Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILAS

Jejak Kebudayaan di Bekas Kota Pertambangan

September 28, 2013
©Istimewa

©Istimewa

Sawahlunto, kota kecil di Provinsi Sumatera Barat itu pernah menyimpan sejarah kelam tentang perburuhan. Ribuan tahanan dari penjara di Indonesia, khususnya Jawa didatangkan dengan kapal untuk menjadi buruh paksa. Kaki mereka dirantai, tenaga mereka diperas untuk menghasilkan batu bara atau “emas hitam” bagi pemerintah Belanda. Para Orang Rantai atau “Rang Rante” ini tidak bisa menolak bekerja dan melarikan diri karena dapat terkena sanksi hukum (punale sanctie).

Sejumlah tindakan juga dilakukan pemerintah Belanda untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja. “Melalui perdagangan candu, perjudian dan prostitusi terselubung, pemerintah Belanda ‘mengikat’ para buruh itu,” terang Prof. Dr. Sjafri dalam “Seri Seminar Kebudayaan di Indonesia: Masyarakat dan Kebudayaan Sawahlunto” , Rabu (25/9) lalu. Guru Besar Antropologi UGM dan UUM Malaysia ini memaparkan, praktek tersebut dilakukan saat hari “gajian besar” dan “gajian kecil”. Praktek perburuhan di Sawahlunto memang mengenal sistem dua kali gaji, yaitu di awal dan pertengahan bulan, seperti yang terjadi di perkebunan Sumatera Timur. Pada awal bulan, jumlah gaji yang dibayarkan lebih besar daripada saat pertengahan bulan.Tujuannya, membuat buruh kehabisan uang dan berhutang. Saat kontrak kerja tersebut habis, mereka pun terpaksa membuat kontrak kerja baru.

Praktek perburuhan ini mulai berhenti menjelang abad 21. Menipisnya persediaan batu bara di Sawahlunto menjadi alasan yang mendasari hal ini. Kini, lokasi pertambangan batu bara digunakan pemerintah kota sebagai obyek wisata. “Ini sesuai dengan visi kami sejak tahun 2001 yang menjadikan Sawahlunto sebagai ‘Kota Wisata Tambang yang Berbudaya’,” ujar Ismed, S.H., Wakil Walikota Sawahlunto yang turut hadir dalam seminar itu.

Visi Sawahlunto tersebut bisa dilihat dari masyarakat yang multietnik. Dr. Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM mengungkapkan, masuknya buruh pekerja dari berbagai daerah turut menyumbang budaya baru bagi Kota Sawahlunto. Salah satunya bisa dilihat dalam bahasa Tansi yang terbentuk dari 10 bahasa yang saling bercampur (creole). “Bahasa itu terbentuk antara lain bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, Bugis, Cina, Batak dan Belanda,” ujarnya.

Tak hanya dalam bidang bahasa, beragamnya etnik di Sawahlunto juga bisa dilihat dari kehidupan sosial masyarakatnya. “Hal itu melahirkan ide tentang Indonesia yang beragam dan ikut memengaruhi pemikiran Moh. Yamin,” cetus Dr. Elsa Putri E. Syafril, M.Pd, pembicara lain. Moh. Yamin merupakan seorang pemikir kebangsaan yang berasal dari Sawahlunto. Gagasannya tentang kehidupan berbangsa dinilai muncul sebelum dicetuskan Soekarno.

Munculnya kebudayaan baru menyebabkan identitas kebudayaan tersebut tidak jelas. Namun, masyarakat pembentuknya tetap berusaha mencari korelasi tentang akar pembentuk kebudayaan itu. Dalam penelitian Elsa, korelasi itu turut dicari melalui hubungan antara lubang tambang “Mbah Soero” dengan Samin Surosentiko, pendiri komunitas Sedulur Sikep di Blora. Lubang tambang itu diberi nama sesuai mandor pertambangan yang dinilai taat beragama dan pekerja keras.

Gunretno, penerus Samin Surosentiko yang hadir dalam seminar itu menyebutkan bahwa leluhurnya pernah dibuang ke beberapa tempat oleh Belanda. “Terakhir kali dibuang ke Sawahlunto,” terangnya. Meski begitu, data tentang nama para buangan yang dijadikan pekerja tetap tidak diketahui karena di nisan pun hanya tertulis nomor saja. “Nomor itu menjadi identitas para buruh saat itu yang dicap dengan besi panas di lengan kanan bagian dalam. Untuk mengetahui siapa pemilik nomor identitas itu, perlu melacaknya hingga ke Belanda,” tambah Elsa. Hal itu membuat generasi di bawah Samin Soerosentiko juga tak bisa melacak jejak leluhurnya.

Agus Hernawan selaku ketua panitia mengungkapkan, adanya cara pandang yang salah dalam kebudayaan menjadi alasan terselenggaranya seminar kebudayaan ini. “Selama ini bila kita menyebut tentang kebudayaan, yang muncul kebudayaan Jawa dan sebagainya. Sementara kebudayaan-kebudayaan lain dianggap sebagai kebudayaan ‘halaman belakang’,” ujarnya. Karena itu, kesetaraan posisi antara pemerintah, akademisi, aktivis dan masyarakat dalam seminar ini diharapkan dapat memberi pengayaan tentang kebudayaan. Sawahlunto diharapkan bisa menjadi model bagaimana Indonesia yang terdiri dari beragam etnik itu berlangsung. [Inez Christyastuti Hapsari]

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM