Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Demonstran, Korban Pembunuhan Sewenang-Wenang
Ketiadaan Skala Prioritas Buntut Kekacauan Hukum Siber Indonesia
Puisi-Puisi Sengat Ibrahim
Kemunduran Peran Ulama dalam Gerakan Sosial
Belenggu Ilmuwan Indonesia di Bawah Kekuasaan
Koperasi Kredit: Solusi Kesejahteraan Masyarakat
Persekongkolan Politik Langgengkan Kasus Plagiarisme
Banjir Kritik Rencana Pembentukan Komponen Cadangan
Tuntutan Mahasiswa di Tengah Ketidakjelasan Renovasi Gelanggang Mahasiswa
Krisis Kebebasan Akademik dalam Feodalisme Kampus

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
BUKUREHAT

Revolusi Indonesia dalam Memori Serdadu Belanda

6 November 2017

©Akmal/Bal

Melalui Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950,  Oostindie menghadirkan ingatan kolektif serdadu Belanda mengenai perang Revolusi yang belum terungkap dalam sejarah Indonesia.


Judul Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950

[columns size=”1/2″ last=”false”]

Penulis Gert Oostindie

Tebal xxvi + 372 halaman

[/columns]

[columns size=”1/2″ last=”true”]

Tahun Terbit 2016

Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia

[/columns]


Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merasa geram dengan upaya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Tidak tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak menyebabkan dilancarkannya perang dengan dikirimkannya 220.000 serdadu Belanda ke Indonesia selama periode  1945—1950. Periode yang kemudian dinamai sebagai Revolusi tersebut adalah masa transisi bagi Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Banyaknya serdadu yang diterjunkan pada masa Revolusi tidak menjadikan Belanda keluar sebagai pemenang. Akibatnya, Belanda harus menarik seluruh serdadunya untuk kembali ke tanah air. Berakhirnya perang Revolusi tidak serta-merta menghilangkan ingatan para serdadu Belanda mengenai kejahatan yang pernah mereka lakukan. Ingatan para serdadu Belanda itulah yang menjadi pokok permasalahan dari ditulisnya Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 oleh Gert Oostindie, Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) sekaligus Guru Besar Sejarah di Universitas Leiden. Urgensi buku ini adalah memaparkan fakta mengenai kejahatan perang Revolusi di Indonesia melalui ingatan kolektif serdadu Belanda.

Oostindie mengakui bahwa buku ini tidak dapat mewakili seluruh serdadu Belanda, namun buku ini dapat menjadi acuan informasi alternatif mengenai periode 1945—1950. Sumber yang digunakan Oostindie untuk menampilkan ingatan serdadu Belanda adalah dokumen ego yang meliputi catatan harian, surat pribadi, biografi, dan wawancara. Sumber tersebut terbilang cukup menarik karena menggunakan sudut pandang serdadu Belanda yang berposisi sebagai pelaku perang. Sudut pandang ini juga jarang ditemui dalam sejarah Indonesia yang menurut R. Moh Ali dalam Ilmu Pengantar Sejarah (2005) masih dikendalikan oleh pemerintah dan menekankan pada aspek politik.

Berdasarkan ingatan para serdadu Belanda, mereka setuju ditugaskan di Indonesia karena terbujuk oleh propaganda atau mendapat ancaman dari negara. Minimnya informasi mengenai Indonesia membuat para serdadu tidak mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya. Pemahaman serdadu Belanda yang ditugaskan di Indonesia hanyalah mengamankan Indonesia yang masih termasuk wilayah Belanda dari Jepang dan nasionalis yang berbuat keonaran. Pemahaman tersebut berbeda dari sejarah Indonesia yang menganggap bahwa perang 1945-1950 dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Adanya perbedaan pemahaman tersebut memunculkan sentimen antara serdadu Belanda dengan gerilyawan Indonesia semasa perang.

Berbagai kesulitan dalam perang dan kesewenang-wenangan Belanda terhadap Indonesia membuat pemahaman para serdadu berubah. Hal ini terlihat dari gagalnya kesepakatan politik seperti pelanggaran batas wilayah oleh Indonesia, sehingga serdadu Belanda sering terancam oleh pergerakan gerilyawan. Selain itu, para serdadu menganggap bahwa Belanda tidak seharusnya melakukan perang karena Indonesia berhak mendapatkan kemerdekaannya. Bahkan, beberapa serdadu menganggap bahwa perlakuan Belanda terhadap Indonesia dapat disamakan dengan kejahatan Jerman terhadap Belanda pada Perang Dunia II yang mendeportasi para pemuda ke Kamp Konsentrasi.

Meskipun demikian, pemahaman serdadu Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia kembali berubah karena tak sedikit dari serdadu Belanda yang mati di tangan gerilyawan Indonesia. Akibatnya, serdadu Belanda lain melakukan balas dendam dengan membunuh lebih banyak gerilyawan sekaligus rakyat biasa. Kejahatan perang juga terjadi ketika serdadu Belanda menginterograsi orang Indonesia. Mereka tak segan untuk menyiksa dan membunuh orang Indonesia demi mendapatkan informasi tentang target penangkapan. Informasi yang didapatkan juga belum tentu benar, sehingga serdadu Belanda seringkali tidak tepat sasaran. Namun, kejahatan perang tidak hanya dilakukan oleh serdadu Belanda saja, gerilyawan Indonesia pun turut membunuh para serdadu. Hal ini disebutkan dalam catatan serdadu Belanda yang menjelaskan tentang kesadisan gerilyawan Indonesia seperti memutilasi bagian tubuh dan membuangnya ke jalanan.

Selain menjelaskan berbagai kejahatan-kejahatan dalam perang 1945—1950 di Indonesia, Oostindie juga membahas tentang kehidupan para serdadu Belanda semasa perang. Awalnya para serdadu dapat berkirim surat dengan keluarganya di Belanda untuk mengurangi kebosanannya. Akan tetapi, pemerintah akhirnya melarang mereka untuk berkirim surat karena mahalnya ongkos kirim. Putusnya hubungan komunikasi dan kebosanan dalam perang membuat pemerintah Belanda menyediakan sarana hiburan seperti ritual keagamaan, olahraga, film, dan pesta. Tak sedikit pula serdadu Belanda yang melampiaskan rasa kebosanannya ke tempat-tempat pelacuran, sehingga tak sedikit dari mereka yang meninggal akibat terkena penyakit kelamin.

Kehidupan serdadu Belanda seusai perang pun dijelaskan dalam buku ini. Ada serdadu yang kedatangannya disambut hangat, namun banyak pula yang kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya karena dianggap kalah perang. Kesulitan tersebut disebabkan pula oleh ketidakpahaman masyarakat Belanda terhadap perang Revolusi dan kejahatan perang yang dilakukan oleh para serdadu. Ingatan mengenai kejahatan perang yang masih sangat melekat membuat para serdadu kerap dihantui rasa bersalah. Bahkan, di antara mereka ada yang membutuhkan perawatan psikologis. Selain itu, ada pula yang kembali ke Indonesia untuk meminta maaf kepada keluarga yang dianggap telah disakitinya.

Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca karena memberikan sudut pandang baru mengenai perang Revolusi kepada pembaca Indonesia melalui ingatan para serdadu Belanda. Periode 1945—1950 yang dibahas dalam buku ini pun masih ramai diperdebatkan di Belanda. Fakta terbaru dalam buku ini membuat pemerintah Belanda mempertimbangkan untuk bertanggung jawab atas kejahatan perang yang pernah dilakukan.

Selain menjelaskan fakta terbaru, karya Oostindie juga mendorong Belanda untuk melakukan kerjasama penelitian dengan Universitas Gadjah Mada. Hal tersebut dilakukan oleh Belanda untuk menggali lebih banyak fakta lain mengenai sejarah Indonesia periode 1945—1950. Buku ini mendorong pula penelitian lanjutan yang menjembatani perspektif sejarah Indonesia dengan Belanda. Penelitian tersebut berfokus pada cara memahami perspektif dari Indonesia dan Belanda, sehingga tidak menimbulkan sentimen dan bias dalam memaknai sejarah

Kekurangan dari buku ini adalah tidak menjelaskan pemahaman perspektif antara Indonesia dengan Belanda periode 1945-1950. Sebenarnya penulis dapat menggunakan ingatan kolektif dari veteran Indonesia agar buku ini tidak berat sebelah dengan perspektif Belanda-nya. Salah satu perspektif yang mendominasi dalam peristiwa sejarah berpotensi menjadikan pembaca untuk menghitamputihkan sejarah dengan kecenderungan pada satu perspektif saja. Oleh karena itu, pembaca diharapkan lebih bijak dalam memahami perbedaan perspektif dan realitas yang sesungguhnya terjadi di lapangan berdasarkan sumber yang terpercaya.

Penulis: Tita Meydalifah, Rafa Amatullah Aini (Magang)
Editor: Unies Ananda Raja

BelandabukumagangrevolusisejarahSerdadu
3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tuan Tanah Kawin Muda: Estetika Politis Lekra dan...

Pesing

Kehidupan Sehari-Hari Di Bantaran Kali

Jaringan Kekuasaan dan Transformasi Hutan Siberut

Meramu Kebebasan melalui Biru Laut

Dr. Oen: Menjadi Tionghoa, Menjadi Indonesia

Berikan Komentar Batal Membalas

Pos Terbaru

  • Demonstran, Korban Pembunuhan Sewenang-Wenang

    24 February 2021
  • Ketiadaan Skala Prioritas Buntut Kekacauan Hukum Siber Indonesia

    23 February 2021
  • Puisi-Puisi Sengat Ibrahim

    19 February 2021
  • Kemunduran Peran Ulama dalam Gerakan Sosial

    18 February 2021
  • Belenggu Ilmuwan Indonesia di Bawah Kekuasaan

    13 February 2021

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM