Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILAS

Kapitalisme, Tonggak Represi Kaum LGBT

Maret 12, 2017

 

©Azizil/BAL

©Azizil/BAL

“Akar dari penindasan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sama dengan penindasan perempuan, yakni kapitalisme,” ucap Mahe. Ia menyampaikan itu saat memantik diskusi bertajuk “Akar Penindasan dan Perjuangan Pembebasan LGBT” di Earth Cafe, Kamis malam (9-3). Kesamaan akar penindasan pada kedua entitas tersebut membuat Kongres Politik Organisasi-Perjuangan Rakyat Pekerja Yogyakarta memasukkan diskusi ini dalam rangkaian perayaan Hari Perempuan Internasional.

Kapitalisme muncul dengan menawarkan kebebasan lebih dibanding pada masa sebelumnya. Kebebasan ini memberikan keberanian bagi individu untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. “Itulah mengapa ekspresi-ekspresi yang tertutup saat masa feodalisme kemudian muncul. Termasuk ekspresi seksual,” ungkap Mahe.

Ekspresi seksual kaum LGBT dianggap menyimpang. Mahe mengatakan bahwa anggapan itu muncul karena tidak sesuai dengan konsep keluarga batih. Keluarga batih merupakan keluarga ideal yang terdiri dari suami (laki-laki), istri (perempuan), dan anak. Laki-laki melakukan peran produksi sebagai pencari nafkah, dan perempuan melakukan pekerjaan domestik dengan peran reproduksi sebagai penghasil keturunan.

Para borjuis mempropagandakan konsep keluarga batih pada pertengahan abad sembilan belas. Propaganda bertujuan agar keluarga menghasilkan keturunan yang akan berperan sebagai tenaga kerja di masa depan. Bila ekspresi seksual kaum LGBT dianggap wajar, maka akan marak terjadi hubungan seksual sesama jenis. Hal ini berpotensi mengurangi persediaan tenaga kerja di kemudian hari karena keluarga tidak menghasilkan keturunan. Pewarisan kekayaan antargenerasi juga tidak akan berjalan. “Ini akan mengganggu proses akumulasi kapital para kaum borjuis,” kata Mahe.

Penyimpangan dari konsepsi ideal yang dikonstruksikan tersebut juga berimbas pada adanya represi terhadap kaum LGBT. Masa kapitalisme menjadi awal adanya represi terhadap LGBT. Pada prakapitalisme, hanya ada pelarangan aktivitas seksual yang non-prokreasi (tidak menghasilkan keturunan), semacam oral dan anal seks. “Baru pada masa kapitalisme, mulai terjadi pelarangan dalam hal identitas, ekspresi, hingga orientasi seksual,” ucap Mahe.

Salah satu bentuk represi tersebut adalah adanya diskriminasi kaum LGBT pada dunia kerja. Mahe mencontohkan transgender yang terpaksa mengamen hingga menjual diri karena tidak mendapatkan pekerjaan akibat diskriminasi itu. “Mereka punya hak layaknya kita yang heteroseksual. Mereka juga memiliki hak pendidikan, hak akses terhadap kesehatan, dan hak akses fasilitas publik lainnya,” tambahnya.

Angelina (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa UGM yang mengikuti diskusi, mengamini perkataan Mahe. “Saya berharap mereka bisa mendapatkan kebebasan personalnya, seperti yang lain,” katanya. Elisa (bukan nama sebenarnya), peserta diskusi lainnya, menambahkan bahwa orientasi seksual merupakan ranah privat, tidak berhak diintervensi oleh orang lain. Baginya, penyimpangan orientasi seksual juga bukan sepenuhnya kesalahan kaum LGBT. “Seorang perempuan menjadi lesbian bisa jadi karena trauma mengalami kekerasan dari laki-laki saat kecil. Alhasil, dia benci kepada laki-laki saat dewasa,” tambahnya.

Perlakuan diskriminatif yang diperoleh kaum LGBT memicu munculnya perlawanan. Kendati demikian, menurut Mahe, strategi perlawanan kaum LGBT masih keliru. Perlawanan LGBT saat ini terlalu bersifat legal-formal, yakni cenderung melakukan lobi-lobi ke pemerintah. “Mereka melupakan sejarah perlawanan LGBT yang berawal dari gerakan massa,” terangnya. Padahal, massa penting dalam sebuah perlawanan. Ia mencontohkan aksi solidaritas kaum LGBT dengan buruh tambang di Inggris yang kemudian menghasilkan revolusi karena topangan massa yang melimpah. “Melakukan lobi ke pemerintah tidak cukup untuk menghilangkan akar penindasan terhadap LGBT, mereka juga harus menghimpun massa yang sebesar-besarnya,” pungkasnya. [Faizah Nurfitria, Rosalina Woro Subektie]

#Diskusi #solidaritasyogyakarta
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

1 komentar

Penindasan LGBT, Bonus Demografi, dan Pembangunan « IndoPROGRESS November 4, 2019 - 06:31

[…] https://www.balairungpress.com/2017/03/kapitalisme-tonggak-represi-kaum-lgbt/ […]

Reply

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM