Hiruk pikuk kampus pada Kamis (20-11) sore itu terhenti sejenak ketika seorang mahasiswa mengirimkan pranala cuitan X ke grup WhatsApp yang membahas Heri Santoso, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Cuitan yang diunggah oleh akun X @senorwenceslao itu menyebutkan bahwa Heri telah menulis buku yang memuat tulisan bernada seksis dan misoginis. Buku berjudul Gadjah Mada Bercanda: Humor, Hikmah & Kisah Unik Dosen UGM yang mencantumkan nama Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus) UGM sebagai penerbit itu sontak menuai respons geram mahasiswa Fakultas Filsafat. “Yang begini [tulisan Heri-red] harus ditindak tegas, itu buku di-publish pakai nama Gadjah Mada dan Lafinus Filsafat UGM,” tulis salah seorang mahasiswa dalam pesan grup.
Menanggapi permasalahan tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Heri secara langsung pada Jumat (21-11). Heri berkelit tidak ada perkara yang salah dalam tulisannya. Ia mengatakan tulisannya yang viral beberapa waktu lalu masih dalam batas wajar. Menurutnya, respons negatif muncul sebab perbedaan gaya humor antargenerasi semata. “Humor tahun 80-an ditangkap oleh orang 2025 ya maksudnya agak beda, ” sebutnya.
Selain mengelak humornya wajar, Heri juga mengaku tidak mungkin bagi dirinya untuk memasukkan unsur-unsur seksis dan misoginis di dalam tulisannya. Sebab, menurut Heri, dirinya berpengalaman meneliti persoalan gender di Indonesia. “Mosok saya seksis dan misoginis? Mana to yang seksis?” bantahnya.
Dalih Heri lantas ditentang oleh Kezia, salah seorang mahasiswa Fakultas Filsafat. Ia menyebutkan bahwa beberapa mahasiswa merasa tidak nyaman ketika membaca isi buku tersebut. “Candaannya itu, lucunya itu nggak normal lah,” ungkapnya.
Kezia juga menyayangkan penerbitan buku Gadjah Mada Bercanda justru dilakukan oleh Lafinus UGM. Ia menganggap bahwa pihak fakultas seharusnya dapat menyadari adanya muatan yang tidak etis dalam buku tersebut. “Kok bisa yang kayak gini lolos gitu lho untuk dijadikan buku. Siapa editornya?” keluhnya.
Alih-alih menindak Heri, mahasiswa Fakultas Filsafat lain bernama Rafie mengatakan pihak fakultas justru tidak kunjung merespons masalah ini. Menurutnya, ketiadaan respons dari pihak fakultas malah membuka ruang kemungkinan terjadinya tindakan kurang etis serupa ke depannya. “Bisa aja sewaktu-waktu akan terjadi lagi kejadian-kejadian yang nggak menyenangkan seperti itu,” ujar Rafie.
Tak hanya itu, mahasiswa Fakultas Filsafat bernama Imi (bukan nama sebenarnya) juga menyampaikan tindakan yang seharusnya dilakukan pengajar di Fakultas Filsafat. Menurut Imi, mereka seharusnya dapat mengidentifikasi adanya muatan seksis dan misoginis sebelum tulisan tersebut terbit. “Apakah nggak ada orang yang dari awal udah point out masalahnya di mana, gitu? Mereka yang sekelas dosen-dosen semua,” tegas Imi.
Penulis: Reza Faza dan Rifky Wildhani
Penyunting: Dicky Dharma
Ilustrator: Manggar Eiklessia Widdy