
©Huda/Bal
Penulisan ulang sejarah resmi oleh Kementerian Kebudayaan, memicu berbagai reaksi dari publik. Logos ID dan Kontras turut merespons dengan mengadakan diskusi bertajuk “Revisi Buku Sejarah Mesin Cuci Otak dan Perlunya Sejarah Alternatif” pada Sabtu (31-05). Diskusi digelar secara daring melalui Zoom dengan menghadirkan Maria Sumarsih, pendiri aksi Kamisan; Miriam Bahagijo, mahasiswa master jurnalisme di New York University; dan Gerardine sebagai moderator. “[Diskusi – red] ini menjadi sebuah langkah buat kita untuk menghidupkan sebuah pembicaraan publik yang kritis, berani, dan berpihak pada keadilan,” jelas Gerardine.
Miriam membuka sesi diskusi dengan memaparkan proyek penulisan sejarah oleh pemerintah telah dimulai sejak Januari 2025, dibagi dalam sepuluh jilid, dan menggelontorkan biaya senilai 9 miliar rupiah. Penulisan ulang sejarah ini rencananya akan menjadi kado hari kemerdekaan RI yang ke-80. Baginya, proyek ini bermasalah sebab terdapat sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang dihilangkan pada penulisan ulang ini. Kejadian itu di antaranya pembantaian massal tahun 1965—1966, penembakan misterius, penghilangan paksa para aktivis tahun 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, pemerkosaan perempuan Tionghoa pada Mei 1998, serta pelanggaran HAM Aceh dan Papua. “Jadi dari 13 kasus pelanggaran HAM, yang dimuat hanya Talangsari Lampung juga Tanjung Priok tapi lagi-lagi tidak dengan penjelasan yang mumpuni gitu,” jelas Miriam.
Miriam berpendapat bahwa penulisan ulang sejarah sebagai narasi tunggal dapat menjadi berbahaya karena sejarah bersifat tidak netral dan membawa kepentingan pribadi penulisnya. Ia menyebutkan, penulisan ulang sejarah oleh negara dapat mengabaikan suara kaum marginal, simplifikasi sejarah yang kompleks, melanggengkan kekuasaan otoriter, dan menghambat upaya rekonsiliasi serta pencarian keadilan. “Lagi-lagi kalau negara saja tidak mengakui pelanggaran HAM berat yang terjadi, gimana korban bisa mencari keadilan?,” tanya Miriam.
Sumarsih mengawali pemaparannya dengan kilas balik perjalanan hidup putranya, Wawan, korban Tragedi Semanggi I. Baginya, penulisan ulang ini dilakukan tanpa mempertimbangkan perasaan, perjuangan, dan perspektif dari keluarga korban pelanggaran HAM berat. Bagi Sumarsih ini adalah ironi, mengingat proyek ini didanai oleh APBN yang bersumber dari pajak rakyat, termasuk keluarga korban. “Pertanyaannya, mengapa perkara pelanggaran berat HAM tidak dituangkan ke dalam buku sejarah yang baru?” tanyanya.
Sumarsih memandang penulisan ulang sejarah seharusnya berangkat dari niat yang baik, jujur, dan netral agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. “Penulisan buku sejarah resmi Indonesia di era Prabowo menunjukkan bahwa buku sejarah ini bertujuan untuk mencuci otak para pendukungnya, bahwa Prabowo bukan seorang pelanggar berat HAM,” imbuh Sumarsih. Ia menambahkan bahwa buku sejarah yang baru seharusnya dihadiahkan kepada rakyat dan pejuang, bukan pelanggar HAM berat yang kini menjabat sebagai presiden.
Menyusul ketidaksetujuannya, Sumarsih menambahkan potensi kejahatan dari hadirnya buku sejarah versi pemerintah. Potensi itu meliputi penutupan kasus pelanggaran HAM berat, pembungkaman suara-suara kritis, dan pengekalan kekuasaan melalui praktik cuci otak masyarakat. Baginya, sejarah seharusnya menjadi sarana belajar agar generasi mendatang tidak mengulangi kesalahan kelam di masa lalu. “Kita harus berjuang bersama agar sejarah tidak hanya milik pemerintah, tetapi milik rakyat. Sejarah tidak hanya milik pemenang, tetapi juga milik mereka yang dikalahkan,” tegas Sumarsih.
Selain bertukar opini terkait pandangan dalam penulisan ulang sejarah, penggunaan diksi yang sulit juga tak luput dari pembahasan diskusi. “Jadi itu [penggunaan diksi yang sulit-red] juga upaya negara untuk menciptakan jarak, supaya masyarakat ya sudah terima-terima aja gitu,” tanggap Miriam. Menurutnya, draf sejarah yang baru terkesan sengaja dibuat ambigu dengan menggunakan kata-kata yang terlalu rumit bagi orang awam. Ia menambahkan, diksi-diksi rumit ini dapat menggiring opini masyarakat seolah-olah penulisan ulang sejarah untuk tujuan nasionalisme.
Menuju penghujung diskusi, Gerardine mengingatkan kembali, kehadiran masyarakat menjadi penting dalam menyikapi proyek penulisan ulang sejarah. Apabila menelisik ke belakang, terdapat beberapa kebijakan pemerintah akhirnya dibatalkan karena rakyat buka suara. Baginya, rakyat memegang peranan yang penting dalam melawan dan mengkritisi pemerintah. “Kita terus berjuang supaya api kita jangan pernah mati, kita tetap aja berisik untuk mengkritisi poin-poin yang salah,” jelas Gerardine.
Sumarsih menutup diskusi ini dengan harapan untuk seluruh masyarakat turut mengambil sikap atas penulisan ulang sejarah. Baginya, berbeda dengan penguasa yang mementingkan pelanggengan kekuasaan, rakyat masih memiliki harapan untuk mewujudkan tatanan yang adil, makmur, dan sejahtera. “Harapan saya, mari kita berjuang bersama untuk menulis buku sejarah dengan jujur tanpa ada kepentingan bagi sekelompok orang atau siapapun, ” tutup Sumarsih.
Penulis: Falinkha Varally
Penyunting: Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Fotografer: Misbakhul Huda