
©Anas/Bal
Kamis (24-09), Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM menggelar diskusi bertajuk “Stigmatisasi ‘Kiri’ Lewat Pendidikan dan Media” secara daring di platform Google Meet. Dalam diskusi tersebut, hadir Sita Hidayah, Dosen Antropologi UGM; Irham Nur Anshari, Dosen Ilmu Komunikasi UGM; dan Agung Alit, pendiri Taman ‘65 sebagai pembicara. Jalannya diskusi ini dipandu oleh Willy Alfarius, mahasiswa S-2 Sejarah UGM. Diskusi tersebut, secara khusus, membahas mengenai pemberian stigma terhadap para penyintas Pembantaian ‘65 yang diberikan melalui berbagai media.
Berdasarkan pernyataan Irham, pemberian stigma “kiri” di negeri ini memiliki sejarah yang panjang. Ia berpendapat bahwa adanya ketidakjelasan dalam sejarah Pembantaian ‘65 membuat berbagai stigma tersebut masih ada di negeri ini hingga saat ini. Bahkan, menurutnya, pemberian stigma tersebut sudah ada sebelum terjadinya Pembantaian ‘65 di Indonesia. Citra buruk ideologi komunis di Indonesia sudah menyebar ke berbagai lini di negeri ini. “Citra buruk tersebut masuk ke Indonesia karena kepentingan politik tertentu pada saat perang dingin,” jelas Irham.
Kemudian, menurut Irham, pasca-Pembantaian ‘65, pemberian stigma tersebut ditanamkan melalui media cetak. Hal tersebut dibuktikan dengan terbitnya Surat Kabar Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965. Media yang awalnya merupakan milik PKI tersebut memberitakan tentang peristiwa lubang buaya yang memang dilakukan oleh para simpatisan PKI. “Selain itu, dua surat kabar militer yang tersisa juga memproduksi ulang berbagai informasi terkait Pembantaian ‘65 agar sesuai dengan versi pemerintah pada waktu itu,” ucap Irham
Selain melalui surat kabar, Irham juga menjelaskan bahwa stigma tersebut juga ditanamkan melalui media lain, seperti pendidikan dan film. Irham mengungkapkan bahwa pemberian stigma melalui pendidikan mulai terlihat saat era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia menjelaskan bahwa pada waktu itu, Gus Dur mengajukan wacana untuk mengubah materi mata pelajaran sejarah supaya sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, terutama terkait Pembantaian ‘65. Kemudian, buku mata pelajaran sejarah edisi revisi pun beredar menyusul wacana yang diajukan Gus Dur tersebut. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Irham, peredaran buku tersebut ditarik kembali atas usulan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada waktu itu. “Pada waktu itu, anggota DPR berdalih bahwa ada kesalahan di dalam buku tersebut sehingga harus ditarik peredarannya,” Jelas Irham.
Sementara itu, ia menjelaskan bahwa pemberian stigma melalui film tampak pada pembuatan tiga film tentang Pembantaian ‘65, yaitu “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI”, “Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan”, dan “Djakarta 1966”. Irham menjelaskan bahwa film-film tersebut muncul sebagai bentuk propaganda pemerintah terkait Pembantaian ‘65.
Berbagai media tersebut melanggengkan pemberian stigma kepada para penyintas Pembantaian ‘65 hingga saat ini. Untuk menanggapi hal tersebut, Agung Alit mendirikan Taman ‘65. Ia menjelaskan bahwa tujuan Taman ‘65 adalah untuk mempertemukan para penyintas yang menjadi korban pemberian stigma pada masa kini. Harapannya, dengan berdirinya Taman ‘65 ini, ia dapat berkontribusi terhadap usaha pemerintah untuk merekonsiliasi Pembantaian ‘65 pada masa yang akan datang. “Pemerintah sudah seharusnya memiliki kesadaran untuk menyelesaikan kasus tersebut, termasuk menyudahi berbagai stigma yang diberikan kepada para penyintasnya,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Sita berpendapat bahwa di Indonesia, pembahasan mengenai ideologi “kiri” terlalu dipandang buruk. Selain itu, ia berpendapat bahwa negara seharusnya memberi batasan legal yang jelas terhadap definisi “kiri”. Sebab, menurutnya, hal tersebut sering kali dipakai sebagai alat diskriminasi oleh pihak tertentu yang mempunyai kepentingan. “Orang-orang yang terkena stigma tersebut seringkali dibatasi atau bahkan dirampas hak-haknya,” ungkap Sita.
Senada dengan Sita, Irham mengungkapkan media seharusnya digunakan untuk mengungkap sejarah yang sebenarnya, bukan sebagai alat propaganda. Ia memberi contoh beberapa film, seperti “Jagal: The Act of killing”, “Sang Penari”, dan “Senyap” merupakan contoh anak muda untuk mengungkap fakta sejarah melalui media sehingga rakyat mengetahui apa yang seharusnya mereka ketahui. “Usaha anak-anak muda untuk mengungkap kebenaran sejarah sangat diperlukan,” jelas Irham.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: Afifah Fauziah S.