Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
DIALEKTIKA

Tindak Kekerasan Berkedok Perbedaan

September 25, 2012

BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.

Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.

Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”

Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.

©Nawang Wulan

Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.

Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.

Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]

 

 

 

 

 

BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.

Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.

Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”

Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.

Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.

Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.

Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]

BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.

Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.

Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”

Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.

https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2012/09/IMG_2947-300x200.jpg

©Nawang Wulan

Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.

Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.

Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]

balairungdiskusimahasiswaperspluralismeugm
1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Pemilihan Pengurus Baru KATGAMA 2015

Tokoh Nasional Ajak Lawan Korupsi

UUK Diprediksi Tidak Panjang Umur

Bahas Perubahan Iklim, Gandeng Masyarakat Dunia

Panggung Bebas, Seni dalam Komunitas Berbeda

Dialog Pencitraan Sang Dekan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM