Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILAS

Obrolan Salesa Suarakan Masa Depan Pangan

Maret 22, 2014
©Naufi.bal

©Naufi.bal

“Untuk memperjuangkan pangan perlu waktu bertahun-tahun. Kalau setahun atau dua tahun itu tidak akan mungkin,” ujar Hanafi Biyatna membuka Obrolan Salesa yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan, Kamis (20/3). Acara ini merupakan serial perdana dari diskusi dua mingguan yang dihelat di Salesa Fakultas Peternakan yang biasa digunakan sebagai tempat diskusi. Tema yang diangkat kali ini adalah “Pangan: Sejarah, Kebijakan, dan Masa Depan Pangan” dan dihadiri sejumlah mahasiswa baik dari Fakultas Peternakan maupun fakultas lain di UGM.

Dalam diskusi tersebut, Ketua Dema Fakultas Pertanian 2013 itu mengungkapkan bahwa yang menjadi pokok permasalahan pangan di Indonesia adalah pengolahan lahan. Indonesia memiliki lahan yang luas tetapi hal itu belum terlalu dirasa manfaatnya oleh petani karena dikuasai investor asing. Program-program yang dibuat pemerintah juga tidak menguntungkan petani lokal. Salah satunya adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang rencananya untuk membentuk suatu kota khusus untuk ketahanan pangan dan energi. Namun akhirnya program ini malah menuai konflik karena hanya digunakan untuk lahan investasi pihak asing. “Sehingga kemudian muncul istilah green capitalism setelah gagalnya program MIFEE,” imbuhnya.

Selain lahan, air dan energi pula menjadi masalah pangan di Indonesia. Air merupakan komponen penting dalam sektor pertanian. “Di Indonesia pengairan menjadi tanggungan petani sendiri, berbeda dengan di Vietnam dimana pengairan menjadi tanggung jawab pemerintah,” ujar Hanafi. Hal ini tentu sangat memberatkan petani karena biaya produksi semakin bertambah sehingga pendapatan petani menjadi berkurang. Masalah pengairan ini diperparah dengan diubahnya bahan pangan menjadi sumber energi, contohnya pada pembuatan bioetanol. Akibatnya hasil pertanian tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. “Dengan permasalahan seperti ini, saya rasa untuk mencapai kedaulatan pangan adalah hal yang sulit,” tegasnya.

Pendapat berbeda diutarakan Fahry Aidulsyah, pegiat Gerakan Indonesia Berdaulat yang juga hadir sebagai pemantik diskusi. Ia menyatakan bahwa Indonesia pasti mampu melakukan kedaulatan pangan. “Jika kita menengok sejarah, pada tahun 1984 Indonesia pernah melakukan swasembada beras,” ujarnya membuka pembicaraan.

Menurut Fahry, kedaulatan pangan merupakan tanggung jawab generasi muda. Berdasarkan data statistik, Indonesia tengah mengalami bonus demografi dimana penduduk usia mudanya mempunyai persentase paling tinggi. “Kondisi ini sangat strategis karena seperti kita ketahui, dari dulu perubahan itu kebanyakan diawali oleh generasi muda,” tambahnya. Menurut Fahry, ada beberapa hal yang bisa dilakukan generasi muda sebagai upaya menuju kedaulatan pangan. Salah satunya adalah melakukan kajian terkait kebijakan pangan di Indonesia. Selain itu, diperlukan kesadaran individu akan pangan dengan cara mengupayakan seminggu sekali mengonsumsi pangan lokal. “Percuma pula kita melakukan kajian jika tanpa praktik,” pungkasnya. [Ervina Lutfikasari, Joko Budi Santoso]

bemdiskusiMIFEEPANGANpeternakanSalesa
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM