Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILASREDAKSI

Himpitan Beban dan Bias Gender bagi Perempuan Pekerja

Agustus 27, 2021

© Istimewa

Selasa (24-08), International Labor Organization (ILO) bekerja sama dengan Jurnal Perempuan mengadakan diskusi daring sekaligus peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 108 bertajuk “Perempuan Pekerja di Tengah Krisis dan Perubahan Teknologi”. Diskusi ini diselenggarakan melalui Zoom dan menghadirkan Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia; Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment; dan Lusiani Julia, Staf Program untuk Kesetaraan Gender ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste.

Elly mengawali diskusi dengan mengeluhkan betapa sulitnya mendorong partisipasi perempuan dalam kepemimpinan serikat pekerja. Dalam pertemuan-pertemuan serikat pekerja pun laki-laki masih mendominasi. Elly khawatir diamnya perempuan ini dianggap seakan tidak ada masalah berarti. “Padahal kehadiran perempuan adalah upaya agar keresahan mereka dapat disampaikan dan diperjuangkan,” jelasnya.

Selain itu, sekalipun laki-laki dalam serikat pekerja menghormati perempuan, menurut Elly, mereka tetap tidak dekat dengan isu-isu perempuan. Sebab, laki-laki tidak merasakan hal yang perempuan alami, sehingga tidak terpikirkan bagi mereka untuk memperjuangkannya. Contoh permasalahan yang Elly maksud yaitu maternitas, menyusui, hingga menstruasi. 

Maya melanjutkan diskusi dengan membahas beban bertingkat perempuan di masa pandemi. Perempuan mesti bekerja, mengurus rumah tangga, sampai menjadi guru untuk anak-anaknya. Ditambah lagi, Maya menyebutkan bahwa perempuan juga dituntut untuk melek teknologi karena beban-bebannya tersebut. Padahal, digital fluency Indonesia menempati nomor dua dari bawah dibanding negara-negara lain. 

Maya menjelaskan, karena adanya beban bertingkat bagi perempuan, bekerja dari rumah menjadi alternatif yang efektif. Akan tetapi, hal itu juga membuat perempuan kelelahan karena kaburnya batasan antara pekerjaan dan kehidupan selain kerja. Menurutnya, hal tersebut patut menjadi pertimbangan bagi perusahaan. Ia mencontohkan, di tempatnya bekerja, hal-hal kecil mengenai kesetaraan gender sangat diperhatikan, seperti: 1) Rapat tidak boleh dimulai sebelum pukul 08.30 karena perempuan sedang menyiapkan sarapan; 2) Selalu ada jeda minimal sepuluh menit jika ada rapat berkelanjutan; 3) Menyapa anak-anak yang muncul di layar para pekerja; 4) Menanyakan keadaan dan perkembangan setiap pekerja. “Kepekaan tersebut biasanya dimiliki oleh pemimpin perempuan,” ujarnya.

Selain itu, perempuan juga memikul beban lain. Asfinawati memaparkan bahwa terdapat bias gender dalam regulasi ketenagakerjaan. Sebagai contoh, pekerja perempuan didahulukan untuk di-PHK karena mereka dianggap tidak akan menolak dan bukan penopang utama keluarga. Menurut Asfinawati, tindakan tersebut berakar dari UU Perkawinan yang mengatakan bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga.

Kondisi yang ada diperburuk oleh kehadiran UU Cipta Kerja. Salah satunya yaitu pengaturan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menurut Asfinawati memojokkan perempuan untuk tidak hamil. Hal itu dikarenakan PKWT yang awalnya maksimal hanya lima tahun, sekarang dapat diperpanjang sesuai keinginan perusahaan. Padahal, seringkali mereka diupah berdasarkan satuan waktu dan hasil. Pekerja juga dipaksa bekerja dengan jam tertentu dan harus menyelesaikan sejumlah target yang telah ditentukan pula. Asfinawati memandang hal ini sebagai diskriminasi langsung bagi perempuan. “Bayangkan kalau perempuan sedang hamil atau menstruasi, pasti mereka lebih lelah karena ada target produksi tertentu,” sambungnya. Ia melanjutkan, kondisi tersebut membuat perempuan menahan diri untuk masuk ke sektor tertentu karena tahu bahwa mereka sulit untuk bertahan.

Sementara itu, Lusiani menyoroti soal kekerasan seksual di tempat kerja. Baginya, permasalahan ini wajib menjadi bagian dari kebijakan di tempat kerja. Sebab, nihilnya kebijakan membuat perempuan atau korban dapat hilang kepercayaan terhadap sistem.  Ia melanjutkan, masalah tersebut menyebabkan ketiadaan akses untuk mengadvokasi diri. “Kebijakan mengenai hal tersebut telah diatur dalam Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Indonesia telah meratifikasinya. Namun, belum berjalan efektif, sehingga semua pihak harus ikut andil dalam isu ini” tandasnya.

Sebagai pelengkap diskusi, Atnike selaku Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus moderator menjelaskan soal regulasi. Ia membaca belum ada klausa soal keterwakilan perempuan dalam regulasi yang mengatur ketenagakerjaan. “Ini membuktikan bahwa belum ada pengarusutamaan gender dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia,” pungkasnya.

Penulis: Viola Nada Hafilda
Editor: Anisa Azmi Nurrisky A

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM