
©Noor/Bal
Sabtu (12-03), Amnesty International Indonesia Chapter UIN Jakarta menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “International Women’s Day: Ketimpangan dan Diskriminasi Gender dalam Dunia Kerja”. Diskusi yang digelar dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia ini menghadirkan empat pembicara, yakni Iin Kandedes, Koordinator Gender Pusat Studi Gender dan Anak; Dian Septi Trisnanti, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia; Rima M. Bilaut, anggota Solidaritas Perempuan; dan Liya Yuliana, anggota Divisi Perubahan Hukum LBH Apik Jakarta. Adapun, materi yang dibawakan berkaitan dengan ketimpangan dan diskriminasi gender yang dialami oleh pekerja perempuan.
Pada awal diskusi, Iin mengungkapkan bahwa pekerja perempuan memiliki banyak masalah dalam dunia kerja. Iin memaparkan hasil survei Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa persentase angkatan kerja perempuan berada pada angka 51,89%, sementara laki-laki pada angka 83,13%. “Ini artinya, partisipasi tenaga kerja perempuan masih berada 30% di belakang laki-laki,” ungkap Iin.
Menegaskan pernyataan Iin, Dian memaparkan pekerja perempuan kerap kali mendapatkan pelanggaran cuti, seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, serta cuti keguguran. Padahal, aturan cuti ini sudah diatur pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Dian, pekerja perempuan yang ingin mengajukan cuti kerap kali dipersulit dengan keharusan untuk menyertakan surat keterangan dokter sebagai bukti. “Padahal, itu merupakan siklus reproduksi, yang berhak menyatakan sakit adalah perempuan itu sendiri,” tegasnya.
Menurut Dian, permasalahan pekerja perempuan juga hadir dalam status kerja yang berupa kontrak dan alih daya. Ia menambahkan, kondisi ini diperparah dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya masa kerja minimum untuk mendapat status tetap adalah tiga tahun. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Dian, kebijakan itu kini berganti menjadi lima tahun.
Selain itu, Dian menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja juga membuat status kontrak dapat berlaku pada semua pekerja. Padahal sebelumnya, status kontrak hanya diperbolehkan di bagian inti produksi. “Status kontrak membuat posisi pekerja perempuan makin rentan untuk tidak diberikan haknya,” ungkap Dian.
Menyambung pemaparan Dian, Liya mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan pada dasarnya sudah memiliki payung hukum tersendiri. Payung hukum ini mencakup UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 8 Tahun 1981, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2003. “Komitmen negara untuk keadilan pekerja perempuan sudah ada, tetapi implementasinya masih sangat kurang,” ungkapnya.
Selain dari masalah regulasi, perempuan juga mendapat perilaku diskriminatif di lingkungan kerja. “Kerja domestik yang dilakukan perempuan seperti memasak, mengepel, mencuci baju, tidak pernah diakui sebagai pekerjaan sehingga dianggap tidak bernilai,” ujar Dian. Menurutnya, permasalahan Ini berimbas pada tidak adanya jaminan sosial atau perlindungan sosial bagi pekerja perempuan di ranah domestik.
Menguatkan Dian, Rima mengungkapkan bahwa banyak pekerja perempuan di sektor informal, seperti petani dan nelayan, yang tidak diakui profesinya oleh negara. Pekerjaan mereka sebagai nelayan tidak tertulis di dalam KTP sehingga hal itu berimbas terhadap hak-hak mereka sebagai perempuan nelayan. “Padahal mereka melakukan pengelolaan terhadap hasil-hasil laut dan bekerja seperti nelayan laki-laki untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi keluarga,” tegasnya.
Mengakhiri diskusi, Liya menawarkan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengurangi masalah-masalah ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Solusi tersebut adalah pembaruan kebijakan di tempat kerja yang mendorong perjanjian kerja dan pemberian training untuk mengadopsi perspektif gender. “Perusahaan juga harus menyampaikan komitmen untuk menghapus kekerasan dan menjamin keamanan pelapor kekerasan,” pungkas Liya.
Penulis: Catharina Maida dan Keisha Devana Rahadini
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Noor Risa Isnanto