Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Refleksi dan Tantangan Aksi Nirkekerasan di Tengah Pandemi
Demonstran, Korban Pembunuhan Sewenang-Wenang
Ketiadaan Skala Prioritas Buntut Kekacauan Hukum Siber Indonesia
Puisi-Puisi Sengat Ibrahim
Kemunduran Peran Ulama dalam Gerakan Sosial
Belenggu Ilmuwan Indonesia di Bawah Kekuasaan
Koperasi Kredit: Solusi Kesejahteraan Masyarakat
Persekongkolan Politik Langgengkan Kasus Plagiarisme
Banjir Kritik Rencana Pembentukan Komponen Cadangan
Tuntutan Mahasiswa di Tengah Ketidakjelasan Renovasi Gelanggang Mahasiswa

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
INSAN WAWASANNALAR

Diana Setiyawati dan Rendahnya Kesadaran Kesehatan Mental Mahasiswa UGM

15 December 2017

Potret Ibu Diana Setyawati ©Gudeg.net

 

Hiding the hurt, hiding the pain

Hiding the tears that fall like rain.

Saying I’m fine, when I’m anything but.

This ache in my soul rips at my gut.

My skin is on fire, I burn from within.

 

Bait di atas adalah potongan puisi yang ditulis oleh Melisa Bernards berjudul Behind The Mask. Puisi ini menceritakan seseorang yang berusaha menutupi penderitaan yang sedang ia rasakan. Isi dari puisi tersebut mencoba untuk menggambarkan keadaan yang dialami oleh pengidap depresi.

Depresi dan stres sering dirasakan oleh setiap orang, tidak terkecuali pada mahasiswa. Menurut Adlaf dan kawan-kawan dalam penelitiannya, sebanyak sepertiga mahasiswa mengalami gejala depresi dan stres (Adlaf dkk, 2011 : 67-72). Namun kebanyakan mahasiswa yang mengalami gejala depresi dan stres tidak segera mencari pertolongan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya stigma-stigma negatif masyarakat terhadap pengidap gangguan mental (Gagnon dkk, 2017 : 654).

Permasalahan kesehatan mental pada mahasiswa yang banyak terjadi menunjukkan bahwa kesadaran mahasiswa terhadap kesehatan mental masih cukup rendah. Terkait permasalahan tersebut, khususnya di UGM, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog di kantor Center for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM, pada Selasa (28-11) lalu. Beliau merupakan seorang dosen, psikolog, sekaligus pakar kesehatan mental. Berikut adalah obrolan kami bersama beliau:

 

Apa itu kesehatan mental?

Menurut World Health Organization (WHO), orang yang dapat dikatakan sehat secara mental adalah orang yang dapat mengenali dan memaksimalkan potensi dirinya; mampu mengatasi stres; produktif; serta dapat bermanfaat bagi masyarakat. Jika terdapat hambatan dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu, berarti (orang tersebut) mungkin memiliki permasalahan dengan kesehatan mentalnya.

 

Menurut Anda, bagaimana kesadaran kesehatan mental yang ada pada mahasiswa?

Begini, misalnya mahasiswa itu tahu ketika mereka mau pilek atau demam, lalu mereka langsung melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut dengan cara istirahat, membatalkan kegiatan, atau minum obat. (Upaya) itu yang namanya literasi kesehatan. Namun, mereka masih kurang sadar akan kesehatan mental dan belum tahu kapan harus mencari pertolongan. Walaupun kita punya layanan konseling dengan psikolog di Gama Medical Center (GMC), tetapi (mereka) yang datang ke sana biasanya sudah benar-benar rumit masalahnya.

 

Gangguan kesehatan mental seperti apa yang banyak diderita mahasiswa?

Sebenarnya di UGM sendiri pun banyak (penderita gangguan mental). Walaupun belum ada riset yang secara terstruktur dilakukan, tapi yang sangat umum pada mahasiswa adalah depresi dan kecemasan. Mereka biasanya akan menghindari topik-topik yang menimbulkan stres dan beralih pada aktivitas lain yang lebih mereka sukai. Saya pernah menangani mahasiswa yang sangat enggan untuk berangkat ke kampus dan (mahasiswa tersebut) perlu ditolong. Bahkan berdasarkan literatur, sekitar 20-25% pasien yang datang ke dokter umum dan mengeluhkan gejala sakit fisik sebenarnya menderita masalah mental.

