
©Ananta/Bal
Dalam biografi ini, tertuang kisah perlawanan mahasiswa terhadap Orde Baru yang dituturkan melalui sudut pandang mahasiswa FK UI, yakni Judilherry Justam.
Judul Buku Anak Tentara Melawan Orba
Penulis Max Diaz Riberu, Syafinuddin Al-Mandari, dan Nunik Iswardhani
Tebal xx + 580 halaman
Tahun Terbit 2015
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
Kenangan orde baru tak pernah berhenti meraung dalam memori para aktivis terdahulu. Alih-alih dipendam dalam ingatan, Judilherry Justam menuturkan bagaimana peliknya kehidupan perpolitikan selama rezim Soeharto. Sebagai seorang aktivis mahasiswa, peran Judilherry tidak jauh-jauh dari mengkritik kinerja pemerintah. Menurut Ipong Jazimah dalam studinya, dipaparkan bahwa penyimpangan rezim Seoharto adalah mengenai masalah pembangunan nasional yang hanya terkonsentrasi pada segelintir orang saja. Selain itu dipaparkan pula bahwa Indonesia masih bergantung terhadap modal asing. Terjadi pula realita bahwa TNI telah dikendalikan oleh Soeharto, bertentangan dengan fungsinya sebagai badan pertahanan negara yang netral. Kekuasaan dan loyalitas orang-orang Soeharto pun sangat besar kala itu. Buku ini tak ubahnya merupakan kumpulan dari lembar-lembar perjuangan mahasiswa dalam menuntut aspirasi mereka terhadap rezim Orba, salah seorang diantaranya yaitu Judilherry Justam.
Judilherry Justam merupakan seorang anak TNI asal Kayu Tanam. Meskipun begitu, buku ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai peran Judilherry sebagai anak tentara. Judilherry melakukan pergerakan atas inisiatifnya sebagai mahasiswa, bukan memanfaatkan statusnya sebagai anak tentara. Sehingga, judul yang diangkat pun menjadi kurang relevan dengan isi buku. Judilherry menempa pendidikan di sekolah Katolik sejak SR (setara Sekolah Dasar) hingga SMA. Bertempat tinggal di lingkungan tentara yang disiplin juga turut membentuk kepribadian Judilherry dalam peranannya sebagai aktivis.
Buku ini bertutur tentang lika-liku perjalanan hidup Judilherry sebagai mahasiswa pada pemerintahan era Soeharto. Dimulai dari peranannya dalam lingkup internal kampus sebagai Ketua Senat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun 1972. Setelah itu ia mengemban amanah sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI (DMUI) dengan ketua Hariman Siregar. Tak berhenti disitu, Judilherry juga bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tugas utama dari lembaga kemahasiswaan tersebut adalah mengkritisi kinerja rezim Soeharto yang dianggap menyimpang dari keadilan dan UUD 1945. Tak hanya mengkritisi, aksi nyata juga dijalankan. Puncak dari ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru terangkum dalam peristiwa Malari, 15 Januari 1974.
Malapetaka Lima belas Januari oleh Jenderal Panggabean selaku Wakil Panglima ABRI, disebut sebagai pemberontakan terbesar setelah peristiwa G30S/PKI. Berawal dari kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, mahasiswa memulai aksinya dengan membakar boneka-boneka identitas PM Tanaka dan asisten pribadi presiden, Soedjono Humardani. Mengatasi hal tersebut, Soeharto telah menempuh jalan musyawarah dengan 34 delegasi mahasiswa se-Pulau Jawa empat hari sebelum peristiwa mengerikan itu meletus. Namun, aksi demonstrasi mahasiswa pecah pada 15 Januari 1974 dengan dilakukannya long march dari kampus UI menuju Universitas Trisakti. Di sepanjang jalan, banyak massa dari universitas lain yang ikut masuk ke barisan sehingga totalnya ada sekitar 5000 orang. Massa berhenti sejenak di depan kantor Golkar dan di tempat tersebut, lautan mahasiswa bergemuruh meneriakkan yel-yel anti-Golkar. Setelah itu, massa melanjutkan perjalanan ke Universitas Trisakti untuk melaksanakan apel dan mendengarkan orasi dari pimpinan dewan mahasiswa. Klimaks peristiwa terjadi pada sore hari, ketika aksi pembakaran dan perusakan Pasar Senen terjadi. Tidak hanya itu, kendaraan buatan Jepang serta perusahaan-perusahaan Jepang di tanah air dilakukan perusakan oleh massa. Peristiwa ini memakan ratusan korban jiwa dan kerusakan alat transportasi tak dapat dibendung lagi. Meski diceritakan secara menggebu sebagai rangkaian kisah periwstiwa Malari. Dalam buku ini, tidak dipaparkannya secara jelas mengenai keterlibatan Judilherry dalam peristiwa Malari, menjadi pertanyaan akan kehadiran tokoh Judhilherry dalam buku tersebut dan menjadi ruang bagi pembaca untuk mempertanyakan dimana peran aktivisme Judilherry dilakukan ?
Malari merupakan puncak momentum dari aksi mahasiswa yang melibatkan begitu banyak massa menentang pemerintah. Pasca peristiwa, Judilherry bersama Hariman Siregar serta rekan-rekan mahasiswa lainnya ditahan oleh pemerintah. Tidak ada ingar-bingar yang signifikan dalam buku selama penahanan para mahasiswa sehingga fakta yang dipaparkan berjalan datar. Satu bab penuh berjudul “Dalam Tahanan Orde Baru” menceritakan bagaimana keadaan rumah tahanan serta keseharian orang-orang di dalamnya. Namun, memasuki halaman berikutnya, tampil sosok heroik Judilherry Justam yang memaksa sejarah mencatat bahwa dirinya pernah secara resmi mencalonkan diri sebagai presiden pada era rezim otoriter tersebut, sekitar tahun 1978. Bukti tertulis termuat pada halaman muka koran kampus UI, Salemba, sebelum akhirnya dibreidel oleh pemerintah.
Gagal melawan Soeharto, pada tanggal 20 Februari 1980 Judilherry bergabung dalam perumusan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) untuk dikirimkan kepada pemerintah dan DPR RI. Petisi 50 berisi kritik dan perbaikan terhadap pemerintahan Orde Baru dengan penanda tangan petisi sebanyak 50 orang, termasuk Judilherry. Malang tak dapat ditepis, bubuhan tanda tangan Judilherry pada petisi 50 berakibat pada kelanjutan hidupnya. Haknya sebagai PNS ditarik serta izin praktik dokter tidak diberikan. Alasannya klise: karena turut menandatangani petisi 50. Alhasil, selama kurang lebih 29 tahun Judilherry hilir-mudik mengajukan rehabilitasi pengembalian hak kepegawaian dirinya. Dalam kurun waktu seperempat abad itu pula ia menelan kenyataan pahit bahwa bayang-bayang Soeharto senantiasa menghantui siapa saja yang memberontak. Dapat dilihat kuasa Soeharto begitu absolut sampai-sampai selepas kepemimpinanya, ia masih bisa mengendalikan kehidupan orang lain.
Buku garapan Riberu tidak hanya fokus melontarkan fakta-fakta seputar Orde Baru. Terkadang di tengah-tengah peristiwa, terdapat selipan kisah pribadi yang menarik untuk disimak. Misalnya saja cerita tentang Judilherry yang berkawan dan berkirim surat dengan siswi SMA 1 Budi Oetomo. Lain cerita tentang kedekatan dan keusilan antar-tahanan di Rumah Tahanan Militer (RTM) hingga kisah asmara yang penuh ironi dari Dr. Azhar Munandar, salah satu tahanan senior di RTM Budi Oetomo. Dengan menyelipkan kisah-kisah tersebut diatas, dapat memberi kesan bahwa bacaan dalam buku tidak melulu tentang perjalanan sejarah yang berat.
Pada bagian akhir buku, terdapat ulasan para kerabat dekat Judilherry mengenai dirinya. Menariknya dari buku biografi ini yaitu adanya banyak perspektif yang berbeda mengenai diri Judilherry sehingga pembaca lebih mudah mengenal sosok beliau. Selain itu, sejarah Orde Baru dituturkan dari sudut pandang mahasiswa kala itu terhadap rezim Soeharto. Keikutsertaan mahasiswa dalam mengkritik kinerja Orde Baru juga ditulis secara mendalam, sehingga buku ini cocok bagi kaum muda yang haus akan perjalanan sejarah politik di Indonesia, khususnya Orde Baru.
Penulis: Fadhilla Dwi Prameswary Rayes (Magang)
Editor: Pamerdyatmaja
Jazimah, Ipong. (2013). Malari: Studi Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru. Vol.3. Hal 9-33.