
©Ahmad.bal
Sunaryo, Staf Khusus Gubernur Jawa Tengah menyampaikan, setidaknya ada tiga paradigma penting dalam memperlakukan desa. Paradigma kolonial yang menganggap desa sebagai gelas kosong, sehingga harus dikendalikan sepenuhnya; Paradigma pembangunan yang menganggap desa sebagai gelas setengah kosong, sehingga harus diberikan banyak bantuan; dan paradigma berdikari yang menganggap desa sebagai gelas setengah isi, sehingga berupaya memaksimalkan berbagai sumber daya. Ia menyampaikan hal ini dalam “Lokakarya Bedah Peraturan Pelaksanaan Implementasi UU Desa” di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Senin (8/9) lalu. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Forum Pemberdayaan Pembaharuan Desa (FPPD) dengan menghimpun berbagai LSM yang telah lama mengkaji pedesaan, perangkat-perangkat desa, dan pejabat-pejabat daerah. Selain Sunaryo, panitia juga menghadirkan Sutoro Eko, yang mewakili FPPD dan Kholiq Arif, selaku Bupati Wonosobo.
“Kekuatan sosial terletak pada kepadatan suatu jaringan,” tambah Sunaryo. Berbeda dengan doktrin kolonial yang mengajari penduduk desa menjual produk-produk yang dihasilkan ke metropolitan. Akibatnya, sumber daya dan buruh dihargai dengan sangat murah. Pemberdayaan dengan menguatkan jaringan lokal diharapkan dapat saling mengisi dan menimbulkan kemandirian ekonomi.
Namun, banyak kekhawatiran yang dirasakan oleh beberapa pihak. Salah satunya mengenai PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Kita memang berada dalam dilema,” terang R. Yando Zakaria, pegiat Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) yang menjadi salah satu peserta. Desa-desa di luar jawa, misalnya, dalam konteks modal sosial relatif kecil, sehingga jika dilihat dari segi skala pembangunan ekonomi tidak ideal. Sumber daya alam maupun manusia serba terbatas.
Padahal solidaritas masyarakat merupakan modal utama dalam pembangunan yang banyak melibatkan partisipasi masyarakat. Akan tetapi, PP No. 60 Tahun 2014, menurut Yando, justru memperparah dilema ini. Dalam pasal 5 disebutkan, pengalokasian dana desa dihitung berdasarkan jumlah Desa. “Ini penyakit UU No. 5 Tahun 1979,” hardiknya. Ia pun menegaskan perlunya revisi PP ini.
Selain itu, Sutoro Eko memandang, PP No. 43 Tahun 2014 tidak mencerminkan konsolidasi. Sebab, sudah banyak aktor dari bawah yang melakukan gerakan pemberdayaan tanpa campur tangan pemerintah. Salah satunya Gerakan Desa Membangun yang telah memberdayakan 200 lebih desa dan terus mengalami perluasan. “Tantangannya adalah bagaimana mengkonsolidasikan kehendak negara dengan gerakan-gerakan semacam ini,” terangnya. Selain itu, ia menambahkan, aktor-aktor lain seperti relawan, intelektual, bahkan perusahaan swasta juga perlu dihimpun agar dapat bekerjasama. [Ahmad Syarifudin]