
©Abby/Bal
Berangkat dari keresahan terhadap penulisan ulang sejarah oleh pemerintah, pada Jumat (18-7), The Conversation Indonesia (TCID) menggelar diskusi publik bertajuk “Untuk Siapa Sejarah Ditulis?”. Digelar secara daring, diskusi ini dihadiri oleh Adrian Perkasa, peneliti pascadoktoral di Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) dan sejarawan dari Sejarah Lintas Batas (Sintas), Fijar Lazuardi. Salah satu keresahan yang diangkat dalam diskusi tersebut terkait pelibatan komunitas dan sejarawan lokal dalam prosesnya. Hayu Rahmitasari, editor pendidikan dan kebudayaan TCID yang menjadi moderator, bertanya kepada kedua narasumber, ”Pernah nggak teman- teman sejarawan lokal dan komunitas-komunitas dilibatkan dalam penulisan buku seperti itu?”.
Menurut Fijar, tidak ada transparansi dalam internal tim penulisan sejarah karena sampai saat ini satu-satunya anggota yang dibuka ke publik hanya editor utamanya. Lebih jauh, ia beranggapan bahwa, andai komunitas nantinya dilibatkan, mereka akan tetap disetir dalam pekerjaannya karena sudah ada outline tulisan yang ditetapkan. Kemudian, perihal uji publik yang mulai dilakukan pada 20 Juli, ia menuturkan bahwa pemerintah seharusnya tidak boleh tutup telinga ketika dicecar berbagai kritik. “Ada aspirasi masyarakat yang selama ini termarginalkan, ada aspirasi korban, dan lain sebagainya yang bisa [digunakan-red] untuk masukan,” tuturnya.
Adrian menambahkan, dia sendiri merasa skeptis jika masyarakat dilibatkan dalam pengerjaan proyek yang waktunya sangat singkat. Ia kemudian mengiaskan proyek tersebut dengan Proyek Bandung Bondowoso. “Yang periode cuma empat tahun aja butuh waktu lima tahun riset dan banyak sekali keterlibatan,” tuturnya. Alih-alih mengerjakan Proyek Bandung Bondowoso, Adrian menuturkan lebih baik jika masyarakat diberikan akses terhadap proyek-proyek sejarah lokal yang lebih terlihat hasilnya.
Ia juga menyoroti permasalahan yang menjadi kecurigaan banyak kalangan, yakni pemanfaatan sejarah resmi untuk memilih beberapa orang tokoh yang ingin diangkat menjadi pahlawan. Pasalnya, editor utama, Menteri Kebudayaan, dan juga pimpinan proyek ini menjadi tim yang menilai layak atau tidaknya seseorang diajukan menjadi pahlawan nasional. Hal itu diperparah dengan kebiasaan pemerintah yang sering kali menetapkan hasil terlebih dahulu baru kemudian membuka kritik. “Nanti setelah tokoh ini jadi pahlawan nasional baru dikritik. Itu kan produk udah jadi, masa langsung dikritik,” geramnya.
Pemilihan sumber sejarah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Fijar. Menurutnya, jika sumber-sumber resmi saja yang dipakai, justru akan menimbulkan bias. Semangat Indonesia-sentris justru terletak pada sumber-sumber non-resmi yang bisa melawan narasi-narasi kolonial yang saklek pada sumber-sumber pengadilan. “Karena kalau sumber-sumber pengadilan yang dipakai, Pak Sartono [Kartodirjo-red] bakal menulis perlawanan para petani di Banten sebagai satu acara pemberontakan,” guraunya.
Terkait konsekuensi, Fijar menuturkan bahwa penulisan sejarah nasional dapat semakin menyempitkan narasi sejarah yang luas. “Jadi kayak hal-hal yang seharusnya penuh warna atau hal-hal yang seterusnya deliberatif menjadi semakin general,” tuturnya. Melihat ke belakang, Ia juga khawatir keprihatinan terhadap penulisan sejarah yang itu-itu saja, tidak ada temuan baru, dan akan terulang kembali. Teori datangnya Hindu dan Budha yang tidak pernah berubah sejak kemunculannya pada tahun 1946 adalah salah satu contohnya
Memberikan pandangan lain, Adrian berpendapat bahwa sejarah resmi identik dengan kekuasaan otoriter. “Kalau ini dianggap resmi dan satu-satunya versi sejarah, itu seolah-olah kayak kitab suci,” ungkapnya. Bahkan, karena pendanaan dalam proyek ini didapat dari pemerintah, bisa saja elit ikut campur dalam prosesnya.
Penulis: Muhamad Muflihun
Penyunting: Nabeel Fayyaz
Ilustrator: Nicholas Abby