Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Diskusi Perempuan Adat Kritik Jerat Paksaan Industri Ekstraktif
Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya...
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Mengupas Dinamika Kelas dalam Bedah Buku “Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa”

Februari 26, 2024

©Natasya/Bal

Jumat (23-2), Warung Sastra menggelar bedah buku dalam kegiatan Malam Buku Edisi 37. Buku yang didiskusikan dalam acara tersebut berjudul “Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa.” Kegiatan yang diselenggarakan di Karangwaru malam itu menghadirkan tiga pembicara, yaitu Wida Dhelweis Yistiarani, penulis buku; Pratama Wasisto, perwakilan Serikat Mahasiswa Indonesia; dan Muchtar Habibi, dosen FISIPOL UGM.

Wida mengawali diskusi dengan mengutarakan bahwa problematika di Desa Geger, Kulon Progo ini diteliti untuk mengisi kekosongan literatur tentang dampak pembangunan infrastruktur. Menurutnya, selama ini banyak penelitian terkait yang hanya mengulik sisi baik dan buruknya saja. “Saya melihat masih belum ada yang mengulas bagaimana dampaknya jika dikontekstualisasikan dengan perubahan agraria, terutama dinamika kelas di pedesaan saat ini,” jelas Wida. 

Dalam melihat permasalahan desa, Wida menggunakan sudut pandang kelas milik Marx untuk menunjukkan relasi eksploitasi yang terjadi ketika mempekerjakan orang maupun memanfaatkan lingkungan. Buku ini juga menghadirkan konsep komodifikasi subsistensi. Konsep tersebut menjelaskan kondisi seseorang ketika harus terlibat dalam relasi pasar untuk memperoleh uang dalam usaha mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Situasi ini kemudian menyebabkan diferensiasi di pedesaan yang memecah masyarakat menjadi banyak kategori, misalnya petani kapitalis, tuan tanah, dan petani proletar atau buruh tani,” papar Wida. 

Lebih lanjut, melalui bukunya Wida mengkritik pandangan bahwa desa masih rukun dan penuh keharmonisan. Ia menyoroti permasalahan agenda romantisasi desa yang marak digalakkan. “Misalnya, gotong royong sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya seperti membangun jalan atau memperbaiki lampu yang sebenarnya bisa dipenuhi oleh pemerintah,” ujar Wida.

Muchtar turut mengamini kritikan romantisasi desa yang disebutkan oleh Wida. Menurutnya, hal tersebut seperti membayangkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. “Seolah sebelum ekspansi kapital itu semua baik-baik saja, padahal di buku ini ditunjukkan bahwa relasi eksploitasi itu lebih dahulu ada,” tuturnya. Muchtar mengacu pada era pemerintahan Soeharto yang mempropagandakan potret desa secara homogen melalui serial televisi seperti Klompencapir. Elemen guyub rukun dan gotong royong dalam film tersebut lantas diterima begitu saja. 

Melanjutkan perihal kelas, Muchtar juga menjelaskan mengenai jargon yang selama ini kerap didengar oleh khalayak umum. Ia menganggap bahwa jargon seperti “hidup petani” dan “buruh tani bersatu tak bisa dikalahkan” kurang tepat. Ia juga mempertanyakan petani mana yang mau “dihidupkan”. “Itu adalah adagium [pepatah-red] yang sering kita dengar, tapi sebenernya problematik,” ujar Muchtar.

Di sisi lain, Pratama menyorot keterlibatan mahasiswa dalam mengusung gerakan solidaritas.  Menurutnya, para mahasiswa hanya berusaha menuntaskan tanggung jawab sosial melalui perspektif populis, tetapi tidak membawa solusi berkelanjutan. “Gerakan sampai hari ini selalu menjadi pemadam kebakaran, datang hanya ketika ada konflik baru,” ungkapnya. Pratama menekankan agar analisis kelas ini tidak hanya menjadi bahan bacaan saja. Mahasiswa perlu pemahaman menyeluruh untuk memilih siapa yang akan diadvokasi dan menentukan program yang tepat.

Sebelum mengakhiri dialog, Wida menyatakan harapannya agar masyarakat lebih sensitif terhadap isu diferensiasi kelas. Selain itu, diperlukan kepekaan bahwa kelas pekerja, termasuk  petani proletar dan buruh tani, belum tentu sadar akan posisi mereka. “Kita bisa datang ke sana menggagas revolusi, padahal mereka yang kita anggap tertindas itu terlibat dalam relasi eksploitasi,” pungkas Wida.

Penulis: M. Nabeel Fayyaz dan Laura Anisa Lindra Fairuzzi
Penyunting: Rais Aulia
Fotografer: Natasya Mutia Dewi

5
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Diskusi Perempuan Adat Kritik Jerat Paksaan Industri Ekstraktif

Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya...

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Diskusi Perempuan Adat Kritik Jerat Paksaan Industri Ekstraktif

    Desember 10, 2025
  • Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya Heri Santoso Tuai Kritik Mahasiswa

    Desember 5, 2025
  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM