Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

Juni 3, 2025

©Huda/Bal

Penulisan ulang sejarah resmi oleh Kementerian Kebudayaan, memicu berbagai reaksi dari publik. Logos ID dan Kontras turut merespons dengan mengadakan diskusi bertajuk “Revisi Buku Sejarah Mesin Cuci Otak dan Perlunya Sejarah Alternatif” pada Sabtu (31-05). Diskusi digelar secara daring melalui Zoom dengan menghadirkan Maria Sumarsih, pendiri aksi Kamisan; Miriam Bahagijo, mahasiswa master jurnalisme di New York University; dan Gerardine sebagai moderator. “[Diskusi – red] ini menjadi sebuah langkah buat kita untuk menghidupkan sebuah pembicaraan publik yang kritis, berani, dan berpihak pada keadilan,” jelas Gerardine. 

Miriam membuka sesi diskusi dengan memaparkan proyek penulisan sejarah oleh pemerintah telah dimulai sejak Januari 2025, dibagi dalam sepuluh jilid, dan menggelontorkan biaya senilai 9 miliar rupiah. Penulisan ulang sejarah ini rencananya akan menjadi kado hari kemerdekaan RI yang ke-80. Baginya, proyek ini bermasalah sebab terdapat sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang dihilangkan pada penulisan ulang ini. Kejadian itu di antaranya pembantaian massal tahun 1965—1966, penembakan misterius, penghilangan paksa para aktivis tahun 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, pemerkosaan perempuan Tionghoa pada Mei 1998, serta pelanggaran HAM Aceh dan Papua. “Jadi dari 13 kasus pelanggaran HAM, yang dimuat hanya Talangsari Lampung juga Tanjung Priok tapi lagi-lagi tidak dengan penjelasan yang mumpuni gitu,” jelas Miriam.  

Miriam berpendapat bahwa penulisan ulang sejarah sebagai narasi tunggal dapat menjadi berbahaya karena sejarah bersifat tidak netral dan membawa kepentingan pribadi penulisnya. Ia menyebutkan, penulisan ulang sejarah oleh negara dapat mengabaikan suara kaum marginal, simplifikasi sejarah yang kompleks, melanggengkan kekuasaan otoriter, dan menghambat upaya rekonsiliasi serta pencarian keadilan. “Lagi-lagi kalau negara saja tidak mengakui pelanggaran HAM berat yang terjadi, gimana korban bisa mencari keadilan?,” tanya Miriam.

Sumarsih mengawali pemaparannya dengan kilas balik perjalanan hidup putranya, Wawan, korban Tragedi Semanggi I. Baginya, penulisan ulang ini dilakukan tanpa mempertimbangkan perasaan, perjuangan, dan perspektif dari keluarga korban pelanggaran HAM berat. Bagi Sumarsih ini adalah ironi, mengingat proyek ini didanai oleh APBN yang bersumber dari pajak rakyat, termasuk keluarga korban. “Pertanyaannya, mengapa perkara pelanggaran berat HAM tidak dituangkan ke dalam buku sejarah yang baru?” tanyanya. 

Sumarsih memandang penulisan ulang sejarah seharusnya berangkat dari niat yang baik, jujur, dan netral agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. “Penulisan buku sejarah resmi Indonesia di era Prabowo menunjukkan bahwa buku sejarah ini bertujuan untuk mencuci otak para pendukungnya, bahwa Prabowo bukan seorang pelanggar berat HAM,” imbuh Sumarsih. Ia menambahkan bahwa buku sejarah yang baru seharusnya dihadiahkan kepada rakyat dan pejuang, bukan pelanggar HAM berat yang kini menjabat sebagai presiden.

Menyusul ketidaksetujuannya, Sumarsih menambahkan potensi kejahatan dari hadirnya buku sejarah versi pemerintah. Potensi itu meliputi penutupan kasus pelanggaran HAM berat, pembungkaman suara-suara kritis, dan pengekalan kekuasaan melalui praktik cuci otak masyarakat. Baginya, sejarah seharusnya menjadi sarana belajar agar generasi mendatang tidak mengulangi kesalahan kelam di masa lalu. “Kita harus berjuang bersama agar sejarah tidak hanya milik pemerintah, tetapi milik rakyat. Sejarah tidak hanya milik pemenang, tetapi juga milik mereka yang dikalahkan,” tegas Sumarsih.

Selain bertukar opini terkait pandangan dalam penulisan ulang sejarah, penggunaan diksi yang sulit juga tak luput dari pembahasan diskusi. “Jadi itu [penggunaan diksi yang sulit-red] juga upaya negara untuk menciptakan jarak, supaya masyarakat ya sudah terima-terima aja gitu,” tanggap Miriam. Menurutnya, draf sejarah yang baru terkesan sengaja dibuat ambigu dengan menggunakan kata-kata yang terlalu rumit bagi orang awam. Ia menambahkan, diksi-diksi rumit ini dapat menggiring opini masyarakat seolah-olah penulisan ulang sejarah untuk tujuan nasionalisme.   

Menuju penghujung diskusi, Gerardine mengingatkan kembali, kehadiran masyarakat menjadi penting dalam menyikapi proyek penulisan ulang sejarah. Apabila menelisik ke belakang, terdapat beberapa kebijakan pemerintah akhirnya dibatalkan karena rakyat buka suara. Baginya, rakyat memegang peranan yang penting dalam melawan dan mengkritisi pemerintah. “Kita terus berjuang supaya api kita jangan pernah mati, kita tetap aja berisik untuk mengkritisi poin-poin yang salah,” jelas Gerardine.

Sumarsih menutup diskusi ini dengan harapan untuk seluruh masyarakat turut mengambil sikap atas penulisan ulang sejarah. Baginya, berbeda dengan penguasa yang mementingkan pelanggengan kekuasaan, rakyat masih memiliki harapan untuk mewujudkan tatanan yang adil, makmur, dan sejahtera. “Harapan saya, mari kita berjuang bersama untuk menulis buku sejarah dengan jujur tanpa ada  kepentingan  bagi  sekelompok orang atau siapapun, ” tutup Sumarsih.

Penulis: Falinkha Varally
Penyunting: Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Fotografer: Misbakhul Huda

6
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Jurnalis Perempuan Selalu Rasakan Ketimpangan dan Kekerasan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025
  • Kapan KKN Harus Dihapus?

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM