Tak ada yang mengira sebelumnya, Agus Rois, lelaki kurus lulusan filsafat UGM ini muncul sebagai salah satu emerging writers anugerah sastra cukup bergengsi se-Asia Tenggara: Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2014.Pasalnya, ia mengirim naskah dengan nama pena Raisa Papa.
Esai pendeknya, Pupuan, yang berkisah tentang raja, hutan dan pertapa, yang ditulis dengan gaya bahasa amat puitis, lembut, dan indah itu, menjadi karya terpilih dan akan diterbitkan dalam antologi dwibahasa bersama 14 emerging writers lain. “Saya tak mengira bila esai itu(Pupuan) yang dipilih. Mungkin berkaitan dengan isu lingkungan yang sedang hangat dua tahun belakangan, reklamasi Teluk Benoa,” ujarnya. Ia mengaku Pupuan bukan esai yang paling disuka dari 19 esai yang dikirimnya. “Saya lebih suka Tagore, Di Sebuah Gubukdi Munduk,” terangnya.
Ia juga bercerita bahwa: “Esai-esai itu saya tulis di Bali, antaraawal Mei sampai akhir Juli 2013 silam.Tiga bulan saya habiskan di sana buat jalan-jalan, keliling, muter-muter Bali. Setiap jengkal gunung, sudut-sudut pasar, laut dengan ombaknya yang lembut, orang sembahyang, dan apa pun itu saya tulis,” ujar pria lajang berumur 31 tahun. Ia mengaku telah sejak lama, sejak awal-awal kuliah di Yogyakarta, ingin menulis Bali. “Bali itu mimpi saya, dan suatu kali saya “harus” menulisnya, dan baru tahun kemarin itu kesampaian,” terangnya.
Selain ke Bali, untuk memberi inspirasi pada tulisan-tulisannya, ia melancong ke banyak tempat, ia kuras tabungannya. Terakhir, selama enam bulan, sejak Oktober 2013 hingga Maret 2014, ia menikmati belantara Kalimantan Timur. Kegemarannnya ini, mengunjungi berbagai tempat, sudah dilakoninya sejak SMP. Hanya saja, waktu itu sekedar berkunjung “bolos sekolah” tanpa terbersit buat menulis esai. “Mungkin, bisa dibilang, saya belajar menulis itu sejak masuk Balairung, ini baru seumur jagung,” terangnya.
Pria yang sempat gonta-ganti universitas ini banyak mendapatkan inspirasi dari beberapa penulis indonesia, diantaranya WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, dan lain-lain.“Sajak-sajak Sapardi, ada beberapa,salah satunya bisa dibaca dalam esai Anak-Anak Pasar Badung,” jelasnya.
Meski tak banyak dikenal dikalangan pecinta sastra Jogja, berbagai antologi esai dan puisi telah mencatatkan namanya, diantaranya Notonagoro dan Pancasila (2006), Jawa: Setelah Tafsir Kebudayaan (2009), Habermas dan Senjakala Modernitas (2010), Ketika Kata (Tak Lagi) Bermakna: Kumpulan Puisi Wija Sasmaya(2011).
Pria yang butuh sembilan tahun buat menyelesaikan studinya di filsafat ini,seperti diakuinya sendiri, tidak inginpunya laman pribadi, bahkan dalam bentuk blog sekalipun. “Blog itu sumpek. Saya inginnya sepi-sepi saja, hidup tenang, jauh dari ingar-bingar, jauh dari publikasi,” katanya singkat.
Adapun mengenai penetapan nama penulis terpilih dilakukan oleh Dewan Kurator UWRF 2014 terdiri dari Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara; Debra Yatim, penyair yang aktif dalam isu hak perempuan; dan Ketut Yuliarsa, penyair, pemusik serta penulis naskah yang bermukim di Ubud dan Australia. Mulai 1–6 Oktober penulis terpilih, 150 penulis dari 25 negara, akan mengutarakan proses kreatif karyanya dan mendiskusikan banyak hal.
“Saya sendiri kebagian dua sesi diskusi, pertama, bicara mengenai Indonesia pasca-1998, dan kedua, bagaimana kata bermula dalam sebuah tulisan,” ungkapnya. Tak cuma sastra yang dibahas. Soal politik, ekonomi, budaya, agama juga akan jadi topik bahasan di sana, dan akan ada dua penulis besar hadir di sana, V.S. Naipaul dan Amitav Ghosh. [Ahmad Syarifudin]
3 komentar
Lagi-lagi, selamat Agus Rois, semoga terus produktif berkarya yah.
Salut
memang bocah istimewa. .
Mohon maaf, “Ketika Kata (Tak Lagi) Bermakna” oleh karya Wijaya Sasmaya, Dkk. Kini beliau membuat blog pribadi untuk tulisan-tulisan karyanya serta di kelola oleh saya (Dayat Mem / Dayat H.D) dan tetap dalam pantauan beliau, hampir seminggu 2 / 3 kali kami bertemu. Terimakasih.