Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengadakan diskusi melalui siaran akun Instagram dengan tajuk “Kemana UGM Hari Ini?” pada Kamis (21/08). Dengan menghadirkan Noer Kasanah dan Dhia Al-Uyun sebagai perwakilan dari SPK, diskusi ini membahas mengenai kebebasan akademik pekerja kampus di Indonesia yang masih sangat rentan. Diskusi ini menyoroti proses etik di kampus yang kerap tidak jelas dan mengandung konflik kepentingan.
Kisah Noer Kasanah menjadi pemantik dalam mengungkap kondisi pelik kebebasan akademik di Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejak Maret 2023 lalu, Noer Kasanah menghadapi hambatan serius dalam proses kenaikan pangkat guru besar. Ketiadaan transparansi dari pihak departemen terkait membuat Noer mau tak mau menempuh jalur hukum dengan melapor ke Komisi Informasi Pusat, Ombudsman RI, dan Komnas HAM. Noer menguak fakta adanya tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak departemen terhadap usulan kenaikan pangkatnya. “Jadi saya melaporkan 4 laporan, 3 [laporan-red] keluar, maladministrasi,” ujarnya.
Namun, tindakannya dalam menguak praktik maladministrasi tersebut justru menjerumuskan Noer ke dalam hukuman etik yang menghentikan karir dan kegiatan akademiknya. Menurutnya, tindakan ini bukan lagi sekedar urusan naik pangkat, tetapi sudah masuk kategori kejahatan kemanusiaan. “Saya dimasukkan ke sidang etik dan saya sudah dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya,” tegas Noer.
Noer merasa bahwa sidang etik yang diterimanya ini hanyalah alat untuk membungkamnya tanpa bukti yang nyata. Setiap kali diminta kejelasan tuduhan yang dilayangkan, pihak departemen selalu mengatakan bahwa itu semua rahasia. “Selama pemeriksaan, tidak ada satupun kata ataupun pemeriksaan bahwa saya melanggar etik terhadap tendik,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Dhia selaku ketua SPK menyatakan bahwa kejadian yang menimpa Noer merupakan gambaran masalah sistemik yang meluas, kala kebebasan akademik dibungkam dan diskriminasi merajalela. “Problem tentang kebebasan akademik yang secara jelas sebenarnya keluar dari prinsipal,” kritiknya. Dukungan dari lembaga eksternal seperti Komisi Informasi Publik, Ombudsman, dan Komnas HAM turut menguatkan klaim tersebut, yakni mendesak transparansi dan reformasi tata kelola.
Lebih lanjut, Dhia menyayangkan sikap pihak rektor yang membiarkan hal ini terjadi alih-alih mengambil tindakan untuk turun tangan dalam menangani kasus maladministrasi. Justru tindakan yang diambil pihak rektor, bagi Dhia membuat situasi semakin runyam. Ia menilai sikap yang seperti itu sangat memalukan sebagai sivitas akademika. “Nggak layaklah disebut bahwa situasi seperti ini adalah situasi yang normal dalam perguruan tinggi,” tukasnya.
Selain itu, Dhia juga menyinggung isu regulasi dan perlindungan pekerja di sektor publik yang masih belum memadai, terutama bagi ASN, seperti Noer. Pola serupa juga teridentifikasi di kampus lain, saat sidang etik sering dipakai untuk menekan dan menghancurkan karir akademik yang kritis. “Bagi saya, sidang etik yang tidak [berdasar-red] itu seperti senjata pembunuh karir,” tekan Dhia.
Penulis: Meitri Habsari
Penyunting: Annisa Dwi Nurhidayati