Reformasi yang berjalan selama 13 tahun, ternyata belum mampu memberikan penyelesaian bagi segala permasalahan yang dialami bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan cara-cara lain untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Pemikiran Soekarno dapat dijadikan solusi dalam mengatasi persoalan bangsa tersebut.
Wacana itu mengemuka dalam seminar dan diskusi bertajuk “Soekarnoisme di  abad XXI” di Ruang Seminar  Timur Fisipol, Jumat (10/6). Seminar ini menghadirkan Prof. dr. Soetaryo dan pembicara utama Dr. Max Lane, seorang Indonesianis asal Australia. Seminar ini diselenggarakan oleh LPPM Sintesa Fisipol bekerja sama dengan Pusat studi Pancasila UGM, Parikesit Institut, dan Perpustakaan Literati.
Menurut Dr. Lane, banyaknya permasalahan yang dialami Indonesia sekarang adalah warisan dari zaman Orde Baru pimpinan Soeharto. “Kegagalan pemerintahan di masa reformasi sekarang ini adalah kegagalan melakukan reformasi keadaan yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru,” ungkapnya. Oleh karena itu, bila Soeharto dianggap bertanggung jawab atas permasalahan bangsa ini, bisa jadi orang yang bertolak belakang pemikiran dengan Soeharto, yakni Soekarno, memiliki jawaban untuk mengatasi segala masalah yang dialami Indonesia. Maka, kembali kepada pemikiran Soekarno sangat relevan dengan kondisi Indonesia di abad XXI.
Dalam hal ini, Prof. dr. Soetaryo memiliki pandangan yang sejalan dengan Dr. Lane. Menurutnya, ajaran Soekarno relevan di abad XXI ini karena: pertama, NKRI adalah negara besar, dan kedua, Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada “VOC wajah baru”, yakni neoliberalisme dan fundamentalisme pasar. Ajaran Soekarno pun ia pahami bukan hanya sebagai ajaran yang tanpa dasar, melainkan merupakan ajaran yang ilmiah karena memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Dr. Lane juga menyoroti kurangnya perhatian bangsa pada sejarah sehingga saat ini bangsa Indonesia kehilangan nuansa sejarah dan ideologi. Menurutnya, sistem demokrasi Indonesia sekarang adalah demokrasi minus. Hak-hak formal ada, tetapi masih ada kontrol dalam berpikir, beragama, dan berideologi. “Kalau mau maju, buang demokrasi liberal. Kombinasikan hak-hak dasar yang sudah ada dengan demokrasi yang dibangun melalui perjuangan di masa revolusi,” imbuhnya. Di samping itu, bangsa Indonesia harus mau menjiwai kembali internasionalisme yang selalu diagungkan Soekarno agar Indonesia mampu “berbicara” banyak di pentas dunia.
Prof. dr. Soetaryo juga menyayangkan kurangnya kesadaran nasional dan pemahaman akan nilai-nilai Pancasila. Ini karena kurangnya pendidikan nilai-nilai Pancasila, baik dalam pendidikan formal maupun nonformal. “Sejarah berulang, sekarang pendidikan di Indonesia menjadi pendidikan kuli. Kalau dulu menjadi kuli bangsa Barat, sekarang (menjadi–red) kuli pasar,” ungkapnya.
Kepada para pemuda Indonesia, Dr. Lane berpesan agar mereka mau banyak membaca dan memahami pemikiran Soekarno. Namun, itu juga harus disertai dengan sikap yang kritis agar pemuda dapat mengambil kebaikan pemikiran Soekarno dan membuang yang buruk. Dengan itu, diharapkan pengawalan national dan character building Indonesia dapat dilanjutkan.[Nicko Rizqi Azhari/Deni Cahyono]