Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Jam Kerja Buruh Berlebih, Aliansi Rakyat Bergerak Tuntut Pemotongan Jam Kerja

Mei 25, 2022

©Lindra/Bal

Minggu (22-05), Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar seruan aksi lanjutan Hari Buruh. Puluhan massa aksi berkumpul di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sebelum melakukan longmars ke Pertigaan Jalan Affandi. Aksi dilakukan dalam rangka Hari Buruh, Hari Pendidikan Nasional, dan 24 Tahun Reformasi. Tuntutan aksi dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain mengenai buruh, lingkungan, pendidikan, Papua, pelanggaran HAM, dan kekerasan militer. Kategori tuntutan perburuhan memiliki turunan yang mencakup 6 jam kerja, PHK sepihak, upah layak, dan kebebasan berserikat.

Aji, Humas ARB, menerangkan bahwa tuntutan 6 jam kerja dipengaruhi oleh konteks sejarah. Ia menerangkan bahwa secara historis buruh pernah bekerja selama 12 jam, sebelum buruh memenangkan haknya menjadi 8 jam. “Hari ini kami mengakomodasi tuntutan buruh menjadi 6 jam kerja,” pungkas Aji. 

Deki, massa aksi dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional, mengatakan bahwa dengan adanya 8 jam kerja, buruh tidak bisa memiliki waktu luang lebih untuk mengurusi diri mereka. Oleh karena itu, dengan adanya 6 jam kerja, buruh dapat memiliki waktu luang. “Tuntutan jam kerja ini juga untuk memulihkan kondisi kelas pekerja itu sendiri,” terang Deki.

Selain itu, jam kerja berlebih juga menimbulkan dampak bagi para buruh. Menurut Deki, massa aksi dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional, buruh membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaga mereka yang dieksploitasi oleh perusahaan. “Sepanjang 2019 sampai 2020, ada 14 buruh dari PT Aice yang keguguran karena kelelahan bekerja lebih dari 8 jam,” jelas Deki.

Bahkan, Deki menjelaskan, banyak buruh yang sudah bekerja 8 jam, tetapi tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan hak hidup mereka tidak terpenuhi. Pekerja juga kerap mendapatkan dorongan untuk lembur. Husein, massa aksi dari Lingkar Studi Sosialis, menjelaskan bahwa jam kerja melewati 12 jam dan tidak sebanding dengan upah itu tidak manusiawi. “Di Yogyakarta itu hampir 1 hari kerja 12 jam, sementara upah yang diterima 1 bulan itu hanya satu juta delapan ratus ribu rupiah,” ujarnya.

Namun, pandangan berbeda datang dari komentar masyarakat di kiriman akun media sosial Instagram @gejayanmemanggil. Beberapa komentar menyebutkan bahwa tuntutan 6 jam kerja itu tidak efektif untuk pekerja ditambah dengan tuntutan kenaikan upah. Menanggapi hal tersebut, Deki beranggapan bahwa harus melihat siapa yang berkomentar. “Kita menyuarakan mereka yang merasakan dampak berlebihnya jam kerja, bukan yang merasa dirugikan karena adanya 6 jam kerja ini,” pungkas Deki.

Penulis: Hadistia Leovita dan Lindra Prastica
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Lindra Prastica

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM