Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur
Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil
Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas
Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...
Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...
Konservasi yang Tak Manusiawi
Anggaran Serampangan
Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Media Alternatif Solusi bagi Masa Depan Jurnalisme Indonesia

Maret 11, 2025

©Arya/Bal

“Cara kita melihat media itu tidak bisa dilepaskan dari rezim pemerintahan yang ada,” ucap Wisnu Prasetya pada diskusi yang diselenggarakan Aksara Institute. Diskusi yang bertajuk “#IndonesiaGelap: Pemberitaan Media dan Masa Depan Jurnalisme Kita”, diselenggarakan pada Sabtu (08-03). Melalui platform daring, diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Wisnu Prasetya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Yovantra Arief selaku Direktur Eksekutif Remotivi. Lewat dua narasumber ini, keberadaan jurnalisme yang juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah dibedah.

Sedari awal, Wisnu langsung menyampaikan bahwa persebaran diskursus Indonesia Gelap memang sangat luas. Namun, yang ingin ia soroti adalah mengenai cara media memberitakan isu ini masih terbatas pada ruang dan framing. “Ada keterbatasan simpati dari media terhadap aksi-aksi Indonesia Gelap,” tutur Wisnu. 

Wisnu menyayangkan keterbatasan simpati dari media karena kemudian media juga tidak memberikan ruang terhadap massa aksi. Ia mencontohkan keterbatasan itu dengan pemberitaan media yang berfokus pada kekerasan yang terjadi ketika aksi. “Ini yang saya lihat dalam konteks Indonesia Gelap yang banyak sekali pemberitaan yang fokus di sana [kekerasan-red],” ucap Wisnu.

Keadaan pemberitaan media ini membuat Wisnu merasa pesimis dan optimis di waktu yang bersamaan jika harus melihat masa depan media di Indonesia. Bagi Wisnu, rasa pesimis itu muncul lantaran banyaknya disrupsi yang dialami oleh media arus utama. “Pesimis dalam artian banyak sekali disrupsi teknologi, disrupsi ekonomi, sosial, bahkan disrupsi politik,” terangnya.

Di sisi lain, Wisnu juga memiliki rasa optimis terhadap masa depan media Indonesia. Harapan ini ia sampaikan sebab menjamurnya media-media alternatif yang dapat menyeimbangi narasi media arus utama yang dipengaruhi kepentingan pemilik media, termasuk sisi ekonomis. “Media alternatif menjadi alternatif bagi kita untuk mengakses berita-berita yang tidak ditampilkan di media arus utama atau ditampilkan di arus utama, tapi dengan cara yang negatif,” ungkap Wisnu.

Kehadiran media baru dalam kurun waktu 5–10 tahun terakhir juga disoroti Wisnu. Kehadiran media baru ini, baginya dapat dijadikan pemahaman kepada masyarakat terhadap kerja jurnalisme yang tidak terpaku pada pemberitaan media arus utama. “Saya optimis akan munculnya media-media baru yang menjadi media alternatif kita,” ucapnya

Sependapat dengannya, Yovantra atau yang akrab disapa Yoyon mengungkapkan persetujuannya terkait keberadaan media alternatif itu sendiri. Ia mengungkapkan bahwa media alternatif memiliki kedekatan dengan komunitasnya. “BaleBengong misalnya, dia punya kedekatan dengan komunitas. Jadi, media itu bagian dari komunitas dan bekerja untuk komunitasnya,” ungkap Yoyon

Yoyon juga memberikan perhatian kepada “homeless media” yang hanya bekerja di media sosial dan berada di tingkat daerah, seperti @infodepok_id dan @info_Cipete. Menurutnya, adanya media yang dikelola dengan sistem ini menjadi bentuk media yang berasal dari bawah, melayani informasi, dan mengutamakan kepentingan warga. “[Jurnalisme-red] nggak selalu berurusan dengan hal-hal yang kayak korupsi atau penindasan dan segala macem, tapi juga problem sehari-hari yang memang mengganggu atau dibutuhkan oleh keluarganya,” ujarnya.

Penulis: Dicky Dharma Putra dan Amelinda Riski
Penyunting: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Ilustrator: I Gede Arya Nata

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...

Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...

Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...

Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!

    September 9, 2025
  • Polisi Tidur

    September 6, 2025
  • Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

    September 5, 2025
  • Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

    September 3, 2025
  • Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi Pemukiman Warga

    September 2, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM