
©Nico/BAL
Di tengah merajalelanya krisis iklim, pemerintah datang membawa kebijakan biofuel sebagai solusi jitu. Namun, di balik tabir hijau kebijakan tersebut, tersimpan suatu realitas pilu yang mengungkap sandiwara para pemberi janji palsu.
Bahan bakar fosil masih menjadi penggerak utama sebagian besar produk peradaban modern sejak revolusi industri. Diperkirakan lebih dari 80% energi yang digunakan oleh manusia saat ini berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara (Armaroli dan Balzani 2021). Dependensi terhadap bahan bakar fosil ini kemudian menjadi problematika anyar sebab secara alamiah pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbondioksida, gas antropogenik yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global (Karl dan Trenberth 2003). Hal ini menjadi pemicu munculnya diskursus mengenai energi ramah lingkungan beberapa dekade belakangan.Â
Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi tingkat tinggi pertama yang membahas mengenai perubahan iklim atas dasar kesadaran kegawatdaruratan pemanasan global. Konferensi ini kemudian menghasilkan sebuah kerangka kerja yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sejak tahun 1995, para penandatangan UNFCCC bertemu setiap tahunnya dalam Conference of the Parties (COP). Lalu, pada tahun 2015, COP 21 melahirkan Persetujuan Paris yang secara umum bertujuan untuk membahas pembatasan kenaikan temperatur hingga satu setengah derajat celsius (Savaresi 2016).
Hal ini memantik munculnya gagasan Net Zero Emission (NZE)âyakni upaya mengurangi emisi karbon hingga jumlah residual yang dapat diserap dan disimpan oleh alam sehingga tidak meninggalkan jejak karbon di atmosfer. Berbagai negara kemudian menargetkan tercapainya NZE pada tahun tertentu, Indonesia misalnya menargetkan NZE pada tahun 2060. Untuk mendukung usaha penanganan krisis iklim tersebut, PBB juga mengampanyekan transisi energi dari yang semula sangat dependen terhadap bahan bakar fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai negara.
Biofuel merupakan salah satu EBT yang digadang-gadang dapat menjadi solusi permasalahan emisi karbon dunia. Biofuel didefinisikan sebagai bahan bakar dari biomassa atau materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Secara umum, biofuel dibagi menjadi dua yakni bioetanol dan biodiesel. Bioetanol, seperti yang disugestikan oleh namanya, mengandung etanol dalam tingkatan tertentu; dapat dicampur dengan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi; dan dalam proses produksinya memakai bahan baku tanaman berpati, berserat, dan bergula. Sementara, biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil atau alkil asam-asam lemak dan proses produksinya menggunakan bahan baku minyak nabati (Lubad dan Widiastuti 2010)Â
Biofuel menjadi salah satu EBT unggulan negara Indonesia di samping energi lain seperti surya, air, dan bayu karena bahan bakunya yang murah dan melimpah. Selain itu, biofuel jenis biodiesel memiliki sifat yang mirip dengan solar sehingga kendaraan berbahan bakar solar tidak perlu banyak dimodifikasi. Biodiesel juga dapat terurai secara alami (biodegradable), memiliki residu asap yang tidak hitam pada kendaraan bermotor, serta menghasilkan relatif lebih kecil gas polutan berupa karbondioksida terhadap bahan bakar fosil (Lubad dan Widiastuti 2010).Â
Sejalan dengan narasi keunggulan tersebut, pemerintah Indonesia mengambil arah kebijakan transisi energi yang mengutamakan produksi biodiesel, khususnya biodiesel yang berbahan baku minyak kelapa sawit. Hal itu ditunjukkan dengan pernyataan Presiden Indonesia, Prabowo saat acara Indonesia-Brazil Business Forum yang digelar di Rio de Janeiro, Brazil pada 17 November 2024. Prabowo menyinggung soal program biofuel Brazil yang berfokus pada bioetanol, serta menyatakan bahwa Indonesia akan menempuh jalan yang serupa dengan berfokus pada biodiesel hasil sawit. Presiden menargetkan Indonesia untuk menyegerakan penggunaan B50, yakni bahan bakar mesin diesel dengan komposisi 50% biodiesel dan 50% bahan bakar fosil pada 2025.
Deforestasi Sebagai Harga Produksi Biofuel
Terang saja, kebijakan biofuel tidak selamanya âhijauâ. Di balik keuntungan-keuntungan yang ditawarkan oleh biodiesel, pembukaan lahan untuk pemenuhan bahan baku sering kali mengarah pada deforestasi. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi pada kurun waktu 2001â2016 dengan persentase 23% dari total penyebab deforestasi lainnya (Austin dkk. 2018). Hal ini berkelindan dengan narasi penyegeraan transisi EBT melalui produksi dan penggunaan biofuel sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. Dalam Perpres tersebut, pengembangan biodiesel sebagai EBT akan dilaksanakan selama 25 tahun dengan capaian berturut-turut mulai dari tahun 2005â2010 sebesar 2%; 2011â2015 sebesar 3%; dan 2016â2025 sebesar 5% dari penggunaan diesel nasional.Â
Selain Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, terdapat regulasi yang kemudian menjadi dasar etika produksi biofuelâutamanya biodiesel yang bersumber dari minyak kelapa sawit. Regulasi tersebut adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 yang mengatur perihal penyediaan dan pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar lain. Pemberian izin pengembangan bahan baku bakar nabati secara jelas tertulis dalam Inpres hanya diperuntukkan pada lahan hutan yang tidak produktif. Namun, pada kenyataannya, berdasarkan data FAO pada tahun 2010, Indonesia termasuk dalam daftar lima besar negara yang paling cepat berkurang tutupan hutannya . Indonesia memiliki tingkat deforestasi sebesar satu setengah juta hektare per tahun pada rentang 2006â2009 yang, salah satunya, disebabkan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit (Uryu dkk 2008).Â
Pengabaian pemerintah terhadap dampak deforestasi serta ketidakseriusan pemerintah dalam mitigasi krisis iklim, semakin dikuatkan dengan pernyataan Prabowo. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025â2029, Presiden mengimbau negara agar tidak perlu takut akan dampak deforestasi akibat pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan komersial, terutama perkebunan kelapa sawit. Selain itu, Presiden juga mengimplikasikan bahwa tanaman kelapa sawit memiliki fungsi yang sama dengan tanaman tutupan hutan karena memiliki âdaunâ.Â
Kenyataannya, deforestasi menyumbang hampir 20% dari emisi karbon dunia, dengan Indonesia dan Brazil bersama-sama menyumbang sebesar 54% dari total emisi akibat deforestasi (Uryu dkk 2008). Deforestasi pada dasarnya mendisrupsi siklus karbon. Apabila hutan dibabat maka karbon yang tersimpan akan dilepas kembali sebagai emisi gas buang yang mencemari udara dan kembali menumpuk di atmosfer (Indriani 2017). Pernyataan pemerintah menyugesti bahwa dampak deforestasi dapat dikesampingkan demi kepentingan ekonomi.Â
Selain itu, deforestasi memiliki dampak yang besar terhadap populasi hewan endemik Indonesia. Pada rentang 2000â2006, Uryu dkk (2008) menemukan sekitar 200 gajah mati atau âmenghilangâ selama terjadi konflik antara penjaga kebun dengan gajah yang âmenginvasiâ lahan ekspansi perkebunan sawit. Kasus yang serupa juga terjadi pada harimau Sumatra. Beberapa harimau Sumatra memburu babi hutan yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit dan menyerang penjaga kebun. Lantaran dianggap sebagai ancaman terhadap keselamatan âpendudukâ, harimau-harimau ini kemudian diburu untuk ditangkap maupun dikuliti. Kasus-kasus hewan hutan yang âmenginvasiâ lahan perkebunan adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan apabila deforestasi dilakukan tanpa adanya usaha pelestarian lanjutan bagi spesies endemik hutan yang terdampak.Â
Potensi meluasnya deforestasi akibat kebijakan biofuel ini semakin diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan regulasi yang sudah ada. Regulasi tersebut mencakup Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, serta program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Seyogyanya, Inpres ini diterbitkan untuk menyelesaikan permasalahan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dengan memperketat perizinan pembukaan lahan. Namun, nyatanya luas perkebunan kelapa sawit masih meningkat setelah adanya Inpres tersebut. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan perluasan lahan dari 14 juta hektar pada tahun 2018 menjadi lebih dari 16 juta hektar di bulan Januari 2020 (da Conceição dkk 2021).Â
Sementara itu, PSR yang merupakan program untuk membantu pekebun rakyat memperbarui perkebunan kelapa sawit mereka dengan kelapa sawit yang lebih berkualitas, belum berjalan secara efektif. Pelaksanaan PSR berada di bawah target awal yakni sebesar 180 hektare lahan yang akan diremajakan pada tahun 2021 dengan realisasi hanya sebesar 42 ribu hektare. Kompleksitas regulasi dan keterlibatan berbagai kementerian/lembaga dalam produksi komoditas kelapa sawitâdiketahui lebih dari 30 kementerian/lembaga terlibat dalam ketersediaan kelapa sawitâmembuat pelaksanaan PSR justru tumpang tindih karena harus mewakili berbagai kepentingan, sehingga pada akhirnya PSR tidak berjalan dengan efektif. Ketidakseriusan pelaksanaan PSR ini berimbas buruk pada perluasan lahan sawit karena PSR yang berfokus pada peningkatan produktivitas perkebunan seharusnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk memperbanyak produksi minyak sawit tanpa membuka lebih banyak lahan (da Conceição dkk 2021).
Kelompok yang Terpinggirkan dari Kebijakan Biofuel
Transisi energi menuju biofuel juga memiliki persoalan yang menyangkut petani swadaya. Pada tahun 2021, petani swadaya di bawah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melakukan aksi damai di depan kantor Kementerian Keuangan, Jakarta terkait kebijakan subsidi biofuel dari pemerintah. Dana subsidi sebesar Rp 57,72 triliun dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak dialokasikan sebagaimana mestinya. Dana alokasi yang seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan petani swadaya justru diberikan untuk korporasi. Padahal, menurut mereka, korporasi sudah mapan mengontrol hulu dan hilir perkebunan sawit Indonesia. Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani swadaya ini sangat ironis mengingat sekitar 41% lahan sawit dikelola oleh petani swadaya (Hasiman 2020).Â
Selain permasalahan subsidi, permasalahan kuota juga turut menggerogoti kebijakan biofuel Indonesia. Misalnya pada tahun 2020, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan hanya memberi kuota biodiesel kepada 18 korporasi (Hasiman 2020). Dalam pemberian kuota korporasi ini, pemerintah berlindung di balik alasan bahwa korporasi sudah memiliki infrastruktur biodiesel sehingga dinilai lebih efisien. Padahal, beberapa korporasi ada yang baru membangun kilang. Salah satu akibat dari kuota biodiesel tersebut adalah Pertamina, sebagai pembeli biodiesel terbesar di Indonesia, tidak dapat memiliki opsi selain membeli biodiesel dari ke-18 korporasi tersebut (Hasiman 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa unsur kepentingan korporasi juga ikut mencampuri kebijakan biofuel Indonesia.
Tidak hanya itu, kebijakan biofuel Indonesia juga memiliki dampak terhadap ketahanan pangan. Mengingat kelapa sawit tidak hanya memiliki peran sebagai bahan baku biodiesel, tetapi juga penting untuk kebutuhan pangan. Minyak kelapa sawit banyak diproduksi dalam berbagai produk konsumsi seperti minyak goreng. Dengan lahan yang terbatas, pengalihfungsian kelapa sawit untuk bahan baku biofuel akan menimbulkan kelangkaan pasokan untuk kebutuhan pangan (Hariandja 2024). Sebagai dampaknya, harga minyak goreng dapat mengalami ketidakstabilan yang tentu merugikan masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.Â
Di samping isu ekologi dan ekonomi yang terus menghantui, kebijakan biofuel pemerintah juga merampas hak-hak masyarakat adat. Pada 4 April 2017, Parlemen Eropa di Strasbourg mengeluarkan Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforest. Laporan itu secara khusus menyebutkan bahwa persoalan sawit di Indonesia adalah persoalan besar yang salah satunya dikaitkan dengan isu penghilangan hak masyarakat adat (Bakhtiar dkk 2019). Misalnya, masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang menggantungkan hidupnya pada tanah dan hutan adat. Mereka menjadikan tanah dan hutan adat untuk berburu dan meramu, mencari gaharu untuk dijual, dan menjalankan sejumlah ritual sakral. Jika hutan adat tersebut dibuka untuk ekspansi kelapa sawit, mereka tidak hanya terancam dari segi kehidupan ekonomi, tetapi juga terancam dari segi identitas dan budaya. Hilangnya akses terhadap tanah dan hutan adat akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian serta rusaknya sistem sosial dan kepercayaan yang telah mereka jalankan secara turun temurun.Â
Penutup
Akhirnya, kebijakan transisi energi hijau yang dicanangkan pemerintah tidaklah lebih dari sekadar sandiwara. Meskipun regulasi seperti moratorium sawit telah diberlakukan, pelaksanaannya yang lemah menunjukkan bahwa pemerintah hanya memandang transisi energi dalam bingkai kewajiban internasional semata. Ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit yang ugal-ugalan hanya berujung pada deforestasi yang mengancam keanekaragaman hayati dan meningkatkan emisi. Selain itu, kebijakan biofuel malah memihak korporasi, mengabaikan petani swadaya, dan merampas hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian, transisi energi hijau di Indonesia pun hanya akan terus menjadi angan yang terkurung dalam benak, alih-alih menjadi realitas.
Penulis: Intan Dwi Cahyati, Jonathan Toga Sihotang, dan Maria Margareta Rastya Kris Edita (Magang)
Penyunting: Gladwin Panjaitan
Illustrator: Nico Setiawan
Daftar Pustaka
Armaroli, Nicola and Vincenzo Balzani. âThe legacy of fossil fuels.â Chemistry, an Asian journal 6 3 (2011): 768-84.
Austin, Kemen G, Amanda Schwantes, Yaofeng Gu, and Prasad S Kasibhatla. âWhat Causes Deforestation in Indonesia?â Environmental Research Letters 14, no. 2 (December 6, 2018): 024007. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aaf6db.
Bakhtiar, Irfan, Diah Suradiredja, Hery Santoso, and Wiko Saputra, eds. 2019. Hutan kita bersawit: gagasan penyelesaian untuk perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. N.p.: Yayasan Kehati.
da Conceição, Hugo Rosa., Arifiandi, Nur., Finlay, Helen., dan Hartill, Jodie. 2021. âSEBERAPA HIJAUKAH BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL)? Memahami risiko dan lanskap kebijakan di Indonesia.â N.p.: CDP Worldwide
Fea. 2024. âPrabowo Pamer Biodiesel di Brasil: Indonesia Lanjut B50 pada 2025.â cnnindonesia.com, November 19, 2024. https://www.cnnindonesia.com/otomotif/20241119081741-579-1168104/prabowo-pamer-biodiesel-di-brasil-indonesia-lanjut-b50-pada-2025Â
Hariandja, Richaldo. 2024. âAmbisi Biodiesel Sawit Berisiko pada Pangan dan Lingkungan.â Mongabay, July 31, 2024. https://www.mongabay.co.id/2024/07/31/ambisi-biodiesel-sawit-berisiko-pada-pangan-dan-lingkungan/.Â
Hasiman, Ferdy. 2020. âMencermati Proyek Biodiesel.â Kompas, Oktober 20, 2020. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/20/mencermati-proyek-biodiesel?status=sukses_login&login=1735795078835&open_from=header_button&loc=header_button.
Indriani, Maya Asri. 2017. Review of ESTIMASI CADANGAN KARBON SEBAGAI INDIKATOR HIJAU DI WILAYAH PEMBANGKIT LISTRIK. JURNAL TEKNO GLOBAL 6 (2477-6955): 38â44.
Instruksi Presiden (Inpres). 2018. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan Dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Karl, Thomas R., dan Trenberth, Kevin E. âModern Global Climate Change.â Science 302, no. 5651 (December 4, 2003): 1719-23.
Lubad, Aziz Masykur dan Widiastuti, Paramita. 2010. Program Nasional Biofuel dan Realitasnya di Indonesia. Lembaran Publikasi Lemigas Vol. 44 No. 3. Desember 2010: 307-316.
Octavia, Salsabilla Azzahra, dan S. Dian Andryanto. 2025. âIndonesia Terus Dorong Target Emisi Nol Karbon Pada 2060, Apa Itu?â Tempo. Diakses 9 Juni 2025. https://www.tempo.co/lingkungan/indonesia-terus-dorong-target-emisi-nol-karbon-pada-2060-apa-itu–1364405.Â
Peraturan Presiden (Perpres). 2006. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.
Rahayu, Riri. 2024. âPrabowo Minta Lahan Sawit Diperluas: Jangan Takut Deforestasi.â tempo.co, Desember 31, 2024. https://www.tempo.co/ekonomi/prabowo-minta-lahan-sawit-diperluas-jangan-takut-deforestasi-1188146
Savaresi, Annalisa. âThe Paris Agreement: A New Beginning?â Edinburgh School of Law Research, no. 8 (March 14, 2016): 1-12. http://doi.org/10.2139/ssrn.2747629
Singgih, Viriya. 2024. ââMitosâ biodiesel ramah lingkungan â Papua dan Kalimantan berpotensi jadi sasaran utama penggundulan hutan.â BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c938qp4qe40o?utm_campaign=feed&utm_medium=referral&utm_source=later-linkinbio.Â
Syafira, Retno, Zulkifli Nasution, and Charloq. 2024. âAnalisis Kendala Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terhadap Potensi Pertumbuhan Ekonomi Petani Sawit Rakyat.â JURNAL ILMIAH GLOBAL EDUCATION 1 (5): 431-441. https://doi.org/10.55681/jige.v5i1.2355.
Uryu, Y. dkk. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia. WWF Indonesia Technical Report, Jakarta, Indonesia.