Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis
Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi
Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda...
Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa...
Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi
2020: Tahun Suram Kebebasan Pers Pasca-Reformasi
Menyoal Pekerjaan Rumah Calon Kapolri Baru
Kerentanan Tatanan Perekonomian Indonesia di Masa Pandemi
Strategi Gerakan Mahasiswa Pasca Gagalnya Audiensi Rektorat
Pemerintah Abaikan Penanganan COVID-19 di Panti Sosial

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
KILAS

Heroisme Multatuli di Antara Mitos dan Realitas

6 March 2020

 

©Syifa/Bal

Raja Belanda, Willem-Alexander, menobatkan tahun 2020 sebagai Tahun Multatuli pada Selasa (17-2). Hal ini dilakukan untuk memperingati ulang tahun ke-200 penulis Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. “Berbeda dengan Belanda, peringatan 200 tahun Multatuli justru tidak terlalu menggema di Indonesia,” ungkap sejarawan F.X. Domini B.B. Hera dalam acara bedah buku Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli. Acara tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Gedung Muhammadiyah, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, pada Senin (2-3). Pembicara lain yang turut hadir antara lain JJ Rizal, Direktur Komunitas Bambu, dan Ghifari Yuristiadhi, dosen Pariwisata Sekolah Vokasi UGM.

Buku Mitos dari Lebak karangan Rob Nieuwenhuys memuat telaah kritis atas romantisme sejarah yang selama ini dibentuk atas sosok Multatuli. “Ini menarik karena sebenarnya Nieuwenhuys merupakan seorang Multatulian, orang yang mengidolakan Multatuli,” tutur Domini. Ketertarikan yang besar terhadap sosok Multatuli pada akhirnya mendorong Nieuwenhuys untuk mengungkap berbagai mitos yang selama ini menyelimuti sosok Multatuli beserta karyanya, Max Havelaar.

Berdasarkan buku Mitos dari Lebak, Rizal menyimpulkan bahwa telah terjadi politik memori atas sosok Multatuli. Menurutnya, politik memori ini yang melandasi tindakan Belanda setiap kali berusaha menarasikan sejarah Multatuli. “Belanda berusaha membuat hubungan baik dengan Indonesia karena punya kepentingan politik tertentu,” jelas Rizal. Salah satu usahanya yaitu membiayai penerjemahan Max Havelaar ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin pada 1972 dan memproduksi film dari buku tersebut pada 1976.

Selain untuk kepentingan politik, Rizal merasa motif lain Belanda mengangkat narasi tentang Multatuli adalah untuk menunjukkan superioritas kulit putih. Menurutnya, Belanda ingin menarasikan bahwa sistem kulit putih yang mereka ciptakan hanya bisa dikritik pula oleh orang kulit putih, yaitu Multatuli. “Dengan begitu, rasa malu Belanda akan berkurang karena yang mengkritik mereka bukan pribumi,” ujarnya.

Menurut Rizal, politik memori ini justru mulai dijalankan oleh para tokoh pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Saat itu, Max Havelaar digunakan untuk memberi gambaran yang sesungguhnya atas praktik kolonialisme. “Nasionalisme selaras dengan humanisme yang diusung Multatuli, karena yang ditentang sama-sama kolonialisme,” jelasnya. Rizal menyebut bahwa Multatuli menempati posisi yang istimewa di kalangan para tokoh pergerakan nasional, sebab karyanya telah membangkitkan semangat mereka untuk melawan kolonialisme.

Dalam sejarah Indonesia modern, terdapat narasi bahwa era cultuurstelsel berakhir berkat Max Havelaar. Rizal menganggap hal ini tidak tepat karena menurutnya kebijakan tersebut dihapuskan sebagai akibat pemberontakan petani yang begitu masif. Menurut Rizal, hal tersebut membuktikan bahwa politik memori telah menyebabkan banyak orang kecil hilang dari sejarah. “Sampai hari ini, petani dianggap tidak bisa membuat perubahan besar dalam sejarah, karena yang bisa mengubah jalannya sejarah adalah elite,” tambahnya.

Selain itu, Multatuli dianggap ambigu oleh beberapa sejarawan. Ghifari merasa bahwa sosok Multatuli tidak sehebat dengan yang digambarkan dalam buku sejarah. Sosoknya digambarkan sebagai seorang Belanda yang pro terhadap masyarakat bumiputra dan juga penulis buku yang mengakhiri penderitaan mereka. Padahal menurutnya, ada maksud lain dalam penulisan buku tersebut, yaitu keinginannya untuk mendapat perhatian dari masyarakat bumiputra, sehingga ia bisa mendapat posisi yang lebih tinggi. “Korupsi merupakan hal yang paling ia kritik pun nyatanya turut ia lakukan,” jelas Ghifari. Korupsi yang Ghifari maksud yakni ketika Multatuli berada di Natar.

Mendengar hal tersebut, Rahmanto, guru sejarah, menyatakan kebingungannya dalam menghadirkan fakta sejarah kepada muridnya. Pasalnya, seorang guru hanya bisa menyampaikan materi berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah. Sedangkan menurut Rizal, penggunaan sumber primer mengenai sejarah Indonesia dan Belanda juga diperlukan dalam pembelajaran sejarah. “Sehingga diharapkan, pelajar dapat memandang suatu peristiwa sejarah dengan perspektif yang berbeda,” tutup Ghifari.

 

Penulis: Han Revanda Putra, Syifa Hazimah H.A.
Penyunting: Hanifatun Nida

Kolonialismemitos dari lebakMultatuli
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis

Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi

Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda...

Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa...

Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi

2020: Tahun Suram Kebebasan Pers Pasca-Reformasi

Berikan Komentar Batal Membalas

Pos Terbaru

  • Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis

    19 January 2021
  • Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi

    18 January 2021
  • Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda Terdepan

    18 January 2021
  • Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa Pandemi

    17 January 2021
  • Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi

    16 January 2021

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM