
©istimewa
Isu yang berkembang dalam masyarakat dimanfaatkan oleh tim sukses kampanye pada ajang pemilu. Melalui Our Brand is Crisis, Green memperlihatkan pemanfaatan populisme dalam kampanye negatif sebagai strategi memenangkan pemilu.
Judul Film : Our Brand is Crisis
Tahun : 2015
Genre : Drama – Komedi
Durasi : 107 menit
Sutradara : David Gordon Green
Produser : George Clooney dan Grant Heslov
Pemain : Sandra Bullock (Jane), Billy Bob Thornton (Pat Candy), Anthony Mackie (Ben), Joaquim de Almeida (Castillo)
Masyarakat selalu antusias pada masa kampanye pemilihan umum (pemilu) untuk mendukung calon pemimpinnya. Tingginya antusias masyarakat dalam mendukung calon pemimpinnya tentu saja tidak lepas dari strategi yang dijalankan tim sukses kampanye. Berbagai macam strategi akan dilakukan oleh tim sukses untuk memenangkan calonnya di ajang pemilu.
Strategi untuk memenangkan pemilu inilah yang coba diangkat oleh sutradara David Gordon Green dalam filmnya mengenai suasana kampanye pemilihan presiden di Bolivia. Film ini menceritakan tentang Jane Bodine, seorang ahli strategi kampanye yang menjadi tim sukses Pedro Castillo, calon presiden Bolivia. Jane bertugas untuk meningkatkan perolehan suara dan menggeser posisi calon presiden lain yang lebih unggul dari Castillo pada pemilu di Bolivia.
Dalam hal ini, Green memperlihatkan strategi tim sukses Castillo dalam membentuk citranya sebagai calon presiden Bolivia di hadapan masyarakat. Strategi ini dimulai ketika Jane memanfaatkan kekurangan Castillo yang berkepribadian keras dan arogan menjadi suatu kelebihannya. Jane menganggap bahwa Bolivia membutuhkan pemimpin yang berkepribadian keras seperti Castillo untuk mengatasi krisis sosial dan ekonomi yang berkepanjangan. Dalam kampanyenya, Castillo berjanji akan melindungi masyarakat dari ancaman luar negeri seperti Internasional Monetary Fund (IMF) yang kehadirannya hanya menambah keterpurukan ekonomi di Bolivia.
Janji-janji yang disampaikan Castillo mampu membuat citranya menjadi lebih baik dan mendapat lebih banyak perolehan suara. Akan tetapi, Castillo belum mampu mengungguli Victor Rivera, lawan politiknya yang menempati posisi teratas dalam pemungutan suara. Klimaks dalam film ini pun muncul ketika Jane ingin memenangkan Castillo dengan menggunakan kampanye negatif. Awalnya Castillo menolak kampanye negatif yang diusulkan Jane karena dianggap terlalu beresiko dan tidak etis. Namun, Castillo akhirnya setuju melakukan kampanye negatif karena hubungannya dengan seorang wanita mulai diketahui oleh Rivera. Jika kasus itu disebarluaskan, maka citranya sebagai calon presiden akan menjadi buruk.
Setelah Castillo setuju untuk melakukan kampanye negatif, langkah yang selanjutnya dilakukan Jane beserta timnya adalah mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan Rivera. Data itu meliputi kutipan yang pernah dikatakan Rivera dalam pidatonya dan rekam jejak Rivera. Melalui kampanye negatif tersebut, Rivera diketahui telah menyelewengkan uang negara dan informasi tersebut disebarluaskan melalui iklan di televisi. Upaya Jane dalam melakukan kampanye negatif tidak hanya berhenti disini saja, ia menyejajarkan foto seorang petinggi Nazi dengan Rivera yang menggunakan pakaian tentara. Sebenarnya kedua foto tersebut tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Akan tetapi, masyarakat bisa saja menganggap bahwa seorang petinggi Nazi memiliki kaitan dengan Rivera.

©istimewa
Melalui film Our Brand is Crisis ini, maka dapat dipahami bahwa kampanye negatif adalah strategi yang dapat digunakan untuk menyukseskan pemilu. Kampanye negatif merupakan strategi menyerang lawan politik dari temuan fakta mengenai sisi negatifnya.[1] Masyarakat juga lebih mudah menerima informasi dari kampanye negatif daripada visi misi yang disampaikan calon pemimpin untuk membangun citra baiknya dalam kampanye positif. Hal ini dapat terjadi karena mudahnya penerimaan informasi dari sisi negatif oleh masyarakat.[2] Akan tetapi, penerimaan masyarakat terhadap kampanye negatif belum tentu mempengaruhi hasil akhir pemungutan suara. Ketidakpastian yang didapatkan dari hasil kampanye negatif tidak menjadikan konsultan kampanye enggan menggunakan kampanye negatif. Para konsultan kampanye tetap optimis jika persepsi masyarakat terhadap calon yang didukungnya sedikit-banyak dapat dipengaruhi dari kampanye negatif.
Konsultan kampanye harus memperhatikan isu yang berkembang di masyarakat agar strategi yang disusunnya dapat berhasil. Salah satu isu yang sedang berkembang dan ramai dibicarakan oleh masyarakat adalah populisme. Secara umum, populisme dapat diartikan sebagai pendekatan politik yang mengutamakan kepentingan rakyat dan anti terhadap kalangan elit.[3] Inti dari adanya populisme adalah mengubah tatanan sosial dengan memobilisasi masyarakat untuk menentang kalangan elit.[4] Populisme juga dapat didefinisikan sebagai gaya komunikasi yang digunakan untuk menarik perhatian dengan membicarakan krisis yang berkembang dalam masyarakat. Pembicaraan yang dilakukan menyinggung tentang wacana anti elit dan seringkali menggunakan terminologi “bangsa,” “rakyat,” atau “negara.”[5] Wacana tersebut digunakan tim sukses kampanye yang menggunakan pendekatan populisme untuk mendapatkan banyak perolehan suara dalam pemilu. Dengan demikian, dibutuhkan strategi untruk mendapatkan banyak perolehan suara, salah satunya adalah kampanye negatif yang menyerang lawan berdasarkan temuan fakta yang ada.
Kaitan antara populisme dengan kampanye negatif dapat dilihat pada munculnya unsur populisme dalam pemilihan kepada daerah (pilkada) DKI Jakarta 2017. Salah satu unsur populisme yang muncul dalam pilkada DKI adalah dianggapnya kalangan minoritas sebagai suatu ancaman.[6] Unsur tersebut memiliki kesamaan dengan populisme yang muncul di Eropa Barat. Perbedaan antara populisme di Indonesia dengan Eropa Barat terletak pada wacana yang dibawakan. Indonesia membawakan populisme dengan wacana agama, etnis, dan ekonomi, sedangkan Eropa Barat menggunakan wacana ekonomi dan homogenitas masyarakat.[7]
Populisme dengan wacana agama, etnis, dan ekonomi inilah yang dimanfaatkan oleh tim sukses Anies Baswedan, calon gubernur DKI, pada kampanye pilkada DKI. Kampanye tersebut menyudutkan Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih sering dikenal dengan panggilan Ahok, calon gubernur DKI yang merupakan keturunan etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Wacana dalam kampanye yang menyudutkan Ahok adalah mengatasi ketimpangan ekonomi sebagai akibat dari kekayaan etnis Tionghoa yang biasanya lebih tinggi daripada masyarakat Jakarta pada umumnya. Wacana tersebut diperkuat dengan disebutnya Ahok sebagai “tukang gusur” karena sering melakukan relokasi. Disamping itu, tim sukses Ahok juga menyerang balik Anies Baswedan dengan menyinggung rekam jejaknya yang bermasalah selama menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[8]
Kampanye negatif yang dilakukan tim sukses Anies Baswedan terhadap Ahok berhasil mempengaruhi opini publik bahwa Ahok tidak layak menjadi gubernur DKI.[9] Padahal rekam jejak Ahok selama menjabat sebagai gubernur DKI dapat dikatakan baik karena mampu memperluas akses warga terhadap layanan sosial, serta memperbaiki fasilitas publik.[10] Penggunaan kampanye negatif tersebut semakin membuat masyarakat tidak senang terhadap kalangan Tionghoa. Tim sukses dari Ahok menuding bahwa Anies memanfaatkan sentimen masyarakat terhadap etnis Tionghoa dengan tidak menghentikan kampanye yang berbau SARA tersebut.[11]

©istimewa
Film Our Brand is Crisis berhasil menunjukkan realita penggunaan kampanye negatif dalam pemilu, seperti yang terjadi pada pilkada DKI. Green menghadirkan Jane yang memanfaatkan populisme dengan membawakan wacana krisis sosial dan ekonomi dalam kampanye negatifnya. Jane dan tim sukses dalam pilkada DKI memiliki kesamaan dalam memanfaatkan populisme dengan wacana krisis sosial. Namun demikian, dalam kampanyenya Jane memanfaatkan keterpurukan ekonomi yang diakibatkan oleh campur tangan pihak asing sebagai inti dari wacananya. Hal ini berbeda dengan pilkada DKI yang memanfaatkan sentimen terhadap etnis Tionghoa karena adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Jakarta pada umumnya. Wacana yang dibawakan Jane didukung oleh fakta temuan mengenai penyelewengan dana yang dilakukan oleh Rivera. Keserasian wacana yang dibawakan dengan fakta yang diberikan pada kampanye negatif dapat mempengaruhi keberhasilan calon pemimpin dalam pemilu.
Secara keseluruhan, film Our Brand Crisis memberikan wawasan baru kepada penonton mengenai strategi kampanye yang dilakukan oleh tim sukses dalam pemilu. Film ini juga memperlihatkan cara tim sukses memanfaatkan kondisi masyarakat untuk mempengaruhi opini publik dan memenangkan pemilu. Akan tetapi, cara penyampaian yang terkesan cukup berat dapat menyulitkan penonton untuk memahami makna tersirat yang ada dalam film. Dengan demikian, penonton diharapkan lebih berpikir kritis terhadap wacana yang dibawakan oleh tim sukses dalam kampanye.
Sumber:
[1] L. Puspaningtyas dan A.N. Amninah, ‘Kampanye Negatif Baik untuk Masyarakat,’ 3 April 2017, Republika (daring)<http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/03/ontulg384-kampanye-negatif-baik-untuk-masyarakat>, diakses pada 26 November 2017
[2] ‘Do American Political Ads Work?’, Scientific American (daring), <https://www.scientificamerican.com/article/do-negative-political-ads-work/>, diakses pada 4 Desember 2017
[3] K. Erdianto, ‘Populisme, Kesenjangan, dan Ancaman terhadap Demokrasi…’ 16 Januari 2017, Kompas (daring)<http://nasional.kompas.com/read/2017/01/16/07444731/populisme.kesenjangan.dan.ancaman.terhadap.demokrasi>, diakses pada 26 November 2017.
[4] B. Orbach, ‘Antitrust Populism,’ NYU Journal of Law & Bussines, Vol. 15:1, p. 106
[5] ‘Interview #15 – Going Negative: Causes and Consequences of Attack Politics,’ 17 Mei 2017, Political Observer On Populism (daring), <https://populismobserver.com/2017/05/17/interview-15-going-negative-causes-and-consequences-of-attack-politics/>, diakses pada 1 Desember 2017.
[6] A.A. Perdana, ‘Menguatnya Populisme: Trump, Brexit, Hingga FPI,’ 23 Januari 2017, Indoprogress (daring), <https://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/>, diakses pada 28 November 2017.
[7] L. Herman, ‘Is Populism in Western Europe and Central Eastern Europe The Same Thing?’ 9 Januari 2012, Nouvelle-Europe (daring) <http://www.nouvelle-europe.eu/node/1394>, diakses pada 30 November 2017.
[8] L. Rahardian, ‘Tabiat Kampanye Negatif di Pilkada DKI,’ 4 April 2017, CNN Indonesia (daring)
<https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170404070537-516-204752/tabiat-kampanye-negatif-di-pilkada-dki/ >, diakses pada 26 November 2017.
[9] ‘Cacat Moral, Ahok Tak Pantas Jadi Gubernur,’ 12 Oktober 2016, Jawapos (daring), <https://www.jawapos.com/read/2016/10/12/56813/cacat-moral-ahok-tak-pantas-jadi-gubernur>, diakses pada 1 Desember 2017.
[10]E.Y. Kristanti. ‘Ahok Masuk Daftar Global reThinkers 2017,’ 5 Desember 2017, Liputan 6 (daring), <http://global.liputan6.com/read/3186025/ahok-masuk-daftar-global-rethinkers-2017>, diakses pada 6 Desember 2017
[11] N.I, Fatmawati, ‘Bawaslu DKI: Kampanye Negatif Mengarah ke Fitnah, Harus Dihindari,’ 1 April 2017, Detiknews (daring), <https://news.detik.com/berita/d-3462473/bawaslu-dki-kampanye-negatif-mengarah-ke-fitnah-harus-dihindari>, diakses pada 26 November 2017.
Penulis: Tita Meydhalifah (magang)
Editor: Nadya Imerelda Tambunan