 

Permasalahan seperti apa yang mahasiswa alami ketika Anda menangani gangguan kesehatan mental mereka?

Kami terkadang mengurusi mahasiswa-mahasiswa yang hampir dikeluarkan (drop out). Kami juga pernah menangani mahasiswa yang mau bunuh diri. Saat itu sudah tengah malam dan kami harus benar-benar menemani dia sampai pagi. Terkadang kami para dosen dan psikolog saling berkoordinasi jika ada mahasiswa yang mengalami masalah.

 

Terkait kesadaran untuk memeriksa kesehatan mental, masih ada stigma negatif dari masyarakat terhadap para pengidap gangguan mental yang menghalangi orang untuk memeriksakan kesehatan mentalnya (Gagnon dkk, 2017 : 654). Bagaimana menurut Anda?

Nah, itu yang masih jadi pekerjaan rumah kita bagaimana memberi edukasi mengenai tanda-tanda gangguan mental dan cara menanganinya, serta mengurangi stigma negatifnya. Mereka tahu jika ada orang terdekatnya yang butuh pertolongan, tetapi tidak paham bagaimana memberi pertolongan yang tepat.

Mahasiswa juga harus dapat menjadi pendukung bagi sekitarnya yang membutuhkan dan harus peka terhadap kondisi orang lain. Seharusnya terdapat kampanye mengenai kesehatan mental, tentang mengenali kecemasan dan depresi serta bagaimana menanganinya, baik bagi penderita maupun orang sekitarnya. Memang ada proses yang harus dilalui untuk memunculkan kesadaran terhadap kesehatan mental, seperti di Australia yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkan kesadaran akan kesehatan mental. Berbeda dengan mereka yang memiliki penyakit fisik, orang yang mengidap penyakit mental sering merasa malu untuk mengakuinya.

 

Apakah interaksi sosial berpengaruh pada depresi?

Pertemanan atau aktivitas sosial memang dapat dikatakan sebagai faktor proteksi. Sementara faktor genetik dan pola interaksi keluarga juga memengaruhi. Saya pernah mendapati beberapa mahasiswa yang berprestasi dan bukan termasuk anak yang menarik diri dari lingkungan sosialnya, namun ternyata memiliki riwayat kecenderungan untuk bunuh diri. Hal tersebut membuktikan bahwa depresi dapat menimpa siapa saja. Terdapat faktor-faktor lain penyebab depresi, seperti kepadatan lingkungan, keadaan sosial-ekonomi, lingkungan pertemanan, atau tuntutan akademis.

 

Berkaitan dengan kesadaran akan kesehatan mental, apakah terdapat hubungan antara budaya dengan kesadaran kesehatan mental di Indonesia?

Iya, karena budaya di suatu tempat menentukan anggapan seseorang apakah sakit jiwa penyebabnya adalah kondisi medis, sosial, atau mistis. Anggapan tersebut memengaruhi bagaimana mereka mencari pertolongan untuk mengobatinya. Dahulu di beberapa daerah, orang yang sakit jiwa adalah hal mistis. Lalu, kita berikan pengertian kepada mereka bahwa sakit jiwa bukanlah hal mistis. Kita juga harus menjadikan mahasiswa sebagai kader-kader kesehatan mental, agar mereka dapat melakukan deteksi dini terhadap teman-temannya.

 

Selain korelasi antara budaya dan kesehatan mental, menurut Anda apakah ada korelasi antara kampus UGM yang terletak di wilayah perkotaan dengan kesehatan mental mahasiswanya?

Tentu ada. Ada banyak faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental seorang mahasiswa. Seperti kemacetan di jalan raya, kondisi sosial-ekonomi, ataupun lingkungan pertemanan.

 

Bagaimana fasilitas layanan kesehatan mental di UGM? Apakah pihak kampus telah memberikan fasilitas tersebut dengan baik?

Di GMC tersedia psikolog (yang melayani konsultasi) setiap sore dan layanan tersebut selalu penuh. Namun biasanya mereka yang datang ke GMC adalah mereka yang memang telah mengalami permasalahan cukup rumit. Seharusnya pihak kampus memberi perhatian dan investasi lebih untuk pelayanan kesehatan mental di kampus. Kami sebagai pusat dari kesehatan mental di kampus merasa belum diberdayakan secara penuh oleh pihak kampus.

 

Selain di wilayah UGM, apakah sudah banyak tersedia tenaga konselor di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) seputar Yogyakarta?

Untuk di wilayah Sleman dan Kota Jogja sudah ada tenaga konselor di semua puskesmas. Lalu di Bantul baru tersedia 4 tenaga konselor untuk melayani 8 puskesmas. Sedangkan (untuk penyediaan tenaga konselor) di Kulon Progo dan Gunungkidul baru sampai tahap pembicaraan.

 

Seberapa penting memelihara kesehatan mental untuk mahasiswa?

Sangat penting, karena kesehatan seseorang berawal dari kesehatan mentalnya. Gangguan kesehatan mental memang tidak mematikan secara langsung, tetapi dapat melumpuhkan kemampuan fisik seseorang dan mengarahkan pada kecenderungan bunuh diri.

 

Menurut Anda, bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan mental? Apakah ada pesan untuk pembaca?

Semua elemen dalam kampus harus digerakkan untuk melakukan itu. Kreativitas mahasiswa sebetulnya dapat diarahkan ke sana, terutama dengan penggunaan teknologi untuk membantu pengembangan kesadaran kesehatan mental, membuat aplikasi mungkin. Media juga berperan, terlebih sekarang banyak yang memberitakan mengenai bunuh diri namun hanya terfokus pada kejadiannya saja. Hal tersebut berbahaya jika sampai remaja menganggap bunuh diri sebagai sebuah solusi.

Sebagai mahasiswa juga harus ikut memberikan pemahaman terkait kesehatan mental, misalkan saat masa orientasi diperkenalkan bagaimana cara menjaga kesehatan mental di kampus terutama bagi mahasiswa baru yang jauh dari orang tua. Jika merasa ada beban yang tidak dapat ditanggung sendiri dan kehilangan minat pada apapun, segeralah cari pertolongan.

 

Sumber :

Gagnon, M. M., Gelinas, B. L., Friesen, L. N. (2017). Mental Health Literacy in Emerging Adults in a University Setting: Distinctions Between Symptom Awareness and Appraisal. Journal of Adolescent Research 2017, Vol. 32(5) 642 –664.

Adlaf, E. M., Gliksman, L., Demers, A., & Newton-Taylor, B.  (2001). The prevalence of elevated psychological distress among Canadian undergraduates: Findings from the 1998 Canadian Campus Survey. Journal of American College Health, 50, 67-72. doi:10.1080/07448480109596009.

 

Penulis : M. Damar Bagaskara, Rayhan Wildan (magang)

Editor : Muhammad Farhan

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Refleksi Korupsi Legislasi di Indonesia Pasca Revisi UU...

Menilik Kritis Gerakan Mahasiswa yang Menuai Kritik

Mengukur Signifikansi UU Cipta Kerja dalam Bidang Perekonomian

Miskonsepsi Masyarakat Mengenai Klitih di Yogyakarta

Suara Pergerakan dalam Kebijakan Krisis Iklim Indonesia

Melawan Stigma ’65 Pasca Reformasi

Berikan Komentar Batal Membalas

Pos Terbaru

  • Refleksi dan Tantangan Aksi Nirkekerasan di Tengah Pandemi

    25 February 2021
  • Demonstran, Korban Pembunuhan Sewenang-Wenang

    24 February 2021
  • Ketiadaan Skala Prioritas Buntut Kekacauan Hukum Siber Indonesia

    23 February 2021
  • Puisi-Puisi Sengat Ibrahim

    19 February 2021
  • Kemunduran Peran Ulama dalam Gerakan Sosial

    18 February 2021

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM