Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILAS

Solusi 15% untuk Babe

Juni 1, 2011

Selasa (31/5) siang, Sugiyono yang akrab disapa Babe tampak melayani pembeli di samping gedung Fakultas Ilmu sosial dan Politik (FISIPOL). Sudah beberapa hari ini ia berjualan di dekat gedung yang tengah dibangun itu. Awalnya, Babe memang berjualan di dekat pintu masuk timur FISIPOL UGM. Setelah turun surat peringatan, ia sempat dipindahkan ke samping kantin, di dekat kamar mandi. “Suratnya dari SKKK pusat, tapi saya baca pelapornya dari pihak pengelola kantin,” ungkapnya.

Surat peringatan tersebut menawarkan solusi agar Babe berpindah jualan di samping kantin. Haking Mudzakir Cholid, pengurus harian kantin, mengatakan alasan turunnya surat peringatan dikarenakan dua faktor utama. Pertama, pihak kantin merasa dirugikan karena Babe tidak membayar 15% seperti pedagang lain. “Kami menggunakan lokasi kantin tidak gratis, namun ada uang sewa yang dibayarkan,” paparnya. Kedua, untuk alasan penertiban. Adanya dagangan Babe di pintu masuk dinilai tidak pantas dari segi ketertiban dan estetika.

Meskipun demikian, pihak FISIPOL masih mengizinkan Babe untuk berjualan barang selain rokok. Hal ini dikeluhkan oleh Babe karena barang dagangannya hanyalah rokok dan minuman. Terlebih lagi rokok menghasilkan keuntungan lebih banyak. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar 15% dari pendapatan per hari kepada pengelola kantin. “Saya sehari penghasilan bersih hanya 25%. Kalau harus bayar 15% untuk kampus, saya keberatan,” paparnya.

Babe juga berpendapat bahwa tempat yang disediakan untuknya di samping kantin pun tidak layak. Lokasinya yang dekat dengan kamar mandi dan tempat sampah dianggap tidak strategis. Jika berjualan di dekat pintu masuk, lebih banyak pembeli yang berdatangan karena tempatnya lebih nyaman untuk bersantai. “Waktu berjualan di dekat pintu masuk, sehari penghasilan kotor saya bisa sampai  Rp 600.000,00. Dipindah kedalam dapat Rp 250.000,00 saja susah,” tambahnya.

Dipindahkannnya lokasi berjualan Babe bukan tanpa pertimbangan. Haking menyatakan ini dilakukan atas dasar kekeluargaan. “Karena Babe sudah lama berjualan di FISIPOL, pantas jika ditarik ke dalam keluarga FISIPOL,” katanya. Untuk lokasi berjualan yang kurang memadai, Haking mengungkapkan ini karena kendala tempat. Konter di kantin FISIPOL ada delapan dan semuanya sudah penuh. Ditariknya Babe untuk berjualan di samping kantin dinilai Haking sebagai satu tindakan yang menunjukkan kepedulian pihak pengelola.

Babe sendiri berada dalam situasi serba dilematis. Di satu sisi ia senang dilegalkan sebagai pedagang di lingkungan FISIPOL. Namun, di sisi lain ia masih merasa keberatan jika penghasilannya setiap hari harus dipotong 15%. Dalam hal ini Haking tidak dapat memberikan solusi lain pada Babe. “Kami khawatir timbul kecemburuan sosial dari seluruh pedagang kantin karena hanya Babe yang tidak diwajibkan membayar 15%,” ungkap Haking. Haking menambahkan bahwa pemasukan kantin digunakan untuk membiayai keluarga karyawan yang kurang mampu secara finansial. [Rara]

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM