Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Seni sebagai Media Menyuarakan Keresahan atas Ketimpangan Gender

Februari 3, 2020

©Erika/Bal

Women’s March Yogyakarta menggelar diskusi dan mini ekshibisi dengan tajuk “Bersuara Lewat Karya” pada Jumat (31-1) malam. Mini ekshibisi tersebut menampilkan karya yang selama dua minggu sebelumnya dikumpulkan lewat tagar #BersuaraLewatKarya. Adapun diskusi dipantik oleh seniman dari beragam latar belakang, di antaranya adalah Erlina dari grup musik Nada Bicara dan Galih Prakasiwi dari bidang tari, dipandu Gabriela Natasya Manueke atau Acha sebagai moderator. Kegiatan yang diselenggarakan di G45 Co-Working Space tersebut juga dimeriahkan oleh penampilan musik dari Ajeng, Diversitones, Nada Bicara, serta tarian dari Angelina.

Diskusi dimulai dengan Galih dan Erlina yang membagikan cerita awal mula ketertarikan mereka terhadap isu-isu feminisme. Dalam berkarya, mereka menyadari bahwa seni pada dasarnya tidak lepas dari problematika terkait peran gender. Menurut Galih yang telah menggeluti bidang tari sejak kecil, tarian merupakan media untuk berekspresi dengan leluasa tanpa kotak ataupun label. “Tapi banyak gerakan tari yang dianggap hanya cocok untuk perempuan atau laki-laki saja,” tutur Galih. Sementara itu, Erlina melihat bahwa terdapat glorifikasi atas ketimpangan gender dan seksisme pada karya seni yang beredar di media arus utama.

Selanjutnya, keduanya mengungkapkan kendala terkait konstruksi gender yang dialami selama berkarya. Galih, yang kini juga aktif mengajar tari bagi anak-anak usia sekolah dasar, mengungkapkan bahwa terkadang ada tuntutan dari orang tua muridnya untuk melakukan tarian tertentu. “Karena takut laki-lakinya jadi keperempuan-perempuanan,” jelas Galih. Kendala lain ditambahkan Erlina yang menyayangkan bahwa pesan dalam suatu karya kadang hanya ditangkap segmen tertentu saja. Hal tersebut, Erlina mengungkapkan, terjadi lantaran stigma yang melekat pada feminisme membuat sebagian orang enggan untuk mencoba memahaminya. Namun, ia sendiri lebih melihat itu semua sebagai tantangan dibandingkan kendala.

Dalam berkarya, keduanya mendapatkan inspirasi dari kehidupan sehari-hari mereka. Galih menyatakan bahwa ia menari sebagai bentuk menikmati dan menjalani kehidupan. Menurut Galih, dalam seni, terdapat irisan dengan isu-isu di bidang lain, misalnya mengenai konstruksi gender, politik, masalah psikologis, agama, dan sebagainya. Ia juga menambahkan bahwa menari menjadi alat baginya untuk menunjukkan sikap atas masalah-masalah tersebut. Adapun Erlina menuturkan bahwa pengalamannya sebagai penyintas kekerasan seksual merupakan salah satu yang menggerakkannya dalam berkarya. “Lewat berkegiatan seni, aku healing,” ungkapnya.

Untuk menjawab pertanyaan Acha mengenai target dalam berkarya, Erlina menegaskan bahwa proses yang dijalani harus menjadi fokus dibandingkan hasil akhir. Ia juga memandang berkarya sebagai media aktivisme dalam kehidupan sehari-hari. Melalui hal tersebut, Erlina menambahkan, ia dapat menunjukkan kontra narasi terhadap pandangan yang kurang adil terhadap gender maupun orientasi seksual tertentu. Sementara itu, Galih mengungkapkan bahwa ia ingin mengembalikan kembali esensi dari seni tari. Baginya, berkesenian harus datang dari dalam diri, bukan dari keinginan untuk ditonton orang. “Dengan menikmati apa yang kita lakukan, pada akhirnya penonton juga akan menikmati pertunjukan kita,” ucap Galih.

Seorang mahasiswa yang menjadi peserta diskusi bertanya pada Erlina mengenai perlunya berjejaring dengan lingkungan yang toksik. Erlina menjawab bahwa terkadang masuk ke dalam lingkungan seperti itu tidak dapat terhindarkan, misalnya saja dalam dunia kerja. Ia mengatakan jika sering kali terdapat lelucon seksis ataupun sikap yang misoginis pada lingkungan tersebut. “Tapi jika kita tidak ada di situ dan mengubahnya justru tidak ada yang menyadari bahwa perilaku tersebut salah,” jelas Erlina. Hal tersebut dapat dihadapi dengan tidak terbawa sikap yang sama dan berusaha untuk menjadi contoh yang benar, tambahnya.

Diskusi ditutup dengan pembacaan kesimpulan oleh Acha. Ia menuturkan bahwa berkarya dapat dilakukan dengan berbagai medium yang paling nyaman bagi masing-masing orang. Acha juga menyebutkan bahwa selain berkarya, berjejaring juga merupakan hal yang penting untuk dilakukan agar dapat memberikan dampak yang lebih luas. “Namun, dalam melakukannya diperlukan sikap yang konsisten serta tidak permisif pada ketimpangan serta pandangan seksis,” pungkas Acha.

Penulis: Erika K. Madiaferry
Penyunting: Rasya Swarnasta 

aktivisme seniKetimpangan Genderwomen march
1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM