
©istimewa
Saat sebuah agama dilekatkan dengan simbol, ia akan melahirkan pertentangan-pertentangan baru.
[columns size=”1/2″ last=”false”]
Judul Maryam
Sutradara Sidi Shaleh
Pemain Adrianto Sinaga, Damiana Widowati, Meyke Verina
[/columns]
[columns size=”1/2″ last=”true”]
Produser Amalia Trisnasari
Durasi 18 Menit
Tahun 2014[/columns]
Terdengar panggilan “Iyam..yam..” dari salah satu sudut ruangan dalam suasana remang. Seorang perempuan kemudian berlari dari dapur ke ruang tengah untuk menemui asal panggilan. Perempuan bernama Maryam akhirnya menemukan asal panggilan yang ternyata bersumber dari majikannya. Setelah ditemui di ruang tengah, majikannya merengek, meminta diantarkan ke gereja karena saat itu malam Natal. Maryam mencoba menenangkan suara rengekan, namun majikannya itu terus merengek dan mulai meremas pohon natal yang sedang dipegangnya.
Maryam yang kebingungan akhirnya mengantarkan majikannya ke gereja, sesampainya di gereja majikan tersebut terus memaksa untuk ditemani masuk ke dalam. Maryam merasa ragu karena dia adalah seorang pembantu yang mengenakan kerudung. Namun setelah keluar meninggalkan tuannya sebentar, dia bersedia untuk masuk bersama tuannya dan mengikuti peribadahan di dalam gereja.
Sampai film berakhir, tidak ditemui konflik yang dapat dilihat dengan jelas. Hal tersebut membuat kita sebagai penonton harus menginterpretasikan sendiri nilai apa yang dapat diangkat dari film. Namun terdapat hal kecil yang dapat ditelusuri untuk menangkap makna film. Hal ini terkait dengan perubahan identitas sosial yang terlihat dari simbol yang dipakai dan diubah oleh Maryam melalui kerudungnya. Menurut Burke dan Stets, identitas sosial merupakan kategorisasi diri dalam sebuah kelompok, dan lebih terfokus pada makna yang terkait dengan menjadi anggota suatu kategori sosial. Dengan penekanan yang lebih besar pada identifikasi kelompok, berfokus pada hasil kognitif seperti etnosentrisme, atau kohesivitas kelompok.

©istimewa
Melalui film Maryam dapat dilihat simbol yang melekat pada umat muslim, yaitu kerudung yang memiliki perjalanan sejarah panjang. Dalam buku berjudul Jilbab: Antara Kesalehan, kesopanan, dan Perlawanan, Fadwa El-Guindi, menjelaskan kerudung sudah dikenal sebelum masehi di Babilonia, Mesopotamia, dan Asyiria. Kerudung dikenakan oleh perempuan terhormat untuk menjaga privasi dan kesucian mereka dan terjadi sebelum identitas agama muslim terbentuk. Setelah Renaissance, di Spanyol muncul mantilla yang berbentuk seperti kerudung. Pada praktik penggunaan, mantilla dikenakan seorang wanita ketika ke gereja. Kemudian kebudayaan kerudung diadopsi oleh masyarakat Indonesia melalui perkembangan agama Islam yang disebarkan oleh orang Timur Tengah.
Perkembangan kerudung di Indonesia tidak dapat terlepas dari adanya kondisi politik Indonesia. Ketika kerudung masuk pada tahun 1980-an, Presiden Soeharto, melakukan pelarangan untuk mengenakan kerudung. Melalui jurnal Materializing piety: Gendered anxieties about faithful consumption in contemporary urban Indonesia, Carla Jones menjelaskan Islam identik dengan pihak-pihak yang berada di luar konsumerisme, korupsi, dan politik. Islam menjadi simbol perjuangan para wanita muda yang menolak ketidakadilan, sehingga beberapa dicap sebagai fundamentalis. Namun pelarangan tidak dapat membendung perkembangan kerudung melalui peran pemuka agama yang dipopulerkan lewat media massa.
Jones mengatakan, kini kerudung telah menjadi tren kehidupan perempuan Indonesia. Kerudung memiliki beragam bentuk dan warna, terlihat dari kemunculan para fashion blogger sambil memperkenalkan cara baru mengenakan kerudung. Melalui Identitas dan Kenikmatan, Ariel Heryanto menjabarkan budaya populer adalah wadah antar identitas yang saling berlawanan ataupun sejalan satu sama lain. Ketika kerudung menjadi sebuah bagian dari budaya populer, maka kerudung merupakan peleburan simbol bagi agama islam dengan norma-norma yang terbentuk di masyarakat. Kerudung menjadi sebuah identitas bagi Islam dan nampak sebagai simbol yang diterima masyarakat Indonesia. Disebutkan juga oleh Jones, jika stigma dulu seseorang yang berkerudung maka ia merupakan seseorang yang rajin beribadah. Maka kini, terdapat beberapa orang menganggap biasa saja jika mengenakan kerudung, karena kerudung menjadi sebatas perwujudan simbol Islam.
Memiliki kenampakan simbol dalam agama apapun bukanlah suatu masalah. Namun, akan menjadi masalah apabila simbol tersebut menjadi hal yang eksklusif dalam melambangkan suatu identitas serta membatasi ruang gerak sosial seseorang. Permasalahan terkait identitas rentan terjadi ketika suatu identitas sosial berada pada proses kategorisasi dan perbandingan sosial. Menurut Tajfel dan Turner , kategorisasi kemudian membentuk identitas sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar kelompok. Hal yang dibahas dalam proses ini meliputi : Kategorisasi menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota kelompok. Kedua kategorisasi dapat meningkatkan persepsi terhadap homogenitas dalam kelompok, hal tersebut kemudian dapat menciptakan streotipe dalam kelompok. Terakhir dalam melakukan kategorisasi, anggota kelompok cenderung melakukan polarisasi dua kutub secara ekstrem, yakni menciptakan sebuah perspektif layaknya kami ingroup atau mereka outgroup. Hal-hal tersebut membuat setiap anggota mencoba menguatkan identitas dalam kelompok dengan melakukan penyatuan secara kolektif.
Sedangkan melalui perbandingan sosial, menurut Tajfel dan Turner identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan pada ingroup dan outgroup. Perbedaan yang dapat dilihat pada identitas dari kelompok lain adalah atribut atau simbol yang melekat dan terkesan eksklusif pada tiap kelompok. Menurut Tajfel, hal yang terdapat pada tahap perbandingan sosial adalah : Penilaian yang ekstrem terhadap outgroup, dan kelompok minoritas ataupun sub-dominan lebih menunjukkan diferensiasi daripada kelompok mayoritas atau dominan. Adanya perbandingan sosial menimbulkan penekanan tingkah laku yang berbeda antar kelompok atau dikenal dengan intergroup differentiation. Individu yang berada pada kelompok sub-dominan selalu mencoba menaikkan harga diri kelompoknya, dengan cara menurunkan derajat kelompok lain. Jika hal tersebut terjadi secara ekstrem, maka konflik rentan terjadi.
Terkadang sebuah konflik dalam masyarakat melibatkan beberapa kelompok, seakan terdapat kepentingan antar-kelompok yang identitasnya berbeda. Hal tersebut dapat terjadi karena kelekatan kelompok sangat tinggi dan adanya situasi yang provokatif, yang mengarahkan pada aspek-aspek kategorisasi dan perbandingan sosial yang disebutkan di atas. Orang-orang yang terlibat dalam konflik, baik yang dianggap sebagai sumber konflik maupun sebagai korban, akan dikaitkan dengan atribut yang mereka kenakan, yang mengarah pada identitas yang mereka bawa. Hal tersebut membuat konflik apapun yang terjadi, sekalipun tidak berakar dari identitas itu sendiri, akan dikaitkan dengan identitas dari siapapun yang terlibat. Sehingga membuat konflik tersebut akhirnya menjadi konflik antar-kelompok identitas yang berbeda.

©istimewa
Sidi Shaleh dengan ini telah memasukkan salah satu unsur kebudayaan yakni religi ke dalam filmnya, melalui adegan Maryam yang mengikuti ibadah malam Natal. Maka, dalam perspektif identitas memunculkan pemahaman bahwa kerudung tidak hanya menjadi identitas milik Islam. Kerudung sebagai salah satu simbol bisa menjadi identitas universal yang dimiliki oleh agama dan budaya lain. Untuk itu, masyarakat harus lebih memahami arti simbol terlebih dahulu, sehingga tidak mengkategorikan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasarkan simbol agamanya. Selama ini simbol dipandang terlalu melekat pada identitas seseorang, sehingga masyarakat masih melihat permasalahan antar pribadi sebagai konflik antar-kelompok identitas. Oleh karena itu, akan lebih baik jika tiap orang mampu mempertimbangkan pilihan pribadi dalam mengenakan simbol tanpa melihat latar belakang pribadi atau kelompok yang dimiliki.
Penulis: M. Damar Bagaskara, Olivia Prastiti (Magang)
Editor: Pamerdyatmaja
Burke J. Peter, Stets E. Jan, 1998, Identity Theory And Social Identity Theory. Washington State University.
Hogg, Michael A & Abrams, D (1990). Social Identification; A Psychology of Intergroup Relation and Group Process. First Edition. London: Routledge Publisher.
Hogg, Michael A & Vaughan Graham M. (2002). Social Psychology. Third Edition. London: Prentice Hall, Pearson Education.
El Guindi, Fadwa. 1999. Veil: Modesty, Privacy and Resistance. New York. Oxford International Publishers.
http://www.lauramcalister.com/2013/12/07/mantillas-tradition-fashion-kilts-catholics/ diakses pada 24 Oktober 2017.
https://tirto.id/diskriminasi-dan-hukuman-bagi-jilbab-dan-cadar-chVs diakses pada 24 Oktober 2017.