Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Bertualang lewat “Gentayangan” Karya Intan Paramaditha

Januari 21, 2018

©Bernard/bal

“Beri aku uang, visa, dan tiket. Sekali jalan. Aku tak mau pulang,” ucap seorang perempuan kepada iblis, kekasihnya. Ia menginginkan petualangan, perjalanan yang seru, dan tidak mau menetap di Indonesia. Umurnya sudah 28 tahun dan sepanjang hidupnya ia belum pernah pergi ke luar negeri sama sekali. Setelah membuat perjanjian, perempuan tersebut bertualang ke berbagai tempat di seluruh negeri dengan sepatu merah pemberian iblis itu.

Kisah di atas merupakan penggalan dari novel “Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu” yang ditulis oleh Intan Paramaditha. Karya penulis kelahiran Bandung ini diluncurkan di Yogyakarta pada salah satu rangkaian acara “Buka Studio 7 Hari 7 Malam” yang diselenggarakan oleh Teater Garasi (18-01). Sebelumnya, buku ini telah diluncurkan di Jakarta dan Bali.

Dalam novel ini, Intan menggunakan sudut pandang orang kedua yang digambarkan dengan “kau” sebagai karakter utama novelnya. Tokoh ini adalah seorang perempuan kelas menengah yang bekerja sebagai guru bahasa inggris. Ia merasa bosan karena meski bekerja sebagai guru bahasa inggris, ia tidak pernah ke negara yang berbahasa inggris. “Novel ini bercerita tentang perempuan naif yang ingin melakukan petualangan. Untuk mewujudkan itu, ia bersekutu dengan iblis,” kata Intan.

Demi memberi pengalaman yang lebih interaktif, Intan mengajak pembacanya untuk memilih  konsekuensi dan akhir kisahnya sendiri melalui lima belas alur cerita yang ia sediakan. Dalam format ini, pembaca diberi pilihan yang mengarahkannya pada halaman tertentu dan melewati petualangan yang berbeda di setiap akhir perjalanan. Ia mengaku bahwa format cerita “pilih sendiri petualanganmu” terinspirasi dari serial buku Anne of Green Bables karya L. M. Montgomery.

Sama seperti buku-buku Intan sebelumnya (antologi cerpen “Sihir Perempuan” dan karya kolaborasi bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad berjudul “Kumpulan Budak Setan”), “Gentayangan” berusaha mengangkat hal sehari-hari yang kerap diterima begitu saja. Lewat gagasan mengenai petualangan, Intan mengajak pembaca untuk mempertanyakan konsep perjalanan yang selama ini dianggap tidak bermasalah. Ia bermaksud mengganggu pembaca dengan menyinggung kehidupan kelas menengah yang dihubungkan dengan konsep rumah dan kepergian, juga batas-batas di dunia yang semakin runtuh. “Buat saya, kelas menengah itu harus ‘didampingi’ karena mereka sering kali memiliki asumsi, aspirasi, dan sikap yang cenderung untuk melanggenggkan status quo serta tidak kritis,” ungkap Intan.

Intan mengatakan bahwa ia juga ingin berbicara soal akses dan keistimewaan melalui penggambaran tokoh utamanya. Menurutnya, perjalanan merupakan salah satu bentuk akses dan keistimewaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki modal. Ia membandingkan kontrasnya akses satu kelompok yang mampu bertualang ke luar negeri, sedangkan yang lainnya tidak. “Pemegang paspor Indonesia misalnya, sebagai warga negara berkembang, kita tidak memiliki akses yang sama dengan pemilik paspor dari Belanda,” kata Intan.

Tidak hanya gagasan mengenai akses dan keistimewaan, beberapa resensi yang ditulis baik oleh wartawan maupun pembaca “Gentayangan” juga membahas adanya ide feminisme dalam novel baru Intan. Tokoh utama dalam novel ini dianggap feminis karena menginginkan kebebasan dengan bertualang ke luar negeri. Slogan novel ini yang berbunyi “cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan” juga dianggap sebagai penguatnya.  

Menanggapi hal tersebut, Intan mengatakan bahwa tokoh utamanya bukanlah seorang feminis. Alih-alih menyebutnya sebagai feminis, Intan lebih tertarik menunjukkan transformasi tokohnya dari seorang yang naif menjadi petualang. “Dalam perjalanannya, tokoh ini menemukan hal-hal yang membuatnya kritis terhadap lingkungannya, dan dia percaya akan hal tersebut,” kata Intan.

Intan juga menjelaskan bahwa ia tidak mau membuat tokoh yang stereotipikal. Ia mengaku lebih tertarik menceritakan negosiasi yang terjadi daripada membuat dikotomi antara tokoh yang feminis dan konservatif. Intan mencontohkan karakter saudara perempuan dari tokoh utama. Meski diceritakan sebagai muslim konservatif, tokoh ini menolak poligami. Dalam buku ini, Intan berusaha menunjukkan bahwa tokoh-tokohnya terus bernegosiasi dengan lingkungan sekitar mereka.

Dengan konsep penulisan yang dapat memilih alurnya sendiri, respon dari pembaca pun bermacam-macam. Abdul Hadi, salah satu pengunjung acara peluncuran buku, mengatakan bahwa dirinya pernah merasa bosan meski baru membaca satu alur cerita. Abdul juga mengatakan ia justru ingin menciptakan alur ceritanya sendiri. Menyambut keluhan tersebut, Intan mengatakan bahwa dengan struktur buku petualangan, bosan adalah salah satu efek yang diharapkan dari pembacaan novel ini. “Penting bagi saya bila pembaca merasa bosan, dengan begitu kita bisa sadar ada hal-hal yang lebih menyenangkan ketika telah memilih jalur tertentu,” ucap Intan sambil tertawa.

Penulis : Citra Maudy

Editor : Sultan Abdurrahman

GentayanganIntan ParamadithaPetualanganteater garasi
2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM