Teknologi edit genom pada manusia memunculkan berbagai kontroversi. Munculnya teknologi edit genom CRISPR-Cas9 diklaim berhasil membuat manusia resisten terhadap HIV dan penyakit lainnya. Di sisi lain, pengembangannya yang prematur berisiko menyebabkan proses penyuntingan genom meleset atau bahkan menimbulkan kerentanan terhadap berbagai penyakit.
Â
Pada awal abad ke-20, muncul sebuah gerakan yang disebut Eugenics Movement di Amerika Serikat. Gerakan ini diinisiasi oleh Francis Galton, ilmuwan Inggris yang meyakini bahwa kualitas manusia dari aspek fisik dan mental dapat ditingkatkan. Caranya adalah dengan membatasi reproduksi individu yang dianggap bermutu rendah, seperti cacat fisik dan gangguan mental. Namun, praktik ini tidak berlandaskan ilmu genetik yang mumpuni karena hanya merujuk percobaan kacang Mendel. Praktik pada manusia ini tidak memiliki dasar yang kuat untuk diterapkan pada manusia (Norrgard, 2008).
Perkembangan dalam ilmu genetik tak lepas dari penemuan tentang DNA pertama kali oleh Oswald Avery, ahli imunokimia Rockefeller Institute for Medical Research Hospital, pada tahun 1944. DNA disebutnya sebagai the transforming principle (Cobb, 2014). Para ilmuwan menemukan bahwa DNA berperan dalam membawa informasi biologis termasuk penyakit menurun dan penyakit tidak menurun. Informasi ini termuat dalam fragmen DNA atau gen yang tersusun dalam genom manusia. Apabila DNA menghasilkan produk yang abnormal, dapat diupayakan mengedit gen dengan cara yang disebut genome editing atau edit genom. Dari sinilah para ilmuwan mulai mengembangkan mekanisme perbaikan manusia. Metode edit genom paling mutakhir adalah clustered regularly interspaced short palindromic repeats and CRISPR-associated protein 9 (CRISPR-Cas9).
Metode edit genom menggunakan CRISPR-Cas9 sedang hangat dibicarakan para ilmuwan. Teknologi edit genom CRISPR-Cas9 banyak dibahas setelah He Jiankui, peneliti Southern University of Science and Technology of China, mengklaim berhasil menyunting embrio bayi kembar untuk pertama kalinya di dunia. He melakukan deaktivasi CCR5 sebagai gen yang akomodatif terhadap HIV dengan harapan mampu mencegah infeksi HIV pada embrio kedua bayi yang orang tuanya telah terinfeksi. Ia menyebut penelitiannya berhasil menyunting gen target tanpa memengaruhi gen lain. Penelitian ini mengguncang dunia karena teknologi CRISPR-Cas9 dianggap menyalahi etika medis serta masih terlalu dini untuk diterapkan pada fase embrio, sehingga dapat membahayakan kelangsungan hidup spesies manusia.
Teknologi CRISPR-Cas9 memungkinkan ilmuwan mengedit DNA yang ditargetkan dalam sel tubuh manusia. CRISPR sendiri merupakan susunan DNA bakteri yang repetitif. Teknologi ini bekerja ketika susunan CRISPR pada bakteri bekerja sebagaimana mekanisme bakteri tertentu mempertahankan dirinya dari serangan virus. Bakteri mampu mendeteksi keberadaan virus yang pernah menjangkitnya karena kemampuannya merekam serangan virus. Dengan arahan RNA, bakteri mengirim protein Cas9 untuk memotong DNA yang sudah terjangkit virus. RNA merupakan bagian sel yang berperan dalam aliran informasi antarkomponen di dalam sel (Campbell dan Reece, 2005). Pemotongan ini berujung dua kemungkinan, yaitu perekatan kembali DNA secara tidak sempurna hingga DNA tersebut menjadi tidak aktif, atau imitasi susunan DNA sekitar untuk mengisi susunan yang telah dipotong. Pada kemungkinan kedua, ilmuwan dapat membuat sendiri model susunan yang diinginkannya untuk ditiru DNA target (Dance, 2015).
CRISPR-Cas9 dianggap unggul karena kapasitasnya dalam menarget gen tertentu dengan akurasi tinggi. CRISPR-Cas9 bertindak seperti molecular scissors yang memotong rantai DNA di tempat yang diinginkan. Tidak seperti teknologi edit genom lainâTALENs dan zinc fingerâyang cenderung rumit dan mahal karena harus menciptakan protein baru, CRISPR-Cas9 cukup memanfaatkan RNA yang sudah ada sebagai pengantar penyuntingan. Hasilnya pun dapat terlihat dalam hitungan bulan, tidak seperti metode lain yang membutuhkan waktu beberapa tahun (Pennisi 2013). Pengeditan ini mampu menyembuhkan penyakit genetik, seperti cystic fibrosis atau sickle-cell anemia.
Teknologi ini juga terlihat menjanjikan karena kemampuannya melakukan enhancement, yaitu peningkatan atau perubahan sifat-sifat tertentu pada individu. Profesor Jennifer Doudna dari University of California Berkeley, salah satu pionir dalam pemanfaatan CRISPR, menyatakan bahwa teknologi ini sangat mungkin digunakan untuk âmemproduksiâ manusia dengan fitur tertentu yang diinginkan, misalnya manusia tanpa kebotakan, IQ tinggi, dan tulang yang kuat (TED 2015).
CRISPR-Cas9 ternyata telah banyak digunakan, namun penerapannya masih terbatas pada hewan dan tumbuhan. Salah satu penelitian terhadap hewan pernah dilakukan oleh Group of Epigenetic Reprogramming dari Shanghai Institutes for Biological Sciences pada tikus yang mewarisi gen penyebab penyakit katarak. CRISPR-Cas9 digunakan untuk mengedit gen tertentu pada zigot tikus sebelum diinjeksi ke dalam tubuh induk. Sejumlah tikus yang lahir teridentifikasi bebas dari penyakit katarak. Setelah tikus bebas katarak tersebut dikawinkan, diperoleh keturunan baru yang membawa gen hasil edit (Wu, et al, 2013). Penelitian terhadap tumbuhan pernah dilakukan di Afrika. Valentine Otang Ntui beserta timnya dari International Institute of Tropical Agriculture, Nairobi, Kenya melakukan pengeditan pada gen pisang (Musa spp.) dengan menarget gen The Phytoene Desaturase (PDS) penyebab pisang albino dan kerdil. Hasilnya adalah gen PDS berhasil terganggu sehingga tanaman tumbuh normal tanpa memicu mutasi lain (Ntui, et al, 2019).
Penggunaan CRISPR-Cas9 pada manusia sendiri baru diinisiasi pada 2016. Aplikasi pertama dilakukan tim yang dipimpin ahli onkologi dari Sichuan University, Lu You. Ia dan timnya melakukan uji klinis teknologi ini dengan menyuntikkan sel yang sudah diedit kepada seorang pasien kanker paru-paru di West China Hospital. Para peneliti mengambil sel imun dari darah pasien, kemudian melakukan modifikasi terhadap sel tersebut dengan CRISPR-Cas9. Gen tertentu dalam sel tersebut dinonaktifkan sebab protein PD-1 yang dikandungnya sering dimanfaatkan kanker untuk berkembang. Sel ini diperbanyak, kemudian dikembalikan ke dalam tubuh pasien. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari badan peninjauan rumah sakit.
Meski begitu, masih terlalu dini bagi teknologi CRISPR-Cas9 untuk diaplikasikan pada manusia. Menurut Joyce Harper, peneliti kesehatan reproduksi wanita University College London, laporan terkait penyuntingan gen untuk kekebalan HIV saat ini masih prematur, berbahaya, dan tidak bertanggung jawab. Menurutnya, ilmu pengetahuan membutuhkan riset bertahun-tahun untuk memastikan bahwa mengubah susunan genom pada fase embrio tidak akan menyebabkan kerusakan. Risetnya yang baru berusia tujuh tahun belum mampu mengidentifikasi berbagai kemungkinan yang dapat muncul. Warisan susunan genom yang telah dimodifikasi belum dapat dijamin kemaslahatannya serta risiko off-target hingga kini belum dipastikan. Terlebih lagi, para ilmuwan belum meneliti kesesuaian teknologi penyuntingan genom dengan etika yang ada serta dampaknya secara sosial.
Masih banyak hal yang harus ditelusuri dari penggunaan CRISPR-Cas9. Hal yang perlu dieksplorasi adalah karakteristik CRISPR itu sendiri (Zhang, et al, 2014) juga cara untuk meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana mengirim CRISPR ke sel, bagaimana mengontrol reparasi DNA setelah dipotong, serta membatasi aplikasinya yang salah sasaran. Pengiriman CRISPR bersifat spesifik terhadap jenis dan tipe sel atau jaringan yang ditargetkan.
Doudna memprediksikan bahwa teknologi ini baru akan dapat digunakan pada manusia pada 2025, dengan penekanan hanya pada orang dewasa (TED 2015). Dalam percobaan mengoreksi penyakit metabolik tyrosinaemia pada tikus, Daniel Anderson dari Massachusets Institute of Technology menemukan bahwa ia dan timnya harus memompa darah dalam jumlah yang sangat banyak untuk mengirim protein Cas9 dan RNA lewat pembuluh darah menuju organ target, yaitu hati. Hal ini sulit dan cenderung tidak mungkin dilakukan pada manusia.
Efektivitas teknologi ini pun sesungguhnya masih menjadi pertanyaan. Paula Cannon, ilmuwan asal University of California yang fokus mendalami HIV, menyatakan bahwa HIV tidak selalu menyasar protein dalam gen CCR5, melainkan bisa juga menyasar gen CXCR4 yang akomodatif terhadapnya. Penelitian He dianggap malah membuat anak-anak normal menjadi rentan terdampak risiko penyuntingan genom tanpa manfaat yang jelas alih-alih membuat kebal penyakit. Pernyataan ini diperjelas dengan penelitian Eric Lander dari the Broad Institute of Harvard and MIT yang menyatakan bahwa meskipun ketiadaan CCR5 bisa mencegah individu terjangkit HIV, individu tersebut menjadi lebih rentan terjangkit penyakit lain. Kemungkinan ini ada karena suatu gen memiliki beberapa fungsi tertentu dan beberapa penyakit disusun dari keberadaan maupun ketiadaan gen tertentu (The National Academy of Sciences, 2015).
Di samping efektivitasnya yang diragukan, proses penyuntingan juga memiliki kemungkinan meleset. RNA bisa jadi gagal dalam mengantarkan protein Cas9 ke DNA target dan malah menyasar DNA lain yang susunannya mirip RNA pengantarnya. DNA yang salah sasaran malah dapat terpotong, teraktivasi, atau terdeaktivasi (Pennisi, 2013). Alih-alih resistensi penyakit, proses penyuntingan yang tidak akurat dapat meningkatkan kesempatan sel kanker berkembang akibat penyusunan ulang kromosom (Dance, 2015).
Teknologi ini pun tidak memenuhi etika medis yang ada saat ini. Perubahan gen manusia pada fase embrio akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebelumnya, para ilmuwan belum pernah melakukan suatu penelitian untuk memodifikasi bagian manusia yang dapat diwariskan turun-temurun. Nantinya, bila ada kesalahan mutasi gen pada bayi tersebut, kesalahan ini akan diwariskan kepada keturunannya. Terlebih lagi, belum ada etika medis yang membahas penggunaan penyuntingan genom, utamanya dengan teknologi CRISPR.
Pembahasan penyuntingan genom pada manusia baru dilakukan secara serius oleh komunitas ilmuwan dalam First International Summit on Human Genome Editing pada 2015. Menurut hasil konferensi tersebut, sel-sel somatikâsel yang tidak akan diwariskanâboleh diedit selama masih dalam kerangka kerja yang sesuai regulasi yang ada. Namun, modifikasi terhadap sel germlineâsel yang akan diwariskanâdilabeli âtidak bertanggung jawabâ sampai benar-benar telah terjawab pertanyaan terkait risiko teknologi edit genom oleh komunitas ilmuwan dan tercapai konsensus mengenai kelayakannya (National Center for Biotechnology Information, 2019). Dengan penyuntingan pada sel germline, individu yang mewarisi DNA hasil edit tidak dapat memberikan persetujuan terhadap proses modifikasi tersebut.
Di samping efeknya secara ilmiah, penyuntingan gen juga memiliki implikasi lainnya secara sosial yang berdampak negatif bila diaplikasikan pada manusia. Paul Knoepfler, seorang peneliti stem cell dan genetika, memprediksi designer humans akan memiliki agresivitas berlebih dan narsisisme yang berkaitan dengan perasaan superior akibat enhancement. Menurutnya, manusia-manusia yang dicap alami nantinya akan mengalami pengucilan sosial (TED 2017). Selain itu, Nuffield Council of Bioethics dalam sebuah laporannya âGenome editing and human reproductionâ memprediksi akan terjadi marginalisasi dalam masyarakat terhadap pemilik sifat tertentu.
Teknologi edit genom CRISPR-Cas9 perlu penelitian lebih dalam hingga siap digunakan pada manusia. Tujuh tahun pengembangannya belum dapat memetakan berbagai kemungkinan dan dampak yang akan ditimbulkannya. Kemungkinan tidak akurat, pelanggaran etika medis, efektivitasnya yang dipertanyakan, serta implikasi lainnya menjadi pertimbangan atas ketidaksiapannya untuk saat ini. Diperlukan paling tidak setengah dekade penuh riset lagi untuk mencapai tingkat kelayakan sebelum diaplikasikan ke manusia. Meski menjanjikan, manusia tidak perlu tergesa-gesa mengadopsi pengetahuan ini untuk dirinya sendiri. Manfaat yang telah diperhitungkan, baik berupa kekebalan terhadap penyakit maupun kesempurnaan kualitas fisik dan mental, nantinya akan dituai bila tiba waktunya ketika teknologi ini terjamin kelayakannya.
Â
Penulis: Medisita Febrina, Megantara Agustina Pertiwi Massie
Penyunting: Tita Meydhalifah
Â
Â
Referensi
Cobb, Matthew, âOswald Avery, DNA, and the transformation of biologyâ, Current Biology 24, Issue 2, R55-R60.
Campbell, Neil A. & Jane B. Reece, Biology, (San Fransisco: Pearson Education, 2005), 87.
Dance, Amber, âCore Concept: CRISPR Gene Editingâ, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 112, No. 20, 6245-6246.
Gyngell, Christopher, Hillary Bowman-Smart, Julian Savulescu, âMoral reasons to edit the human genome: picking up from the Nuffield reportâ, Journal of Medical Ethics 45, 514-523.
Ledford, Heidi, âCRISPR, the disruptor,â Nature, 2015, https://www.nature.com/news/crispr-the-disruptor-1.17673.
National Academy of Sciences, âInternational Summit on Human Gene Editingâ, Meeting in Brief, 2015. https://www.nap.edu/read/21913/chapter/1.
Norrgard, Karen. âHuman Testing, The Eugenics Movement, and IRBsâ, Nature, 20
Ntui, V. O., J. N. Tripathi, & L. Tripathi, Robust CRISPR/Cas9 mediated genome editing tool for banana and plantain (Musa spp.), Current Plant Biology, 2019, 100128.
Pennisi, Elizabeth.. “The CRISPR Craze.” Science, New Series, 341, No. 6148, 2013, 833-836.
Regalado, Antonio, âEXCLUSIVE: Chinese scientists are creating CRISPR babies,â, https://www.technologyreview.com/s/612458/exclusive-chinese-scientists-are-creating-crispr-babies/
Wu, Yuxuan, Dan Liang, Yinghua Wang, Meizhu Bai, Wei Tang, shimming Bao, Zhiqiang Yan, Dangsheng Li, and Jinsong Li, âCorrection of Genetic Disease in Mouse via `Use of CRISP-Cas9â, Cell Stem Cell 13, 2013, 659-662.
Zhang, F., Wen, Y., & Guo, X, âCRISPR/Cas9 for genome editing: progress, implications and challengesâ, Human Molecular Genetics, 23(R1), 2014, R40âR46.