suara mesin kapal tidak terdengar menyaingi suara debur ombak lautan seperti biasanya. “Dari kemarin pasang, Mbak. Mana bisa pergi melaut,” ungkap Rawito, salah satu nelayan di salah satu desa pesisir Tuban.

Nelayan memperbaiki kapalnya saat musim pasang. ©Ester/Bal

Laut memang menjadi lahan penghidupan bagi para warga pesisir. Namun, di masa pasang seperti ini semua nelayan hanya bisa duduk dari dermaga. Pun dengan Rawito, sudah lebih dari setengah jam ia memandangi kapalnya. Napasnya beradu dengan angin untuk menghabiskan sebatang kretek miliknya.

Maklum, Rawito tidak memiliki pekerjaan lain selain melaut. Saat angin menyuruhnya tidak melaut, ia akan berdiam diri di rumah. Terkadang, jika ada tawaran menjadi tukang di “darat”, barulah Rawito bekerja dan itu menjadi pemasukannya. “Kalo pasang begini, yo ra iso dapat uang,” keluhnya.

Tumpukan sampah pakaian di bibir pantai. ©Ester/Bal

Namun, saat air laut surut dan angin mengalah kepada kebutuhan para nelayan. Nelayan tak langsung untung. Jaring-jaring yang mereka bawa lebih banyak menangkap sampah daripada ikan. Pasalnya, bibir pantai di daerah pesisir pantai Tuban sudah ditutupi sampah.

Kapal-kapal nelayan parkir karena tidak bisa melaut saat air pasang. ©Ester/Bal


“Buang sampah di sini itu mahal, jadi orang-orang darat buang sampah ke laut,” tutur X, Ketua Rukun Nelayan Dusun Karangsari. Sepanjang jalan lorong-lorong gang ke pesisir, memang tidak ada sampah sama sekali. Pemerintah Kabupaten Tuban mengelola ruang kota hanya di sekitaran alun-alun dengan baik. Sayangnya, wilayah pesisir tak dijangkau oleh tangan-tangan kebijakan ini.

Warga pesisir memilah sampah untuk di rongsok. ©Ester/Bal

Tak jarang, saat pasang seperti ini, nelayan yang tak punya kapal akan ngerongsok. Mereka biasanya hanya ikut membantu melaut atau dipinjamkan nelayan oleh para kulak. Para nelayan ini nantinya akan mengambil sampah-sampah botol plastik di bibir pantai dan menjualnya ke pengepul sampah.

Nelayan berjalan di bibir pantai pascamengecek kondisi kapalnya. ©Ester/Bal

Semua pekerjaan mereka babat. Selain untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, mereka juga harus membayar renten utang yang mereka pinjam. Bukan tanggung, bunga yang diterapkan bank-bank berjalan yang menyusuri gang-gang rumah mereka. “Minjemnya ke bank batak [Bank Plecit-red], Mbak. Hahaha,” cerita Suwarni dengan tawa yang nyaring.

Bibir pantai yang dipenuhi sampah dari pembuangan darat dan dari laut. ©Ester/Bal

Dengan tekanan-tekanan lingkungan pesisir yang harus nelayan hadapi setiap harinya, hidup mereka semakin dipersulit dengan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Awar-Awar Tuban yang dibangun lebih dari satu dekade silam. Selama itu pula ikan mulai menghilang. “Sebenernya limbahnya itu ngaruh sama penangkapan kami, cuma mau gimana lagi. Desa pesisir sebelah sana itu [Desa] sangat-sangat terdampak,” pungkas X.

Penulis: Ester Veny
Penyunting: Nafiis Anshaari
Fotografer: Ester Veny

4
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Polisi Tidur

Rintih Dara

Antara Stigma dan Setara

Tak Kasat Makna

Anggaran Tersedot Misterius (ATM)

Berebut Gunungkidul

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Diskusi Perempuan Adat Kritik Jerat Paksaan Industri Ekstraktif

    Desember 10, 2025
  • Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya Heri Santoso Tuai Kritik Mahasiswa

    Desember 5, 2025
  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM