
©Nabila.bal
Jumat (9/4) malam, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (PSK UGM) menggelar monoteater “Burung Pak Lurah”. Bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), acara ini diselenggarakan selama dua hari, 8 dan 9 Mei 2014. Menurut Habsari Banyu Jenar selaku penulis naskah, “Burung Pak Lurah” merupakan monoteater pertama di Indonesia. “Mungkin pertunjukan semacam ini pernah dilakukan, tetapi tidak memakai istilah monoteater,” terangnya. Menurut PSK UGM, monoteater merupakan bentuk modifikasi antara monolog dengan teater. Pak Lurah sebagai lakon tunggal dalam pementasan ini diceritakan sebagai orang yang gila jabatan. Untuk memperoleh jabatan lurah pada periode berikutnya, ia nekat mendatangi seorang dukun.
Selain gila jabatan, Pak Lurah juga diceritakan sebagai tulang punggung keluarga. Ia menghidupi istri, anak, dan adik laki-lakinya. Meski begitu, di balik kewibawaan sebagai kepala keluarga dan lurah, ternyata ia memiliki kehidupan lain yang tidak diketahui oleh warganya. Ia seorang homoseksual. Buktinya, ia menjalin asmara dengan anak dukun yang ia datangi. Namun hal itu hanya bisa ia ceritakan kepada tiga burung peliharaannya: John, Jim, dan Surti.
Dalam memerankan ketiga karakter tersebut, Heddy Prasetyo selaku aktor tunggal mengaku mengalami sedikit kesulitan. “Saya sudah 14 tahun tidak bermain teater, jadi napas tersengal-sengal saat pentas,” jelasnya. Dalam pentas, Heddy seolah-olah bermain dengan aktor lainnya. Untuk mendukung aktingnya, ia memanfaatkan properti dan set dekorasi panggung. Ia mengaku banyak melakukan improvisasi. Namun menurut Habsari, improvisasi-improvisasi tersebut tidak mengganggu inti cerita.
“Monoteater ini mengangkat tema politik dan kepemimpinan,” kata Dr. Aprinus Salam yang bertindak menjadi sutradara sekaligus penanggung jawab. Pementasan “Burung Pak Lurah” diselenggarakan diantara pemilu legislatif pada 9 April 2014 dan pemilihan presiden 9 Juli 2014. Hal tersebut sengaja dilakukan karena pementasan ini mengandung konten politik yang akan mengantarkan penonton untuk berpikir ulang tentang makna hak suaranya dalam Pemilu 2014.
“Saya tidak bosan menyaksikan monoteater ini,” kata Muhammad Hamdan Mukafi, penonton. Menurutnya, perpaduan monolog dan teater lebih menarik disaksikan daripada monolog atau teater secara terpisah. Sebab aktor bisa lebih ekspresif dalam monoteater. Menurut Hamdan, kekurangan monoteater ini terletak pada segi dekorasi. Hampir semua properti pentas berwarna putih sehingga kurang mencirikan latar tempat. Menanggapi kritik tersebut, Saeful Anwar selaku pimpinan produksi berkata, “kami meminimalisir dekorasi untuk menekan biaya produksi.”
Senada dengan Saeful, Aprinus menuturkan, “Konsep monoteater dipilih oleh PSK UGM untuk menekan biaya produksi dan energi panitia.” Selain itu, PSK UGM ingin menjadi pelopor bagi teater-teater khususnya teater di UGM. “Dengan adanya pementasan monoteater ini, harapan kami teater menjadi lebih berkembang,” pungkas Aprinus. [Catur Dwi Janati, Ratu Pandan Wangi]